Showing posts with label Sosok. Show all posts
Showing posts with label Sosok. Show all posts

10/04/2012

Syahrur dan Teori Limit


Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang bersisi pesan hukum) dalam Alquran. Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.”
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fikih kontemporer adalah teori limit (nadzariyyat al-hudûd) yang diusung tokoh Islam liberal asal Syiria, Muhammad Syahrur. Menurut Wael B. Hallaq, teori limit Syahrur telah mengatasi kebuntuan epistemologi yang menimpa karya-karya pemikir sebelumnya (Wael B. Hallaq: 1997). Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang bersisi pesan hukum) dalam Alquran. Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.”

Paling tidak, teori limit memberikan empat kontribusi signifikan dalam pengayaan bidang fikih. Pertama, dengan teori limit, Syahrur telah berhasil melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat fundamental di bidang fikih. Selama ini, pengertian hudûd dipahami para ahli fikih secara rigid sebagai ayat-ayat dan hadis-hadis yang berisi sanksi hukum (al-`uqûbât) yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dari ketentuannya yang termaktub, seperti sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum berkeluarga, dan lain sebagainya. Berbeda dengan itu, teori limit (nadzariyyat al-hudûd) yang ditawarkan Syahrur cenderung bersifat dinamis-kontekstual, dan tidak hanya menyangkut masalah sanksi hukum (al-`uqûbât). Teori limit Syahrur juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti soal libâsul mar’ah (pakaian perempuan), ta`addud al-zawj (poligami), pembagian warisan, soal riba, dan lain sebagainya.

Kedua, teori limit Syahrur menawarkan ketentuan batas minimum (al-hadd al-adnâ) dan batas maksimum (al-hadd al-a`lâ) dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimum dan maksimum yang telah ditentukan. Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudûd-u-lLâh (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contohnya: ketentuan potong tangan bagi pencuri (Q.S. al-Mâ’idah: 38).

Menurut Syahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a`lâ) bagi seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan (Q.S. al-Mâ’idah: 34). Dari sini Syahrur berkesimpulan, seorang hakim dapat melakukan ijtihad dengan memperhatikan kondisi objektif si pencuri. Sang hakim tidak perlu serta merta harus memberi sanksi potong tangan dengan dalih menegakkan syariat, tapi dapat berijtihad di antara batasan maksimum dan minimum tadi, misalnya dengan sanksi penjara. Kalau kasus yang dihadapi adalah pejabat yang korup, sanksi dipecat dari jabatannya juga masih berada dalam dua batasan tadi. Syahrur beralasan, esensi sebuah sanksi hukum adalah membuat jera (kapok) si pelanggar hukum. Oleh sebab itu, negara atau pemerintahan yang tidak atau belum menerapkan sanksi potong tangan, rajam, qisas, dan beberapa sanksi hukum yang tertera di dalam Alquran maupun hadis, tidak bisa diklaim sebagai negara atau pemerintahan yang kafir sebagaimana tuduhan kalangan fundamentalis.

Dalam kasus pakaian perempuan (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd-u-lLâh (batasan-batasan Allah), karena melebihi batas maksimum yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya --dengan pendekatan ini-- malah sudah “tidak islami”.

Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrur telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudûd yang selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamât yang bersifat pasti dan hanya mengandung penafsiran tunggal. Bagi Syahrur, ayat-ayat muhkamât juga dapat dipahami secara dinamis dan memiliki alternatif penafsiran, sebab Alquran diturunkan untuk merespon persoalan manusia dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat Alquran tidak saja dapat dipahami, bahkan bagi Syahrur dapat dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun. Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamât secara produktif dan prospektif (qirâ’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qirâ’ah mutakarrirah).

Keempat, dengan teori limit, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqâmah) serta gerak dinamis dan lentur (hanîfiiyah). Nah, sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai the bounds or restrictions that God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyrî’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus. WalLâh a’lam! []



Abdul Mustaqim, MA, Koordinator Devisi Kajian LESPIM (Lembaga Studi dan Pengembangan Santri dan Masyarakat) Pesantren Krapyak Yogyakarta, Dosen Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tan Malaka : Pemikiran dan Aksi Politik-nya Dalam Masa Pergerakan Nasional di Indonesia



