9/19/2010

Kontraindikasi Legalitas dan Retroaktif dalam HAM

PENDAHULUAN



Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai "tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya" tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.
Akan tetapi supremasi dari asas legalitas ini mendapat tantangan dari perkembangan zaman yang terus berevolusi. Asas legalitas dituntut untuk memberi rasa keadilan bagi hukum di Indonesia yang terus berkembang. Tantangan paling berat datangnya dari waktu kejadian suatu perkara. Kasus terkini adalah tentang Hak Asasi Manusia yang sedang ramai diperbincangkan. UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan legalitas dari hukum yag ada. Permasalahannya adalah bagaimana asas legalitas menangani kasus HAM berat sebelum peraturan itu lahir? Dari sini penulis bermaksud mengupas tuntas peranan asas legalitas terhadap Peradilan HAM di Indonesia, khususnya pada Pengadilan Ad Hoc.




POKOK BAHASAN



Dalam menelaah permasalahan ini, penulis berusaha membahas secara sistematis pada suatu check point, sehingga pembahasan tidak out of way dan tepat sasaran pada permasalahan yang penulis maksud. Berikut adalah pokok-pokok bahasan yang akan ditelaah:

A. Asas Legalitas.
B. Pengadilan HAM Ad Hoc.
C. Dasar Hukum Pembentukan HAM Ad Hoc.
D. Asas Retroaktif.
E. Alasan-Alasan Pemberlakuan Asas Retroaktif.

Apabila semua materi ini dapat ditelaah secara baik, semoga dapat memberi manfaat bagi semua pihak. Amien.




























URAIAN PEMBAHASAN



A. Asas Legalitas.

Dalam KUHP Indonesia dikenal suatu asas yang amat fundamental yaitu Asas Legalitas. Dalam Bahasa Latin Asas ini biasa disebut sebagai Nullum delictum, nulla poena, sine praevie lege poenali. Asas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan, tiada akan dijatuhkan pidana kecuali telah ada aturan pidana yang telah mengatur perbuatan tersebut sebelum perbuatan dilakukan.
Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan itu dilakukan”. Dalam pasal ini lebih dikenal dengan asas legalitas dalam bahasa latinnya “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” .
Asas ini oleh ahli hukum dipandang sebagai asas yang vital. Prof Oemar Senoaji pada waktu menjadi Menteri Kehakiman bahkan menyatakan, asas legalitas walaupun bukan asas yang tercantum dalam UUD namun pembentuk undang-undang tidak boleh dengan gegabah menyimpanginya sebab asas ini merupakan asas fundamental bagi suatu negara hukum.


B. Pengadilan HAM Ad Hoc.

Hukum acara pengadilan HAM ad hoc sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan kata lain pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di samping Pengadilan HAM, saat ini dikenal pula adanya Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili , dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000. Dengan demikian undang undang pengadilan HAM berlaku surut atau retroaktif. Pelanggaran Ham yang berat mempunyai sifat khusus dan digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (exrtra ordinary crime). Oleh karena itu, pasal 28 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 dan hukum internasional menentukan bahwa asas retroaktif berlaku dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Ham yang berat. Asas retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku surut ke belakang. Hal ini berbeda dengan kejahatan biasa (ordinary crime) yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah ada hukumnya/undang-undangnya terlebih dahulu. Asas yang berlaku dalam penanganan kejahatan biasa adalah asas legalitas.


