Showing posts with label Hermeneutika. Show all posts
Showing posts with label Hermeneutika. Show all posts

12/22/2013

Sadulur papat kalima pancer

Falsafah Jawa: Sedulur Papat Kalima Pancer:
Falsafah Sedulur Papat Kalima Pancer adalah
falsafah Jawa Kuno yang memiliki makna
spiritual teramat dalam. Kelima elemen dasar
dalam falsafah tersebut berbicara tentang
kelahiran seorang manusia (jabang bayi)
yang tidak lepas dari empat duplikasi
penyertanya. Duplikasi tersebut dimaknai
sebagai sedulur (saudara) yang tak kasat
mata, yang akan menyertai kehidupan
seseorang sejak lahir hingga matinya.
Mereka itu antara lain:
1. Watman : yaitu rasa cemas / kawatir dari
seorang ibu ketika hendak melahirkan
anaknya. Ibu harus berjuang antara hidup
dan mati dalam proses kelahiran. Watman
adalah saudara tertua yang menyiratkan
betapa utamanya sikap menaruh hormat dan
sujud pada orang tua khususnya ibu. Kasih
sayang, perhatian dan doa ibu adalah
kekuatan yang akan mengiringi perjalanan
hidup sang anak.
2. Wahman : yaitu kawah atau air ketuban.
Fungsi air ketuban adalah menjaga agar
janin dalam kandungan tetap aman dari
goncangan. Ketika proses kelahiran terjadi,
air ketuban pecah dan musnah menyatu
dengan alam, namun secara metafisik ia
tetap ada sebagai saudara penjaga dan
pelindung.
3. Rahman : yaitu darah persalinan. Darah
adalah gambaran kehidupan, nyawa dan
semangat. Darah persalinan pada akhirnya
musnah dan menyatu dengan alam, namun
secara metafisik ia tetap ada sebagai
saudara yang memberi semangat dalam
perjuangan mengarungi kehidupan. Darah
juga gambaran kesehatan jasmani dalam
hidup seseorang.
4. Ariman : yaitu ari-ari atau plasenta. Fungsi
ari-ari adalah sebagai saluran makanan bagi
janin dalam kandungan. Ariman adalah
saudara tak kasat mata yang menolong
seseorang untuk dapat mencari nafkah dan
memelihara kehidupannya.
Dan sebagai yang kelima adalah Pancer
(Pusat) yaitu si jabang bayi itu sendiri. Ketika
jabang bayi itu lahir, tumbuh dan dewasa,
maka ia tidaklah sendirian. Keempat
saudaranya Watman, Wahman, Rahman dan
Ariman senantiasa menemani secara
metafisik. Mereka adalah saudara penolong
dalam mengarungi kehidupan hingga
seseorang kembali lagi pada Sang Pencipta.
Pancer atau Pusat juga dimaknai sebagai
“Ruh” yang ada dalam diri manusia, yang
akan mengendalikan kesadaran seseorang
agar tetap “eling lan waspodo”, ingat pada
Sang Pencipta dan menjadi insan yang
bijaksana. Jadi sedulur papat berperan
sebagai potensi / energi aktif, sedangkan
pancer sebagai pengendali kesadarannya.
Kesadaran kosmik tentang adanya saudara
penyerta dalam falsafah Sedulur 4 Ka-5
Pancer pada akhirnya akan mengaktifkan
potensi dalam diri seseorang. Seseorang
yang mampu menggali potensi Sedulur
Papat Kalima Pancer akan menjadi seseorang
yang sukses seutuhnya. Pada tingkat
kesadaran tertentu orang tersebut bahkan
dipercaya dapat mencapai “kesaktian” yang
supranatural.
Dalam persepsi moralitas dan spiritualitas,