Seperti  “Spinx” yang dingin, dia seorang tokoh revolusioner yang brilian. Seorang tokoh yang telah menjadi dongeng dan penuh teka-teki. Warisan terhebatnya -- tentang konsep materialisme, dialektika, dan logika yang utuh -- merupakan hasil pemikiran dan gagasan besar yang dia cita-citakan bagi bangsa dan negaranya.
----
Pada masa orba (orde baru) putera Minangkabau ini telah direduksir sedemikian rupa akan peran dan aksi perjuangannya. Historiografi saat itu secara sengaja telah ‘menggelapkan’  tokoh revolusioner tersebut. Dia dicap sebagai seorang buronan politik – melalui stigma politiknya dia adalah sebagai komunis. Lewat usaha-usaha seperti menghilangkan fotonya pada  buku-buku sejarah atau melempar keluar karya-karyanya dari perpustakaan, melarang penerbitan ulang karyanya dan menyegel sumber-sumber untuk studi tentang pemikiran-pemikirannya. Nasib Tan Malaka  bisa disamakan dengan nasib para founding father yang lain, misalnya: Soekarno, Hatta, dan Syahrir. [1]
Menuduh Tan Malaka berhaluan Marxisme, mungkin tidaklah seratus persen benar. Tan Malaka sesungguhnya adalah salah satu pemikir dan pejuang besar Indonesia. Sebagai pejuang angkatan 1920-an -- seperti halnya tersebut diatas -- Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, adalah para pemikir yang mendalami ideologi-ideologi besar dunia, sehingga terlalu sempit untuk mengatakan Tan Malaka adalah seorang Marxis. Karya puncak pemikiran Tan Malaka dalam "Madilog", melukiskan bagaimana Tan Malaka menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.[2]
Tak ada yang mungkin membuat Tan Malaka demikian masygul sepanjang hidupnnya. Pemikiran-pemikiran pentingnya lahir pada waktu-waktu ia menemukan bangsanya berada dalam suasana yang rumit dan pelik. Sepak terjang perjuangan politiknya berjalin erat dengan pemikirannya. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa perjuangan politiknya  dikendalikan oleh hasil-hasil olah-pikirnya. Itulah sebabya bahwa Tan Malaka adalah “tuan” atas dirinya sendiri, baik dalam perjuangan politiknya maupun dalam mengembangkan pemikirannya.
Tan Malaka -- lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka -- menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-- Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut bertolak dari Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945,  ditulis oleh Harry A. Poeze ini memuat  riwayaat hidup, perjuangan poltik dan perkembngan pemikiran – dapat disimpulkan – bahwa ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan Malaka. Pertama, Tan Malaka sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses kehidupan yang penuh konflik dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktivis plitikyang berkembang menjadi seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga, intelektual-pemikir  yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.[3]
Demikian juga dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur pengalaman”  kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi  seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa  yang berlaku. Seorang personalitas politik yang mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi  yang sama dan sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.[4]
Menurut Mrazek, struktur pengalaman  Tan Malaka adalah tipe masyarakat minangkabau pada akhir abad yang lalu atau pemulaan abad abad ini (abad ke-20 — pen.) yang mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai cirri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau  mempunyai perspektif, yang sampai sekarang masih  kuat dipegang, bahwa adapt dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensi buat mencapai dan mempertahankan  perpaduan/integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika”  yang selalu mampu menemukan keserasian dalam  suasana kontradiksi. [5]
Disini Tan Malaka adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi  adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau tersebut. Juga proses  penyerapan unsure-unsur luar atau baru  terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat dikatakan bahwa pergi merantau akan memberkan pngalaman dan pengetahuan baru yang didapatkannya dari luar. Dan kemanapun jauh perginya dia merantaupun akan tetap kembali ke asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan tersebut diharapkan dapat memainkan peranan sosial di tengah masyarakat sehingga mereka bisa ikut apa yang baik dari rantau dan membuang  apa yang buruk.
Biografi tentang "Trostky" Indonesia itu memang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif dan datar saja. Berbeda sekali dengan Tan Malaka, bahwa sifat mengembara (perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai kehidupan politiknya. Sejak 1922 dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen, ke Jerman, pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam Komintern ke IV dan diangkat menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di Bangkok mendirikan PARI, 1937 di Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Baru setelah Belanda menyerah kepada Jepang, Tan Malaka kembali ke Tanah Air. Bahkan Tan Malaka  adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional yang  banyak bertandang ke berbagai negara.
---
Tan malaka adalah tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam lingkungan  keluarga-keluarga buruh yang  miskin di sana. Setelah ia kembali ke Indonesia ia menjadi guru di Deli dan disana ia melihat banyak ketidakadilan. Pengalaman-pengalamnnya yang pahit  mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan Semaun dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memmerlukan perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di PKI. Tahun 1924 ia diusir ke luar negeri. Kemudian  ia pergi ke Rusia dan bekerja sebagai agen Komintern untuk Timur Jauh (Asia Timur). Dalam Komintern ia juga tidak cocok dengan garis Stalin karena itu ia mengambil sikap “independent”. Ia menjadi “pacar merah” Indonesia, mengembara dari satu negara ke negara lain sambil bersembunyi karena dicari oleh polisi Belanda-Inggris-Amerika-Kuomintang dan Prancis..[6]
Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun kemudian terdapat friksi di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi pemberontakan Komunis 1926 (maupun 1948), Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi revolusioner di rakyat belum tercapai benar (matang), lagi pula anggota PKI basisnya relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
 Dapat dilihat bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks historisnya lebih dia tekankan. 
Kemudian dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat dan Trostky.[7] Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya MADILOG). Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir sekalipun.[8]
---