C. Dasar Hukum Pembentukan HAM Ad Hoc.

Pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc, didasarkan pada ketentuan pasal 43 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Selain itu Mahkamah konstitusi juga telah menguatkan berlakunya azas retroaktif melalui pengadilan HAM Ad-hoc dengan keputusan nomor 065/PUU-II/2004 atas gugatan Abilio Soares dalam Kasus Timor Timur yang meminta pemberlakukan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 dibatalkan karena tidak sesuai dengan Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dan menguatkan eksistensi Pengadilan HAM Ad-hoc.
Pasal 43 ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat (3) menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, Dewan Perwakilan Rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1. Dugaan adanya pelanggaran HAM ad hoc yang terjadi sebelum Tahun 2000 atau sebelum disyahkannya UU No. 26 Tahun 2000.
2. Adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
3. Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
4. Adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempo dan locus delicti tertentu.
5. Adanya keputusan presiden (Keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.Ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, Kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke Presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Kemudian Presiden mengeluarkan keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan atau rekomendasi dari DPR. Hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.

Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur juga melalui mekanisme dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Langkah pertama adalah adanya penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sesuai dengan ketentuan dalam Perpu No. 1 Tahun 1999 mengenai pengadilan HAM. Dalam perpu ini dinyatakan pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM, terutama dalam hal kejahatan terhadap kemanusian. Komnas HAM kemudian untuk penyelidikan membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran HAM di Tim-tim yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR yang mengesahkan hasil jejak pendapat. Dengan memberikan perhatian khsusus kepada pelanggaran berat hak asasi manusia antara lain genocida, massacre, torture, enforced displacement, crime against woman and children dan politik bumi hangus. Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara dan atau badan lain nasional dan internasional dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januri 1999 di Timor-Timur. Proses selanjutnya adalah dilakukannya penyidikan oleh Kejaksaan Agung dari hasil penyelidikan oleh komnas HAM. Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang pleno DPR melalui keputusan DPR-RI No 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001 akhirnya Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan Keppres No. 96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena Keppres Nomor 53 tahun 2001, oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No. 96 tahun 2001 dan yuridiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September 1999.


D. Asas Retroaktif.
Ketentuan yang sangat erat hubungannya dengan adanya pengadilan HAM ad hoc adalah ketentutan mengenai berlakunya asas retroaktif atau asas berlaku surut. Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan tempus delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas. Prinsip retroaktif ini menjadi ketentuan yang paling banyak diperdebatkan karena dianggap bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana.

Asas berlaku surut ini menjadi sebuah asas yang paling kontroversial dalam aturan mengenai pengadilan HAM ad hoc ini. Pasal 43 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang yang terjadi sebelum diundangkannya undangundang ini diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Dalam pengaturan mengenai kasus-kasus masa lalu sebelum diundangkannya undang-undang ini tidak memberikan batasan secara limitatif sampai tahun berapa kasus-kasus masa lalu dapat diperiksa. Seperti diketahui bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida sebelumnya memang belum dijadikan delik tersendiri dalam hukum pidana kita.

Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang ada adalah kejahatan yang berupa pembunuhan (murder), perampasan kemerdekaan (imprisonment), penyiksaan/penganiayaan (torture), dan perkosaan (rape) yang sifatnya biasa. Bentuk-bentuk kejahatan diatas menjadi elemen spesifik untuk adanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang membutuhkan elemen umum yang dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini unsur-unsurnya adalah adanya unsur sistematik atau meluas dan adanya kebijakan. Delik kejahatan terhadap kemanusiaan dengan rumusan yang seperti inilah yang dianggap sebagai delik baru dalam hukum pidana sehingga kalau delik ini akan diberlakukan kepada para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 maka akan berlaku prinsip retroaktif. Kontroversi mengenai adanya prinsip retroaktif ini karena dalam hukum pidana asas kardinal yang dipegang teguh adalah asas legalitas dimana tidak ada penghukuman tanpa adanya pemidanaan terlebih dahulu. Diluar ketentuan KUHP, larangan untuk pemberlakuan pengaturan yang berlaku surat juga terdapat dalam Pasal 28 I undang-undang 1945.
Dalam konvensi internasional untuk hak sipil dan politik juga dilarang digunakannya peraturan yang bersifat surut. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 disinggung mengenai dasar yuridis digunakannya prinsip retroaktif ini. Landasan yang digunakan adalah Pasal 28 huruf j ayat (2) yang berbunyi bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan ungkapan lain bahwa asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri


E. Alasan-Alasan Pemberlakuan Asas Retroaktif .

Landasan legitimasi untuk dapat digunakannya asas retroaktif adalah bahwa asas legalitas (nullum crimen sine lege) mempunyai landasan fundamen moral yaitu hendak melindungi rakyat dari kezaliman penguasa. Salah satu bentuk kezaliman itu adalah penguasa secara sadar tidak pernah mau membuat perundangundangan yang bisa mengadili dirinya sendiri. Dalam konteks Indonesia, telah begitu banyak korban kejahatan yang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan kekuasaan selama puluhan tahun. Tidak ada ketentuan yang melindungi martabat kemanusiaan rakyat dan tidak ada kasus yang bisa dibawa keperadilan. Itulah sebabnya penerapan prinsip legalitas perlu dipertanyakan landasan moralitasnya, siapa yang perlu dilindungi, rakyat yang terus menerus menjadi korban atau penguasa yang diduga melakukan kejahatan.

Asas nullum delictum ini tidak harus berlaku secara mutlak seperti dikemukakan oleh penganut utilitarianisme. Dengan adanya asas ini pada hakekatnya banyak kejahatan yang perbuatannya patut dipidana tapi tidak dapat dipidana. Pendapat Utrech yang menyatakan bahwa asas nullum delictum lebih berperspektif melindungi individu ketimbang melindungi kepantingan kolektif dan juga asas legalitas dianggap terlalu berpihak pada kepentingan positivistik saja.

Dalam ketentuan Undang-undang No. 14 tahun 1970 Pasal 27 membuka peluang adanya rechtsvinding dengan menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam masyarakat internasional sejak 52 tahun yang lalu terdapat peradilan Nurenberg dan Tokyo yang menggunakan prinsip retroaktif untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan rechtsvinding ini indonesia bisa merujuk nilai-nilai hukum masyarakat internasional, dalam hal ini terdapat landasan untuk menerapkan prinsip retroaktif.
Dalam praktek peradilan internasional, pada awalnya peradilan terhadap para pelaku kajahatan internasional (pelanggaran HAM yang berat) ditempuh oleh masyarakat internasional dengan membentuk ad hoc extra judicial tribunal. Telah menjadi kesepakatan universal bahwa sejak berakhirnya perang dunia ke II kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan harus diperangi dan diadili. Para pelakunya sedapat mungkin diadili, dan jika terbukti bersalah harus dihukum, untuk menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini sama sekali tidak bisa ditolerir dan harus dicegah dari kemungkinan berulang dimasa yang akan datang. Pikiran inilah yang mendasari dan menjadi alasan dari pembentukan ad hoc extra judicial tribunal. Peradilan ini bersifat extra legal atau extra judicial, karena dibentuk dengan sangat terpaksa untuk mensiasati kekosongan norma-norma internasional dan adanya pertentangan antara norma internasional dan norma nasional. Peradilan yang dibentuk adalah peradilan untuk kasus Nurenberg dan Tokyo.

Dalam kasus Nurenberg Tribunal menerapkan dan mempraktekkan sifat extra legal dengan menerapkan definisi yang sangat longgar terhadap prinsip legalitas dan melanggarnya. Para penjahat perang yang dihadapkan ke peradilan tersebut telah diadili dengan norma-norma yang dibuat untuk kepentingan pengadilan itu sendiri. Dalam hal ini berarti, norma-norma itu dibuat untuk melarang, dan kemudian mengadili dan menghukum, terhadap perbuatan-perbuatan yang sudah terjadi, yang sebelumnya tidak dilarang (ex post facto law). Dari sini pertama kalinya dilakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dengan menerapkan prinsip retroaktif.