orang yang memiliki kesadaran Sedulur
Papat Kalima Pancer dapat dimaknai sebagai
orang yang memiliki etika tinggi. Etika ini
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
dalam berbagai hubungan dan perannya
dalam masyarakat. Dalam keluarga,
pekerjaan, pendidikan, kerohanian,
kesehatan maupun hubungan-hubungan
sosial lainnya. Banyak orang mengklaim
dirinya sukses, tapi hanya dalam bisnis saja,
sedangkan rumah tangganya berantakan,
tubuhnya sakit-sakitan, jiwanya tertekan. Ini
bukan sukses yang sejati.
Falsafah Sedulur 4 Ka-5 Pancer merupakan
falsafah dasar yang kemudian dapat
dikembangkan dalam berbagai pakem-pakem
Jawa. Misalnya pakem tentang hari-hari
Jawa, yaitu pasaran Legi (Timur), Pahing
(Selatan), Pon (Barat), Wage (Utara) dan
Kliwon (Tengah/Pusat). Dalam tradisi
pewayangan juga dikenal tokoh Punakawan:
Semar, Petruk, Gareng, Bagong yang
menemani dan melayani tokoh pusat yaitu
Arjuna. Hal ini juga menggambarkan
keempat kuda pada kereta perang Arjuna
yang dikendalikan oleh kusirnya yaitu Krisna.
Pada periode Islam Jawa, dikenal pula
keyakinan tentang malaikat penyerta yaitu
Jibril, Mikail , Isrofil, dan Ijro’il yang akan
membawa seseorang mencapai Sidrathul
Muntaha atau menyertai hidup manusia
hingga mati menghadap kepada Sang Ilahi.
Seperti yang sudah-sudah, falsafah Jawa
selalu sarat dengan perlambangan, sehingga
ia kaya akan interpretasi tanpa mengeliminir
substansi-nya. Demikian pula falsafah
Sedulur 4 Ka-5 Pancer, secara normatif
dapat berupa perlambangan untuk makna
yang jauh labih hakiki. Sedulur 4
menggambarkan elemen dasar dalam diri
manusia (ego) yaitu Cipta, Rasa, Karsa dan
Karya.
1. CIPTA adalah pikiran, sumber dari segala
logika, idea, imajinasi, kreativitas dan ambisi.
Pikiran adalah manipulasi otak atas
informasi untuk membentuk konsep,
penalaran dan pengambilan keputusan.
2. RASA adalah emosi atau reaksi afekif atas
peristiwa dan pengalaman hidup. Berbagai
ekspresi emosi begitu kaya, bahkan jauh
lebih kaya daripada bahasa yang dapat
mengungkapkannya.
3. KARSA adalah kehendak atau niat, yaitu
motivasi dalam diri individu untuk
melaksanakan keputusan dan rencananya.
Seseorang dapat termotivasi oleh
rangsangan dari luar, namun sebaliknya juga
dari dalam dirinya sendiri.
4. KARYA adalah tindakan, yaitu aspek
psikomotor dalam diri individu yang
menghasilkan suatu wujud konkret, sehingga
dapat dikenali dan berdampak bagi
lingkungan sekitarnya.
Keempat elemen dasar dalam diri manusia
di atas akan menjadi “efektif” apabila
manusia tersebut dikontrol oleh Pancer /
kunci yang disebut dengan KESADARAN yang
biasa diistilahkan dengan “eling”. Di sinilah
letak perjuangan spiritual sesungguhnya.
Ketika katup-katup kesadaran mampu
dibuka, maka potensi 4 elemen dasar
manusia akan menjadi kekuatan “quantum”
yang luar biasa, memiliki daya ledak,
menjadikan seseorang menjadi insan
seutuhnya, sukses lahir batin, satria
pinandhita sinisihan wahyu!

10/04/2012

HERMENEUTIKA




Dalam tradisi Islam, hermeneutik sering disamakan dengan tafsir. Sebab secara etimologi hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu Hermeneueia yang berarti menafsirkan. Istilah ini mengacu pada tokoh mitologi Yunani kuno bernama hermes yang bertugas menerjemahkan bahasa-bahasa Tuhan dari gunung Olympus ke dalam bahasa manusia agar dapat dipahami. Dari sini, hermeneutik menjadi identik dengan metode penafsiran/ interpretasi. Karena itu, dalam mendefinisikan hermeneutik E. Sumaryono menyebut hermeneutik sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”.
Dalam perkembangannya, hermeneutik dikenal sebagai sebuah metodologi interpretasi yang unggul. Sehingga, bukan saja dalam tradisi agama, dalam disiplin ilmu filsafat, seni, dan disiplin keilmuan yang lain hermeneutik menjadi cukup populer. Hermeneutik tidak saja dijadikan sebagai pisau bedah untuk menafsirkan teks-teks suci agama, namun juga karya-karya ilmiah maupun beberapa karya sastra lain yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Hermeneutik mulai dikenal dalam dunia Islam sejak para sarjana Islam yang belajar di Barat dan kemudian memperkenalkan ilmu yang diperoleh dalam lingkungannya. Lebih lanjut, diskursus hermeneutik akhirnya menjadi cukup akrab dengan al-Qur’an. Sebab metode interpretasi ini diduga kuat setali tiga uang dengan tafsir, khususnya tafsir bir-Ra’yi atau ta’wil yang sudah lama digeluti oleh beberapa ulama dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada dasarnya ruang lingkup hermeneutik mencakup tiga elemen yaitu teks, pengarang atau penafsir dan audiens (pembaca) yang disebut Triadic Structure. Triadic structure ini, masing-masing memiliki horizon ruang dan waktu yang berbeda. Teks lahir pada dimensi ruang dan waktu tertentu; penafsir membumikan teks dalam sejarah yang berbeda; sementara pembaca silih berganti lintas ruang dan waktu. Tugas hermeneutik pada intinya adalah mendialogkan dengan seimbang triadic structure tersebut.
Dialog yang seimbang berusaha menyajikan teks -yang hidup dalam sejarah tertentu- dalam horizon waktu kekinian. Sebab menurut Wilhelm Dilthey, hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. Artinya makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa” saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah, maka interpretasipun bagai benda cair, tak pernah ada suatu hukum untuk interpretasi. Seperti halnya al-Qur’an harus tetap dapat menjadi solusi dan alternatif bagi persoalan kemanusiaan yang bersifat lintas ruang dan waktu. Sehingga ungkapan Islam Sholih fi kulli zaman wa makan dapat terwujud. Sebagai sebuah metode, hermeneutik memiliki sifat dasar kritis, liar dan radikal.
Sehingga bila diterapkan begitu saja, hermeneutik akan membahayakan wilayah normativitas agama khususnya Islam. Sebab, beragam problem akan muncul dalam teks-teks keagamaan jika hermeneutik menyentuh wilayah ini. Aspiratifkah pewarisan gagasan melalui sebuah teks? Samakah kehendak yang diinginkan tuhan (Allah SWT) dengan al-Qur’an? dapatkah hadits merangkum dengan benar gagasan Muhammad saw? Problem-problem tersebut kendati wajar dalam tradisi hermeneutik tetapi telah menyentuh wilayah-wilayah yang paling sensitif dalam Islam. Sikap kritis hermeneutik menjadi semakin kental dengan sentuhan pemikiran three masters of prejudices, yaitu Sigmund Freud, Karl Marx dan Friederic Nietzcshe. Ketiganya mengembangkan sikap prasangka (kecurigaan) terhadap postulat-postulat sekalipun. Sigmund Freud, menunjukkan sikap kehati-hatiannya pada bahasa, sebab alam bawah sadar manusia dan nafsu libido seseorang, akan mempengaruhi bahasa.
Karl Marx, pencetus pahan) sosialisme ini dalam menghadapi teks senantiasa mengedepankan praduga terhadap pengarang khususnya status sosial politik dan ekonominya yang dapat mempengaruhi teks. Menurutnya, dekonstruksi terhadap sebuah teks adalah sebuah solusi untuk memperoleh makna obyektif. Sementara Nietzcshe, berasumsi bahwa setiap orang pasti memiliki keinginan untuk menguasai orang lain, dan hasrat ini diekspresikan melalui bahasa. Dan three masters of prejudices ini, hermeneutik ditarik pada suatu ruang yang penuh dengan kecurigaan pada teks agar dapat menekan subyektifitas teks dan bahkan agar ditemukan gambaran obyektif teks.
Dari persoalan ini muncul suatu dilema. Disatu sisi, hermeneutik sebagai sebuah metode yang kurang bersahabat dan menghawatirkan, khususnya pada wilayah wilayah sensitif Islam. Disisi lain, hermeneutik diakui sebagai metodologi yang cukup menjanjikan guna mengkaji teks-teks keagamaan Islam. Oleh sebab itu, beberapa ulama telah mencoba menerapkan hermeneutik dalam koridor Islam, untuk menyebut beberapa diantaranya yaitu: Hassan Hanafi
Beliau adalah seorang tokoh Islam yang cukup gelisah dengan dinamika perubahan zaman. Kegelisahan ini disebabkan karena zaman yang berkembang begitu cepat
namun tidak diimbangi dengan apresiasi terbadap teks-teks keagamaan untuk menghadapi zaman yang semakin kompleks. Dalam menghadapi persoalan tersebut, tokoh pencetus kiri Islam ini mengajukan tiga langkah, yaitu kritik historis, kritik tendensi, dan kritik praksis.
Kritik historis berupaya membersihkan obyek dari anggapan-anggapan sebelumnya yang membingungkan. Kritik ini menjadi langkah awal yang paling penting, sebab bagaimana mungkin makna yang benar dapat diperoleh bila obyeknya tidak bersih dari sejarah. Sedangkan kritik tendensi menganalisa hakekat obyek. Kenapa teks turun dan diturunkan menjadi sejarah yang sangat berharga untuk memperoleh makna ideal suatu teks. Dalam langkah yang kedua ini, tahap yang paling penting adalah generalisasi makna. Ide pokok harus dicari dari sebuah teks agar dapat diterapkan pada realitas saat ini. Sementara kritik praksis menjadi alat untuk membumikan hasil generalisasi yang telah dilakukan dalam kritik tendensi. Dengan kata lain, berangkat dari refleksi ke aksi. ltu sebabnya, hermeneutika Hassan Hanafi disebut juga hermeneutika transformatif.

Fazlur Rahman
Tokoh Islam yang menyebut dirinya neo-modernis ini, menganggap bahwa selama ini interpretasi terhadap teks keagamaan bersifat harfiah dan terikat dengan tradisi. Sedang kelemahan besar umat Islam saat ini adalah susah merespon dinamika zaman. Oleh sebab itu, Rahman mengajukan suatu strategi yang disebut double movement. Double movement berpijak dari realitas masa kini. Problem-problem yang terjadi pada realitas masa kini berusaha mencari rujukan solusi terhadap al-Qur’an. Maka langkah yang selanjutnya adalah dengan melacak kondisi sosio-historis ayat tersebut. Dalam hal ini generalisasi pada hal-hal khusus perlu dilakukan untuk menemukan ideal moral. Ideal moral ini menjadi rujukan yang paling signifikan dalam kemampuannya menghadapi dinamika perubahan zaman. Langkah yang terakhir adalah menerapkan ideal moral tersebut dalam realitas kehidupan masa kini. Misi hermeneutik yang dibawa oleh Rahman adalah melacak world view al-Qur’an dalam rangka membumikan al-Qur’an. Sebab selama ini umat Islam merasa asing dengan al-Qur’an yang menggunakan bahasa-bahasa khusus dan terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan membumikan al-Qur’an yang dilakukan Rahman disebabkan oleh keyakinannya bahwa al-Qur’an adalah dokumen teks bagi penuntun kehidupan manusia. Namun teks datang dengan bahasa yang terikat, sebab teks tersebut merupakan hasil transaksi wahyu dengan realitas. Menghadapi persoalan inilah Rahman melacak ide-ide umum al-Qur’an melalui strategi double movement.

Mohammed Arkoun
Jacques Derrida, Paul Ricoeur, Michel Foucoult adalah beberapa tokoh rujukan Arkoun selain tokoh-tokoh yang lain dalam upaya memahami bahasa agama. Dan Derrida, Arkoun mengadopsi pemikiran dekonstruksi terhadap logosentisme yang terjadi pada umat Islam saat ini. Menurutnya, umat Islam Islam banyak yang terkungkung pada cara baca dengan cara tertentu. Cara baca ini sangat membahayakan, karena selalu disertai dengan gaya berfikir yang terbakukan dan saling klaim kebenaran. Maka, dekonstruksi terhadap nalar ini harus dilakukan. Sebab dekonstruksi adalah bersifat menata ulang dan suatu keniscayaan rekonstruksi. Sedangkan dan Ricoeur, Arkoun belajar tentang mitos. Ketika tafsir dihasilkan dari pembacaan yang bernalar logosentris, maka terjadilah truth claim pada tafsir tertentu. Dan anggapan paling benar ini muncullah mitos. Mitos menyimpan sebuah angan angan sosial dalam melanggengkan pemikiran yang terdapat pada nalar logosentris.
Sebab itu angan-angan sosial sangat penting untuk dicek dalam rangka memahami bahasa mitos. Menurutnya, al-Qur’an memakai bahasa yang bersifat mistis. Bahasa mistis membuka peluang untuk pembacaan dengan makna baru. Demitologisasi bukanlah menghancurkan mitos tersebut kemudian mengganti dengan mitos yang lain. Melainkan mitologisasi adalah usaha untuk mendapatkan makna baru yang terdapat dalam mitos tersebut dengan gaya pembacaan yang baru pula.
Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang menerapkan metode hermeneutik dalam tradisi Islam. Tapi setidaknya, ketiga tokoh diatas dapat mewakili tokoh-tokoh yang lain. Sebab secara umum mereka berusaha sedapat mungkin untuk mendialogkan al-Qur’an dan wacana-wacana keagamaan dengan realitas masa kini yang menjadi ciri khas hermeneutik. Pemikiran tokoh-tokoh tersebut adalah suatu upaya sistematis dalam menjinakkan hermeneutik untuk kemudian diterapkan dalam tradisi Islam. Kendati demikian, tokoh-tokoh tersebut bukan berarti tidak menuai badai akibat pemikirannya. Sebab sampai saat ini, sangkalan dari berbagai pihak datang silih berganti untuk membantah pemikirannya yang dianggap menyesatkan. Namun terlepas dari pro dan kontra yang menimpa tokoh-tokoh Islam tersebut, hermeneutik yang mempunyai wajah garang telah berhasil dikemas dalam cermin dan bingkai yang indah, yaitu Islam.
Penulis adalah mahasiswa semester lima tafsir hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penggiat bidang intelektual IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) komisariat Fakultas Ushuluddin.