Sebagaimana diketahui kemudian, Tan Malaka berpisah dengan orang-orang
komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng. Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927.
Orang yang amat mengharagai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatis terhadap idelogi secara ketat. Orang seperti Tan Malaka akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya. Sungguh pun dia secara politik dan ekonomis menantang kapitalis dan imperialisme Barat. Namun, ia masih bisa melihat segi-segi positif dari
sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia , bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin
menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai
senjata Barat yang orisinil..." [9]
Pada waktu yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani dari segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai dan apriori terhadap kebudayaan kuno yang dianggap Tan Malaka penuh berisi kesesatan, dan tahayul yang menyebabkan mereka bersemangat budak.[10]
Dalam MADILOG, kebudayaan kuno yang dianggapnya menghalangi orang berpikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama berpengaruh di Pulau Jawa, menurut Tan Malaka telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana terlihat dari sisa-sisa feodalisme.
Di sini dia, apakah untuk keperluan pengontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian dari itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan. [11]
Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Soekarn, seperti yang terbit antara tahun 1926 dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil melahirkan ide-ide yang berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi membaca literatur-literatur Barat, Soekarno sebenarnya secara mental melakukan perantauan. Dia melakukan cara berfikir aktif dan dinamis, darimana lahir pula konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti "Marhanenisme".
Secara garis besarnya, cara berfikir Soekarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-ciri dimanis atau dialektisme jelas terlihat sebagaimana Tan Malaka, Soekarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas
hasil-hasil pemikirannya sendiri. [12]
Barangkali, setiap masyarakat dalam pertemuan dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang yang berani berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan syinthesis berupa pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena itu bisa dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul.
---
Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam suasana konflik, yaitu melihat hal atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau dipunyainya. Dia hampir selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut kepadanya untuk melahirkan Synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagaimana antara lain terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya
dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan pikirannya, ia tak pernah menyerah pada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektuilmenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah. [13]
Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat pada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan dratis dalam segala bidang meliputi : politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Canton, dia menerbitkan buku (1925) "Menuju Republik Indonesia" (title aslinya; Naar de Republik Indonesia). Dalam karyanya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan militer. Program-program ini sebenarnya dimaksud Tan Malaka sebagai pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke arah yang
dicita-citakannya.
Akan tetapi, hubungannya dengan tokoh-tokoh PKI, sebagaimana yang telah iungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya rusak sama sekali setelah terjadi pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya "Massa Aksi", di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/teroganisir. Di sini kembali tampak denhan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan revolusioner, tetapi syarat untuk sukesnya revolusi itu baginya tetap
dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persauan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap meupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. [14]
Bilamana kerjasama itu, kata Tan Malaka, sampai terputus, ia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudaan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa.[15]
Tetapi mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa itu lah yang terbaik untuk mengeyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga
mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing).
Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politi, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Setelah PKI praktis dihancurkan oleh pengusaha kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan "Partai Republik Indonesia" atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik perhatian, terutama dalam hubungan Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927 dan ketidaksesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut PAN Islamisme).  Sementara itu, Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan "hegemoni" internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. [16]
Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa warna nasionalime dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salahsatu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentu juga berkaitan erat dengan sistim pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika.
---
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. 
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. 
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. 
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”( mencapai Republik Indonesia).
Dan akhirnya, Bila sejarah adalah sebuah panggung pertunjukan, epilog dari hidup Tan Malaka adalah sebuah tragedy. Ia mati saat bersama gerilya proklamasi di Pethok, Jawa Timur tanpa pernah ditemukan jasadnya. Catatan sejarah memperkirakan 19 Februari 1949 sebagai hari mati Tan Malaka. Tapi untuk sekian lama  kematian itu terbungkus dalam kabut ketidakpastian Legenda sejarah yang misterius dan gemar merantau itu memang tersingkir dalam hidupnya. Tapi, ternyata ia tidak terasing dari masyarakat yang melahirkannya.
Bahan-bahan Rujukan:
Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000
Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.
Hatta, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku, Kolff Jakarta, 1953
Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,  No. 8, Jakarta: LP3ES
Peranan Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000
Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999
Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 2000






Topik :
Tan  Malaka :  Pemikiran dan Aksi Politik-nya dalam Masa Pergerakan Nasional di Indonesia

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
 Sejarah Pergerakan Nasional 1908-1942

Dosen Pengampu: Dra. Sayekti MP.d


Disusun oleh :

Anton B. Prasetyo
C0501006

Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa

UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2003







[1] Kata Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
[2] Peranan Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000. Lihat Juga: Dr. Hamka, Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000, xii-xiv.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.

[4] Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977, hlm: 59.
[5]  Ibid., hlm. 59-60.
[6] Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999, 71-72.
[7]  Lihat: Hatta,  Trotzkiisme adalah dimana rezim Stalin mencap segala mereka yang tidak disukainya dan segala aliran yang menyimpang ke-kanan dan ke-kiri dari “generale linie” yang ditentukannya, dalam Budak Stalin Mencari Trotzky ke Indonesia, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku
Indonesia, Kolff Jakarta, 1953, hlm.137-140. Juga baca: Bab III pada catatan kakii no. 2, dalam Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999, hlm. 52.
[8] Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 187.
 
 
 
 

[9] Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999, hlm.117-131
[10] Ibid. Lihat juga: Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 2000, hlm. 142-147.
[11] Ibid., Hlm.320-333.
[12] Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,  No. 8, Jakarta: LP3ES, hlm. 3-14
[13] Alfian, Pengantar, dalam Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik, Cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1999, hlm.xxi-xxvi
[14] Tan Malaka, Massa Aksi, Op.cit.
[15] Ibid.
[16] Harry A. Poeze, Op.cit., hlm. 93-99. Baca: Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000, hlm. 25-33.


10/02/2012

Capaian Pakar Kimia Muslim di Era Keemasan


Presiden AS Barack Obama dalam pidatonya di Universitas Kairo, Mesir, 4 Juni 2009 mengatakan, dunia berhutang besar kepada Islam. Peradaban Islam telah mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.
Adalah inovasi dalam masyarakat Muslim yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya.
”Budaya Islam telah memberikan kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai,” paparnya.
Pengakuan jujur Obama yang disampaikan dalam lawatannya ke Timur Tengah itu mengingatkan kembali kepada kita, khususnya masyarakat Barat, bahwa keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mereka capai tak lepas dari capaian yang telah ditorehkan umat Islam sebelumnya. Peradaban Islam mencapai zaman keemasannya saat para ilmuwan dan cendekiawan Muslim banyak menghasilkan karya-karya monumental, menulis rumus, menemukan teori, dan menciptakan temuan-temuan baru. Termasuk di antaranya di bidang kimia.
Para ilmuwan Muslim telah mengubah teori-teori ilmu kimia menjadi industri yang penting bagi peradaban dunia. Mereka menghasilkan produk-produk dan temuan yang sangat dirasakan manfaatnya hingga kini. Sebut saja misalnya senyawa seperti asam sulfur, nitrat, nitrat silver, potasium, dan alkohol. 
Mereka juga menemukan teknik-teknik kristalisasi, destilasi, dan sublimasi. Dengan teknik-teknik tersebut peradaban Islam mampu melahirkan industri-industri penting bagi umat manusia. Industri farmasi, kesehatan, makanan/minuman, tekstil, perminyakan, dan bahkan industri militer.
Masa keemasan Islam, abad 7-14 M, telah banyak melahirkan ilmuwan yang karya-karyanya sangat monumental. Mereka antara lain Jabir Ibnu Hayyan, Al-Biruni, Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Al-Majriti. Jabir Ibnu Hayyan yang hidup pada tahun 721 hingga 815 telah memperkenalkan eksperimen (percobaan) kimia. 'Bapak Kimia Modern' ini, melalui serangkaian eksperimen yang telah dilakukannya di laboratorium, mencoba mengelaborasi zat-zat dan senyawa kimia. Eksperimen-eksperimen yang dilakukannya bersifat kuantitatif. Jabir Ibnu Hayyan adalah penemu proses-proses kimia seperti destilasi, kristalisasi, dan sublimasi. 
Selain itu, 'Geber' --sebutan Barat untuk Jabir-- juga menciptakan alat-alat atau instrumen pengkristal, pemotong, pelebur, serta menyempurnakan proses dasar sublimasi, kristalisasi, penguapan, pencairan, penyulingan, pencelupan, dan pemurnian. Alembic, yaitu alat penyulingan yang terdiri dari dua tabung yang terhubung, ditemukan pertama kali oleh Jabir Ibnu Hayyan pada abad ke-8. Alat Ini merupakan alat penyulingan pertama di dunia, yang digunakan untuk memurnikan zat-zat kimia. 
Jabir juga banyak menemukan zat-zat atau senyawa-senyawa penting dalam ilmu kimia seperti asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, dan asam klorida. Ia juga melakukan destilasi alkohol, membuat parfum, dan membuat kapur. Karena jasanya, teori oksidasi-reduksi dapat terungkap.
Sementara itu Abu Raihan Al-Biruni, ilmuwan Muslim yang hidup pada tahun 973 -1048 M, antara lain menciptakan Tabung Ukur, Botol Labu, dan Pycnometer. Tabung Ukur (Conical Measure) berfungsi untuk memudahkan penuangan cairan. Peralatan laboratorium yang terbuat dari kaca berupa cangkir dan berbentuk kerucut dengan torehan di atasnya itu ditemukan pertama kali oleh Al-Biruni pada abad ke- 11.
Al-Biruni juga menciptakan Botol Labu (Laboratory Flask). Botol ini digunakan menampung cairan yang akan digunakan atau diuji di laboratorium. Botol yang terbuat dari kaca bening ini, juga digunakan untuk mengukur isi bahan kimia, mencampur, memanaskan, mendinginkan, menghancurkan, mengendapkan, dan mendidihkan (dalam penyulingan) zat-zat kimia. Selain itu, ia juga menemukan Pycnometer, yaitu alat laboratorium yang digunakan untuk mengukur berat jenis atau volume cairan. 
Dalam Kitab Al-Saydalah, Al-Biruni menjelaskan secara rinci pengetahuan tentang obat-obatan. Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya peran farmasi dan fungsinya dalam kehidupan manusia.
Sedangkan Ibnu Sina (980 M-1037 M), antara lain menciptakan Lingkar Pendingin (Refrigerated Coil) dan Termometer. Lingkar Pendingin merupakan alat yang berfungsi untuk memadatkan uap wangi. Dan Termometer merupakan alat untuk mengukur temperatur atau suhu. Dalam bukunya The Making of Humanity, Robert Briffault menjelaskan, Termometer ditemukan pertama kali oleh Ibnu Sina pada abad ke-11.
Muhammad Ibnu Zakariya Razi atau yang lebih dikenal dengan nama Ar Razi (lahir 866 M) antara lain membuat Alat Pengolah Obat-obatan, yaitu alat yang digunakan untuk mengolah obat-obatan, dan Alat untuk Melelehkan Bahan atau zat-zat kimia. Peralatan ini dijelaskan secara panjang lebar oleh Ar-Razi dalam Secretum Secretorumnya.
Ar-Razilah yang  mampu membangun dan mengembangkan laboratorium kimia modern. Pada saat itu, ia menggunakan lebih dari 20 peralatan laboratorium pada saat itu. Tak hanya itu, ia juga menjelaskan eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Karena itulah para ilmuwan dunia menyebut Ar-Razi sebagai ilmuwan pelopor yang menciptakan laboratorium modern. “Kontribusi Ar-Razi dalam ilmu kimia sungguh luar biasa besar,” kata Erick John Holmyard (1990) dalam bukunya, Alchemy. Berkat Ar-Razi pula industri farmakologi muncul di dunia.
Ar-Razi mampu membuat klasifikasi zat alam yang sangat bermanfaat. Ia membagi zat yang ada di alam menjadi tiga, yakni zat keduniawian, tumbuhan, dan zat binatang. Soda serta oksida timah merupakan hasil kreasinya.
Sosok kimiawan Muslim lainnya yang tak kalah populer adalah Al-Majriti (950 M-1007 M). Ilmuwan Muslim di era keemasan Andalusia (Spanyol) ini berhasil menulis buku kimia bertajuk Rutbat Al-Hakim. Dalam bukunya ia menjelaskan rumus dan tata cara pemurnian logam mulia.
Al-Majriti juga tercatat sebagai ilmuwan pertama yang membuktikan prinsip-prinsip kekekalan masa -yang delapan abad berikutnya dikembangkan kimiawan Barat bernama Lavoisier.
Tidak cuma menemukan zat-zat dan senyawa-senyawa seperti asam nitrat, asam klorida, dan alkohol, para kimiawan Muslim seperti Jabir Ibnu Hayyan, Al-Razi, Al-Biruni, dan Ibnu Sina, juga memperkenalkan dasar-dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, dan pemurnian.
Kontribusi dan capaian ilmuwan Muslim di era keemasan Kekhalifahan Islam ini memberikan pengaruh besar bagi pengembangan ilmu kimia di era modern sekarang ini. Sejarah dunia mencatat bahwa peradaban Islam di era kejayaannya telah melakukan revolusi dalam bidang kimia.
Tidak mengherankan jika Will Durant, ilmuwan Jerman abad ke-18, dalam buku Story of Civilization IV, The Age of Faith, menyebutkan kemajuan ilmu kimia modern saat ini hampir-hampir sepenuhnya diciptakan dan dikembangkan oleh peradaban Islam. “Dalam bidang kimia, peradaban Yunani hanya sebatas melahirkan hipotesis yang samar-samar. Sedangkan peradaban Islam telah memperkenalkan observasi yang tepat, eksperimen yang terkontrol, dan catatan atau dokumen yang begitu teliti,” papar Durant.
Begitulah, para kimiawan Muslim di era Kekhalifahan Islam telah melakukan revolusi luar biasa dalam ilmu kimia.
* Penulis adalah Alumni ESQ Eksekutif Angkatan 35

Jauh Sebelum Darwin, Al Jahiz Ciptakan Teori Struggle for Existence


Kalau kita pelajari sejarah peradaban Islam, ternyata tak hanya dalam ilmu kimia capaian para pakar Muslim di era keemasan itu. Ilmuwan Muslim di zaman kekhalifahan juga tercatat banyak menorehkan sejarah penemuan di bidang biologi. Temuan-temuan itu antara lain dipersembahkan oleh Al-Jahiz, Al-Qazwini, Al-Damiri, Abu Zakariya Yahya, Abdullah Ibn Ahmad Ibn Al-Baytar, Al-Mashudi, dan lain-lain.
Al-Jahiz dilahirkan di Basra (Irak) pada tahun 781 Masehi. Ia adalah pencetus pertama teori evolusi. Sayang namanya tidak disebutkan dalam buku-buku pelajaran biologi di sekolah maupun di perguruan tinggi. Pelajar dan mahasiswa lebih mengenal nama Charles Darwin, ilmuwan yang hidup seribu tahun sepeninggal Al-Jahiz. Darwin yang hidup pada masa 1809-1882 itu dikenal melalui bukunya bertajuk On the Origin of Species (1859).
Jika Darwin pernah menulis soal migrasi burung-burung di Kepulauan Galapagos, maka jauh sebelum itu Al-Jahiz juga pernah melakukannya. Al-Jahiz adalah ahli biologi pertama yang mencatat perubahan hidup burung melalui migrasi. Dia berpendapat, lingkungan dapat menentukan karakteristik fisik makhluk hidup. Asal muasal beragamnya warna kulit manusia, misalnya, terjadi sebagai akibat dari lingkungan tempat mereka tinggal.
Al-Jahiz (781 M - 869 M) merupakan ahli biologi pertama yang mengungkapkan teori struggle for existence (berjuang untuk tetap hidup). Makhluk hidup, kata Al-Jahiz, agar bisa bertahan hidup harus berjuang. Berjuang untuk mengatasi pengaruh dampak lingkungan, persaingan memperoleh makanan, dan rasa aman.
Ilmuwan asal Irak itu menulis Kitab Al-Hayawan (buku tentang kehidupan binatang). Dalam kitab itu dia menulis tentang teori evolusi, adaptasi, dan psikologi binatang. Untuk dapat bertahan hidup, makhluk hidup harus berjuang sebagaimana ia dahulu berjuang untuk bisa tetap hidup di tengah-tengah keluarga yang miskin.
Al-Jahiz memang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga miskin. Ia harus membantu perekonomian keluarga yang morat-marit dengan berjualan ikan di pasar. Kendati sibuk membantu keluarga, namun Al-Jahiz tidak putus sekolah. Bahkan ia termasuk pelajar berprestasi dan rajin berdiskusi tentang sains. Di sekolah, Al-Jahiz mempelajari puisi, filsafat, sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, Al Quran, Hadits, dan lain-lain. Pemilik nama lengkap Abu Uthman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri, ini bersekolah hingga usia 25 tahun.
Al-Jahiz juga dikenal sebagai seorang penulis. Ia banyak menulis artikel dan buku. Karirnya sebagai penulis ia awali dengan menulis artikel saat masih tinggal di Basra. Kegemarannya menulis ini terus berlanjut di Bagdad --pada tahun 816 M Al-Jahiz pindah ke Bagdad dan meninggal di kota itu pada tahun 869 dalam usia 93 tahun. Selama hidupnya ia telah menulis 200 buku. Bukunya antara lain: Kitab al-Bukhala, Kitab al-Bayan wa al-Tabyin, Kitab Moufakharat al Jawari wal Ghilman, dan Risalat Mufakharat al-Sudan 'ala al-Bidan.
Karya-karya Al-Jahiz banyak menginspirasi para ilmuwan lain seperti Al-Qazwini (ilmuwan Persia) dan Al-Damiri (Mesir). Bahkan karyanya juga diakui kalangan Barat. Pakar biologi Barat yang sezaman dengan Charles Darwin, Jhon William Draper, misalnya mengatakan, ”Teori evolusi yang dikembangkan umat Islam melebihi apa yang kami lakukan. Mereka meneliti berbagai hal tentang anorganik dan mineral.” Tak heran jika Al-Jahiz pun dikenal sebagai pakar biologi terbesar yang pernah lahir di dunia Islam.
Selain Al-Jahiz, peradaban Islam juga pernah melahirkan pakar biologi lain yang mengkaji tentang evolusi. Mereka antara lain Al-Mashudi dan Ibnu Maskawaih. Al-Mashudi dikenal telah meletakkan dasar-dasar teori evolusi dalam karyanya yang dikenal sebagai “Padang rumput emas”. Karya Al-Mashudi lainnya ada dalam Kitab Al-Tanbih wal Ishraq. Dalam kitab ini ia menjelaskan teori evolusi dari mineral ke tumbuhan, dari tumbuhan ke binatang, dan seterusnya.
Sedangkan Ibnu Maskawaih menulis teori evolusinya dalam kitab The Epistles of Ikhwan Al-Safa. Dalam kitab ini ia mengungkapkan tentang tingkatan perkembangan sebuah species. Mulai dari air, mineral, tanaman, hewan, dan seterusnya. Karya Ibnu Maskawaih ini sangat populer di dunia Barat. Bahkan  teori evolusinya telah banyak mempengaruhi penganut paham Darwin.
Pakar biologi Muslim lainnya adalah Al-Damiri. Ilmuwan yang wafat di Kairo, Mesir, tahun 1405 M itu banyak diinspirasi oleh Al-Jahiz yang dikenal sebagai ahli zoologi paling terkemuka di dunia Islam.
Al-Damiri menuliskan karyanya dalam Kitab Hayat al- Hayawan (Kehidupan Binatang). Ini adalah sebuah eksiklopedi tentang kehidupan binatang dan menjadi sumber informasi penting tentang binatang. Karya Al-Damiri merupakan karya yang sangat penting dalam kajian zoologi. Ensiklopedi sejarah binatang itu tercatat 700 tahun lebih awal dari yang ditulis ahli biologi Barat, Buffon. Namun nama Buffon lebih dikenal ketimbang Al-Damiri. Ini bukti peradaban Barat banyak menyembunyikan temuan-temuan ilmuwan Muslim.
Khazanah peradaban Islam di bidang biologi masih menyimpan beberapa nama ilmuwan lain. Mereka antara lain Abu Zakaria Yahya Ibn Muhammad Ibn Al-Awwan, Abdullah Ibn Ahmad Al-Baytar, dan Abul Abbas Al-Nabati.
Abu Zakaria Yahya adalah penulis Kitab Al-Filahah. Ilmuwan yang menulis di akhir abad ke-12 di Sevilla (Spanyol) itu adalah penulis ilmu-ilmu pertanian. Bukunya memuat 585 jenis tanaman dan teknik budidaya lebih dari 50 tanaman buah-buahan. Ia juga menulis penyakit-penyakit tanaman dan cara mengatasinya, serta jenis-jenis tanah, kesuburan, dan cara pemupukannya.
Masa keemasan Islam di Spanyol juga melahirkan Abdullah Ibn Ahmad Al-Baytar. Ia adalah ahli botani dan sekaligus pakar obat-obatan (farmasi) terkemuka di Spanyol saat itu. Ia menjelajahi wilayah Mediterania, dari Spanyol sampai Syiria, untuk mengumpulkan tanaman-tanaman yang bisa digunakan untuk pengobatan (herbal).
Al-Baytar menjelaskan lebih dari 1.400 obat-obatan herbal dan membandingkannya dengan temuan-temuan lebih dari 150 penulis Muslim sebelumnya. Ilmuwan yang meninggal di Damaskus, Syiria, ini menjadi herbalis terkemuka di dunia Islam.
Karya-karya Al-Baytar antara lain Al-Mughani-fi al- Adwiyah al-Mufradah (kitab tentang obat-obatan) dan Al-Jami fi al-Adwiyah al-Mufradah (kitab tentang obat-obatan dari binatang, buah-buahan dan mineral). Kitab ini juga memuat 200 tanaman yang saat itu belum dikenal orang.
Nama lainnya adalah Abul Abbàs Al-Nabati. Sebagaimana Al-Baytar, Al-Nabati juga seorang pengembara. Ia berkelana sepanjang pantai-pantai Afrika dari Spanyol sampai ke negeri-negeri Arab di Timur Tengah untuk mengumpulkan dan meneliti tanaman-tanaman herbal. Al-Nabati menemukan sejumlah tanaman langka di pantai Laut Merah. Nama Al-Nabati, dan juga pakar biologi Muslim lainnya tetap dikenang hingga sekarang karena sumbangsihnya yang sangat luar biasa bagi kehidupan manusia. Bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, nama Nabati sangat akrab di telinga kita. Anda lebih senang mengonsumsi minyak nabati?

Kontribusi Ilmuwan Muslim di Bidang Matematika

Zaman keemasan (golden ages) peradaban Islam --abad ke-7 sampai 15-- tidak hanya melahirkan ulama-ulama atau generasi yang mumpuni di bidang keagamaan. Era itu juga banyak melahirkan para ilmuwan di berbagai bidang. Mereka banyak menemukan teori-teori baru dan membuat berbagai macam peralatan atau temuan-temuan yang kelak mempunyai arti penting dalam sejarah peradaban dunia. Termasuk di antaranya temuan-temuan di bidang matematika.
Para pakar matematika Muslim telah memberi kontribusi nyata dan menemukan berbagai macam teori di bidang matematika seperti yang kita kenal sekarang. Misalnya, mereka menemukan sistem bilangan desimal, sistem operasi dalam matematika seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, eksponensial, dan penarikan akar. Tak cuma itu, mereka juga memperkenalkan angka-angka dan lambang bilangan, termasuk angka “nol” (zero).  Mereka antara lain juga menemukan bilangan phi (?), persamaan kuadrat, algoritma, fungsi sinus, cosinus, tangen, cotangen, dan lain-lain. Pakar matematika Muslim itu antara lain: Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Karaji, Al-Battani, Al-Biruni, dan Umar Khayyam.
Salah satu ilmuwan Muslim yang memberikan sumbangan besar dalam pengembangan matematika adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Pakar matematika yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Khawarizmi ini hidup pada tahun 780 hingga 850 Masehi. Di kalangan masyarakat Barat, Al-Khawarizmi lebih dikenal dengan nama Algorisme atau Algoritme. Ia telah banyak menemukan teori-teori dalam matematika.
Al-Khawarizmi juga populer dengan sebutan Bapak Aljabar. Aljabar diambil dari namanya. Teori-teori Aljabar ia tulis dalam kitabnya yang bertajuk “Hisab Al-Jabr wal Muqabalah” atau buku tentang penghitungan, restorasi dan pengurangan. Teori 'algoritme' dalam matematika modern diambil dari namanya, karena dialah yang pertama kali mengembangkannya.
Al-Khawarizmi mengaku menulis buku tentang aljabar untuk menyediakan kebutuhan praktis bagi orang-orang yang berurusan dengan harta peninggalan, warisan, pembagian, perkara hukum, dan perdagangan.
Selain Aljabar dan algoritma, karya Al-Khawarizmi lainnya misalnya persamaan kuadrat dan fungsi sinus.
Al-Khawarizmi diperkirakan lahir sekitar tahun 780 Masehi di Kota Kath, di sebuah lembah Khorzen. Kota Kath kini telah lenyap karena terkubur pasir.
Jejak-jejak Al-Khawarizmi antara lain ditemukan di Kampus Universitas Cambridge. Pada tahun 1857 di perpustakaan Universitas Cambridge ditemukan teks atau naskah aritmatika karya seorang Muslim dalam terjemahan bahasa Latin bertajuk 'Algoritimi de Numero Indorum'. Naskah ini diawali dengan kalimat, “Telah berkata Algoritimi. Marilah kita haturkan pujian kepada Tuhan, Pemimpin dan Pelindung kita.”
Naskah ini diyakini sebagai salinan dari naskah aritmatika Al-Khawarizmi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh dua sarjana Inggris yaitu Gerard dari Cremona dan Roberts dari Chester. Hasil terjemahan ini digunakan oleh para ahli matematika di seluruh dunia sampai abad ke-16.
Al-Khawarizmi, penemu beberapa cabang dan konsep dasar dalam matematika ini, juga dikenal sebagai seorang astronom dan ahli geografi. Sebagai seorang astronom, dia dipanggil ke Bagdad oleh Khalifah Al-Makmun dan diangkat memimpin para pakar astronomi di istana.
Selain Al-Khawarizmi, matematikawan Islam yang lain adalah Al-Kindi (801-873). Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yaqub Ibn Ishaq Al-Kindi. Ia dilahirkan sekitar tahun 801 di Kufa, Irak, saat ayahnya berkuasa di wilayah itu. Nama panggilan Al-Kindi menunjukkan keturunan dalam kerajaan  Kindah dari keturunan Yemenite.
Al-Kindi telah menulis sebelas kitab tentang bilangan dan analisis numerik. Itu antara lain kontribusinya di bidang aritmatika. Namun, Al-Kindi lebih dikenal sebagai seorang filsuf pertama di dunia Islam.
Irak juga melahirkan Abu Bakr Ibn Hussein atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Karaji. Penulis kitab bertajuk Al-Kafi fi Al-Hisab (Pokok-pokok Aritmatika) ini lahir di Kharkh, sebuah daerah sub-urban di Bagdad. Dalam buku ini Al-Karaji menerangkan tentang seluk-beluk penghitungan.
Al-Karaji juga menulis kitab Al-Fakhri.Karyanya meliputi aritmatika, aljabar, dan geometri.
Zaman keemasan Islam juga melahirkan pakar-pakar di bidang trigonometri. Mereka antara lain adalah Al-Battani (850-929), Al-Biruni (973-1050), dan Umar Khayyam. Al-Battani atau Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan Abu Abdullah dikenal sebagai bapak trigonometri. Ia lahir di Battan, Mesopotamia, dan meninggal di Damaskus pada tahun 929. Al-Battani adalah tokoh bangsa Arab dan gubernur Syria. Dia merupakan astronom Muslim terbesar dan ahli matematika ternama.
Al-Battani melahirkan trigonometri untuk level lebih tinggi dan orang pertama yang menyusun tabel cotangen. Sedangkan Al-Biruni adalah peletak dasar-dasar trigonometri modern. Dia seorang filsuf, ahli geografi, astronom, ahli fisika, dan pakar matematika. Enam ratus tahun sebelum Galgeo, Al-Biruni telah membahas teori-teori perputaran (rotasi) bumi pada porosnya.
Al-Biruni juga memperkenalkan pengukuran-pengujuran geodesi dan menentukan keliling bumi dengan cara yeng lebih akurat. Dengan bantuan matematika, dia dapat menentukan arah kiblat dari berbagai macam tempat di dunia.
Selain itu, tokoh matematika lain yang tak kalah terkenal adalah Umar Khayyam. Kendati ia lebih dikenal sebagai seorang penyair, namun Umar Khayyam memiliki kontribusi besar dalam bidang matematika, terutama dalam bidang aljabar dan trigonometri. Ia merupakan matematikawan pertama yang menemukan metode umum penguraian akar-akar bilangan tingkat tinggi dalam aljabar, dan memperkenalkan solusi persamaan kubus.
Dalam bidang trigonometri, teori-teori dari fungsi; sinus, cosinus, dan tangen, telah dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim pada abad ke-10. Para ilmuwan Muslim telah bekerja dengan teliti dalam pengembangantrigonometri bidang datar dan ruang. Mereka mengembangkan teori trigonometri berdasarkan pada teori Ptolemeus. Namun, karya mereka lebih diakui karena dua alasan: pertama, teori mereka memakai sinus sedangkanPtolemeus menggunakan tali atau penghubung dua titik di lingkaran (chord). Kedua, teori trigonometri para matematikawan Muslim itu menggunakan bentuk aljabar sebagai pengganti bentuk geometris.

Kontribusi Fisikawan Muslim untuk Peradaban Dunia

Di bidang eksakta, termasuk di bidang fisika, para ilmuwan Muslim telah memberikan kontribusi luar biasa untuk kehidupan umat manusia. Karya-karya mereka, khususnya fisikawan Muslim di zaman keemasan (golden ages) Islam, banyak memberi inspirasi dan mewarnai karya para ilmuwan Barat. Sebut saja misalnya Al-Haitham. Karya fisikawan Muslim yang hidup pada tahun 965-1039 Masehi ini memberi inspirasi pada Roger Bacon, Johann Kepler, Leonardo da Vinci, dan lain-lain.
Berikut beberapa fisikawan Muslim yang berjasa dalam menyemarakkan peradaban dunia dengan karya-karyanya:
Al-Haitham
Fisikawan ternama ini bernama lengkap Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Hasan (atau al-Husain) Ibn Al-Haitham. Ia lahir tahun 965 di Basrah (Irak). Namun namanya mulai masyhur di Mesir, saat pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Al-Hakim (996-1020). Fisikawan Muslim terbesar dan salah satu pakar optik terbesar sepanjang masa, itu wafat di Kairo sekitar tahun 1039.
Sepanjang hidupnya, Al-Haitham telah menulis sekitar 70 kitab. Salah satu kitabnya, Al-Manazir, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan tajuk Opticae Thesaurus. Dalam kitabnya Al-Haitham mengatakan, proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata. Bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman Aristoteles.  Dalam kitab itu ia juga menjelaskan berbagai cara untuk membuat teropong dan kamera sederhana (kamera obscura).
Kitab tentang optika ini telah menginspirasi para ilmuwan Barat seperti Roger Bacon dan Johann Kepler. Tak heran jika Al-Hazen, demikian Barat menyebut nama Al-Haitham, mendapat gelar ”Bapak Optika Modern”.
Al-Haitham juga dinilai telah memberikan sumbangan besar bagi kemajuan metode penelitian. Ia telah memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah hipotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance. Metode ilmiah Al-Haitham diawali dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis dengan melakukan penelitian, analisis hasil penelitian, interpretasi data dan formulasi kesimpulan, serta diakhiri dengan publikasi.
Selain fisikawan, Al-Haitham juga dikenal sebagai astronom dan matematikawan. Ia telah menulis komentar tentang Aristoteles dan Galen.
Ibnu Bajjah
Namanya Abu-Bakr Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Al-Sayigh. Tapi ia biasa dipanggil Ibnu Bajjah yang berarti "anak emas". Ibnu Bajjah lahir di Saragoza, Spanyol, pada tahun 1082 dan wafat pada 1138 M. Ia mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan di zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun. ''Avempace'' --sebutan Barat untuk Ibnu Bajjah--antara lain mengembangkan ilmu fisika, matematika, astronomi, musik, ilmu kedokteran, psikologi, sastra, dan filsafat.
Sebagaimana Al-Haitham, karya Ibnu Bajjah dalam bidang fisika banyak mempengaruhi fisikawan Barat abad pertengahan seperti Galileo Galilei. Ibnu Bajjah menjelaskan tentang hukum gerakan. Menurutnya, kecepatan sama dengan gaya gerak dikurangi resistensi materi. Prinsip-prinsip yang dikemukakannya ini menjadi dasar bagi pengembangan ilmu mekanika modern. Karena itu tidak mengherankan jika hukum kecepatan yang dikemukakan Galilei sangat mirip dengan yang dipaparkan Ibnu Bajjah. Karya-karya Ibnu Bajjah mengenai analisis gerakan juga sangat mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas.
Al-Farisi
Kamal al-Din Abu'l-Hasan Muhammad Al-Farisi lahir di Tabriz, Persia (sekarang Iran) pada tahun 1267 dan wafat pada  1319 M.  Al-Farisi terkenal dengan kontribusinya tentang optik. Dalam bidang optik, ia berhasil merevisi teori pembiasan cahaya yang dicetuskan para ahli fisika sebelumnya. Al-Farisi membedah dan merevisi teori pembiasan cahaya yang telah ditulis oleh Al-Haitham. Hasil revisi itu ia tulis dalam kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik).
Menurut Al-Farisi, tidak semua teori optik yang dikemukakan Al-Haitham benar. Karena itulah ia berusaha memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan teori Al-Haitham. Tak cuma itu, teori Al-Haitham soal pelangi juga ia perbaiki. Bahkan Al-Farisi mampu menggabungkan teori Al-Haitham ini dengan teori pelangi dari Ibnu Sina.
Al-Farisi mampu menjelaskan fenomena alam ini dengan menggunakan matematika. Inilah salah satu karya fenomenalnya.
Taqi al-Din
Selain dikenal sebagai pakar fisika, Taqi al-Din Muhammad ibnu Ma'ruf al-Shami al-Asadi (1526-1585 M) adalah pakar matematika, pakar botani, astronom, astrolog, dan ahli teknik. Taqi al-Din juga teolog, filsuf, ahli hewan, ahli obat-obatan, hakim, guru, dan imam masjid. Sebagai ahli teknik, ia misalnya membuat jam dinding dan jam tangan.
Taqi al-Din menulis sekitar 90 kitab. Salah satunya bertajuk Al-Turuq al-Samiyya fi al-Alat al-Ruhaniyya. Kitab yang ditulis pada 1551 ini menjelaskan kerja mesin dan turbin uap air. Karya ini mendahului penemuan Giovanni Branca (1629) tentang mesin uap air. Kitab-kitab lainnya antara lain menerangkan tentang optik, matematika, mekanika, astronomi, dan astrologi.
Al-Khazini
Abdurrahman al-Khazini hidup pada abad ke-12 M. Ia adalah ilmuwan yang menemukan berbagai teori penting dalam sains. Temuan ilmuwan kelahiran Bizantium ini antara lain: metode ilmiah eksperimental dalam mekanik; perbedaan daya, masa dan berat; jarak gravitasi; serta energi potensial gravitasi.
Sumbangan penting Al-Khazini dalam bidang fisika terangkum dalam kitab Mizan al-Hikmah yang ditulisnya pada tahun 1121. Dalam buku ini ia menjelaskan tentang teori keseimbangan hidrostatika.Teori ini telah mendorong penciptaan peralatan ilmiah. Tak mengherankan jika Robert E. Hall dalam tulisan bertajuk ''Al-Khazini'' yang dimuat dalam A Dictionary of Scientific Biography Volume VII (1973) menyebutkan, ”Al-Khazini adalah salah seorang saintis terbesar sepanjang masa.'' Sedangkan editor  Dictionary of Scientific Bibliography, Charles C. Jilispe, menjuluki Al-Khazini sebagai ''Fisikawan terbesar sepanjang sejarah.”
Dalam bukunya, Al-Khazini menerangkan prinsip keseimbangan hidrostatika dengan tingkat ketelitian obyek sampai ukuran mikrogram (10?6 gr). Tingkat ketelitian seperti ini, menurut K. Ajram dalam The Miracle of Islamic Science, baru dapat tercapai pada abad ke-20 M.
Al-Khazini juga menjelaskan definisi ''berat''. Menurutnya, berat merupakan gaya yang inheren dalam benda-benda padat yang menyebabkan mereka bergerak dalam satu garis lurus terhadap pusat bumi (gravitasi) dan terhadap pusat benda itu sendiri.  Besaran gaya ini tergantung dari kerapatan benda.  
Ia juga menerangkan pengaruh suhu (temperatur) terhadap kerapatan benda. Hal ini ia lakukan sebelum Roger Bacon menemukan dan membuktikan suatu hipotesis tentang kerapatan air saat ia berada dekat pusat bumi.
Sebagaimana para ilmuwan Muslim lainnya yang hidup di era keemasan Islam, Al-Khazini merupakan ilmuwan multidisiplin. Selain pakar fisika, ia juga ahli di bidang biologi, kimia, matematika, astronomi, dan filsafat.  
Al-Khazini, dan para ilmuwan Muslim lainnya, telah melahirkan ilmu gravitasi yang kemudian berkembang di Eropa. Al-Khazini juga telah berjasa meletakkan fondasi bagi pengembangan mekanika klasik di era Renaisans Eropa. Inilah salah satu bukti betapa para ilmuwan Muslim telah memberi kontribusi yang luar biasa bagi peradaban dunia.