Penyimpangan terhadap asas legalitas ini bukannnya tanpa disadari oleh para pembentuknya tetapi adanya kesadaran bahwa pelanggaran terhadap asas legalitas ini dipilih secara sadar karena suatu keadaan yang tidak terelakkan, dan adanya komitmen yang sungguh untuk membatasi akibatnya, komitmen untuk membatasi dampak dari pelanggaran asas legalitas ini memberikan sifat ad hoc bagi peradilan tersebut. Sifat ad hoc ini mempunyai pengertian bahwa harus berakhir ketika kasus yang ditanganinya selesai dan tidak dapat digunakan untuk mengadili kasus-kasus lainnya. Jadi sifat ad hoc ini berfungsi untuk limiting the damage yang bisa diakibatkan oleh sifat extra judicial dari peradilan tersebut.

Setelah peradilan Nurenbeg, tidak ada ad hoc tribunals yang bisa dikatakan melanggar asas legalitas. Peradilan untuk eks Yugoslavia melalui ICTY dan untuk Rwanda melalui ICTR dianggap tidak melanggar asas legalitas karena sematamata belum adanya suatu pengadilan kejahatan internasional yang bersifat permanen sedangkan norma-norma kejahatan tersebut sudah tersedia sejak adanya peradilan Nurenberg dan Tokyo. Sifat ad hoc untuk kedua peradilan baik Yugoslavia maupun rwanda tidak mengatur ketentuan yang belum diatur dan diterapkan hukumnya (ex post facto law) bagi pelaku kejahatan tetapi karena badan peradilan yang permanen yang berpegang pada asas legalitas belum terbentuk.
Pandangan yang berbeda terdapat dalam penerapan terhadap kejahatan kemanusiaan sebagai salah satu bentuk kejahatan HAM yang berat. Apabila diterapkan secara retroaktif dianggap tidak melanggar standar asas legalitas dalam hukum pidana internasional, sebab kejahatan tersebut semata-mata merupakan perluasan yurisdiksi (jursidiction extention) dari kejahatan perang (an outgrowth of war crimes) dan diterima sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law) serta telah diputuskan oleh pengadilan internasional yang bersifat ad hoc. Praktek peradilan-peradilan di atas memberikan paradigma dalam perkembangan hukum yang bergeser yakni adanya pandangan yang semula berpegang teguh pada nullum crimen sine lege menjadi nullum crimen sine iure (tiada kejahatan tanpa penghukuman), dan yang terakhirlah yang menjadi dasar legalitas dari hukum pidana internasional. Prinsip ini menjadikan setiap perbuatan yang merupakan bentuk kejahatan internasional akan dihukum walaupun belum ada hukum yang mengaturnya. Argumen lainnya yaitu bahwa nullum crimen sine lege sebenarnya bukan batasan kedaulatan tetapi merupakan prinsip keadilan (principle of justice) sehingga menjadi tidak adil ketika yang bersalah tidak dalap dihukum dan dibiarkan bebas (unpunished).






















PENUTUP




A. SIMPULAN
1. Permasalahan HAM di Indonesia menjadi polemik hukum yang belum terselesaikan.
2. Asas legalitas dan asas retroaktif mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing tinggal bagaimana pakar hukum menggunakannya agar tepat sasaran hukumnya.
3. Masalah HAM adalah masalah internasional yang sensitif terhadap perubahan waktu.
4. Penyelesaian HAM sarat dengan ketidakpastian hukum, tetapi ketidakpastian itu mengarahkan kita pada suatu keadilan.

B. SARAN
Menurut pendapat penulis, harus ada kesepakatan bersama antar lini hukum untuk membuat suatu formula yang mujarab dalam penyelesaian permasalahan HAM di Indonesia sehingga dapat memenuhi rasa keadilan.

















DAFTAR PUSTAKA



1. WWW. GOOGLE.COM.
2. Imam Asmarudin, SH. Hand Out Pengertian dan Ruang Lingkup HAM. Tegal.

No comments: