9/19/2010

Pasal Daluwarsa

PENDAHULUAN



Hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa Negara, mengikat, mengatur dan memaksa semua orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat Negara, sehingga berlakunya hukum dapat dipertahankan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
a. Peraturan tingkah laku manusia.
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi bagi pelanggaran terhadap peraturan itu tegas (pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).
Ciri-ciri hukum adalah:
a. Adanya perintah atau larangan.
b. Larangan dan perintah itu harus dipatuhi/ditaati orang.
c. Adanya sanksi hukum yang tegas.
Setiap anggota masyarakat harus bertingkah laku sedemikian rupa sehingga tata tertib masyarakat tetap terpelihara baik. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang beraneka ragam dan mengatur hubungan orang dalam masyarakat. Hukum mewujudkan diri dalam peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan kaidah hukum. Setiap orang yang melanggar kaidah hukum akan mendapat sanksi berupa akibat hukum tertentu yang nyata. Dengan dikenakannya sanksibagi mereka yang melanggar kaidah hukum, maka hukum itu bersifat mengatur dan memaksa. Sanksi disini adalah berfungsi sebagai pemaksa manakala seseorang tidak mau patuh dan taat pada hukum. Jika dalam kehidupan bermasyarakat sanksi benar-benar dikenakan secara adil kepada siapa saja yang melanggar hukum, maka akan tercipta ketertiban dan keadilandalam masyarakat. Tetapi permasalahannya adalah penerapan hukum di Indonesia belumlah up to date. Alih-alih penerapan sanksi yang adil, sistem hukum di Indonesia pun masih berantakan. Contoh yang paling mencolok dan fundamental adalah dasar hukum kita, UUD 45 di Indonesia telah diamandemen sebanyak empat kali dalam satu tahun, bandingkan dengan Amerika yang mengamandemen UUDnya satu kali dalam 50 tahun! Hal itu menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia masih dalam taraf pembelajaran. Satu contoh lagi yang serius adalah adanya sistem penerapan daluwarsa dalam hukum Indonesia. Terjadi polemik yang tak berkesudahan tentang penerapan pasal ini karena ada anggapan bahwa pasal ini tidak memenuhi tiga tuntutan hukum. Oleh karena itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Intermezzo Pasal Daluwarsa” ini.








POKOK BAHASAN



Dalam menelaah permasalahan ini, penulis berusaha menjabarkan secara sistematis pada suatu check point, sehingga pembahasan tidak out of way dan tepat sasaran pada permasalahan yang penulis maksud. Berikut adalah pokok-pokok bahasan yang akan ditelaah:

A. Apakah pasal daluwarsa itu?
B. Latar belakang munculnya pasal daluwarsa.
C. Perihal pasal daluwarsa.
D. Komentar pribadi terhadap pasal daluwarsa.

Apabila semua materi ini dapat ditelaah secara baik, semoga dapat memberi manfaat bagi semua pihak. Amien.

































URAIAN PEMBAHASAN



A. Apakah Pasal Daluwarsa Itu?
Pasal daluwarsa adalah pasal-pasal dalam semua Kitab Hukum Indonesia yang berisi apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum tetapi pelaku tersebut tidak tertangkap oleh aparat hukum atau juga kasus hukumnya tak terselasaikan juga dalam kurun waktu tertentu yang telah tertera maka pelanggaran itu telah daluwarsa/basi sehingga dipeti es-kan.

B. Latar Belakang Munculnya Pasal Daluwarsa.
Pasal daluwarsa muncul karena banyaknya kasus hukum yang tak terselesaikan oleh pengadilan, sehingga Negara memutuskan untuk menerbitkan pasal daluwarsa agar kasus-kasus hukum tidak menumpuk, karena semakin lama kasus-kasus hukum semakin berkembang dan semakin kompleks. Kompleksitas dalam hal ini sangatlah banyak penyebabnya, diantaranya, aparat susah menangkap pelaku kejahatan, kasus hukumnya sama-sama kuat atau sama-sama lemah, karena lewat waktu batas hukumnya dan masih banyak contoh lainnya yang menyebabkan suatu kasus hukum menjadi daluwarsa.

C. Perihal Pasal Daluwarsa
Medan pertarungan antara orang yang satu dengan lawannya yang paling umum adalah medan pertarungan perdata dan pidana. Para pakar hukum menyebut medan pertarungan dengan istilah yurisdiksi. Jadi ada pertarungan yang hanya bisa dilakukan di medan perdata dan ada yang hanya bisa dilakukan di medan pidana. Para pakar hukum menyebut kesesuaian medan pertarungan yang dipilih seseorang pada saat orang tersebut mendaftarkan gugatan dengan istilah "kompetensi absolut". Intinya kurang lebih begini: jangan coba menantang lawan main catur di lapangan sepak bola yang ramai. Catur harus ditandingkan dalam ruangan tertutup khusus catur dan sepak bola harus dilakukan di lapangan sepak bola.

Pertarungan Perdata itu mirip pertandingan catur karena hanya ada dua perseorangan yang akan saling bertarung. Hakim cenderung berperan pasif mengawasi pertandingan tersebut. Pertarungan pidana mirip pertandingan sepak bola, karena walaupun yang bertanding tetap seseorang melawan lawannya, jika kepentingan umum dan negara terlibat, Polisi dan Jaksa bisa ikut menjadi pemain dalam pertandingan tersebut. Jika kita lihat medan pertarungan pidana sebagai medan pertarungan yang lebih kejam bagi lawan jika kita memang pihak yang benar. Dalam pertarungan pidana, bahkan sekalipun kita sebagai contohnya kita sudah memaafkan lawan dan berekonsiliasi, polisi dan jaksa bisa tetap bertanding dengan lawan kita, jika kepentingan umum dan negara terlibat. Bahkan jika kita tidak melaporkan lawan kita sekalipun, lawan bisa saja diperiksa polisi dan disidik jaksa, jika ia melanggar kepentingan umum atau merugikan negara. Tentu saja perlu diingat bahwa medan pertarungan pidana adalah medan pertarungan yang sangat terbuka, yang biasanya banyak penontonnya. Jika kita di pihak yang benar, tentu saja kita mengharapkan banyak supporter, bukan?

Kita akan membahas medan pertarungan hukum ini lebih rinci nanti. Sementara ini, cukuplah kita ingat ada dua medan pertarungan yang penting: perdata dan pidana. Kini kita akan membahas senjata yang wajib kita miliki sebelum kita turun berlaga dalam dua medan tersebut. Dalam
bahasa hukum senjata itu disebut ‘bukti’. Kita boleh yakin kita benar dan lawan kita salah. Tetapi jika gugatan perdata atau hak penuntutan pidana sudah daluwarsa, walaupun kita punya bukti, kita tidak akan bisa menjerat lawan di depan hakim dan pengadilan. Bahkan jika gugatan perdata atau hak penuntutan pidana belum daluwarasa dan kita tidak memiliki bukti, kita tetap tidak bisa menjerat lawan di depan hakim dan pengadilan.

Yang dimaksud daluwarsa dalam bahasa awam adalah "gugatan atau penuntutan atau upaya hukum lainnya sudah basi atau tidak masuk akal".

Dalam medan perdata, daluwarsa, terjadi jika lawan kita bisa menggugah hakim untuk melihat bahwa tuduhan kita sebenarnya aneh walaupun kita berhak menuntutnya. Dalam bahasa hukumnya, hakim diminta untuk menerapkan bukti "persangkaan" sebagai indikator daluwarsa. Berikut dua contoh untuk daluwarsa perdata:

1. Seseorang yang telah menggadaikan barang pakaian emas, yang setelah pemegang gadainya meninggal, tidak memenuhi panggilan berulang kali dari ahli waris untuk menghadiri pembagian harta warisan dan selama tujuh tahun diam saja, dianggap telah melepaskan haknya untuk menebus barang yang telah digadaikannya (Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 147 K/Sip/1955 tanggal 19-7-1955)

2. Para Penggugat-Terbanding yang telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh almarhum Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari almarhum Atma untuk menuntut tanah tersebut telah sangat lewat waktu (rechtsverwerking) (Putusan Mahkamah Agung No. 408 K/Sip/1973 tanggal 9-12-1975)

Dalam medan pidana, daluwarsa diatur untuk pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya. Menurut Pasal 79 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), masa daluwarsa dihitung sejak hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali mengenai:
No. Tindak Pidana Mulai berlakunya Daluwarsa
1. Pemalsuan atau perusakan mata uang Sesudah barang yang dipalsukan atau uang yang dipalsukan atau yang dirusak
itu digunakan
2. Kejahatan dalam pasal 328, 239 & 39 KUHP Pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia
3. Pelanggaran Pasal 556-558 KUHP Pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, memuat atau menentukan, berlaku register-register Bis tadi harus dipindahkan ke Panitera suatu pengadilan diperoleh di kantor tersebut



Daluwarsa mengajukan pengaduan ke kantor polisi adalah:
No. Kejahatan Daluarsa Mengajukan Pengaduan
1.
Tindak pidana umum (Pasal 74 KUHP) 1. Enam (6) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia

2. Sembilan (9) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri
2. Perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur (Pasal 293 (3)) 1. Sembilan (9) bulan sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia
2. Dua belas (12) bulan sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bilai ia berada di luar negeri


Daluwarsa mengajukan penuntutan adalah sebagai berikut:
No. Kejahatan Daluwarsa Setelah
1. Pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan 1 tahun
2. Kejahatan yang diancam dengan hukuman denda, kurungan atau pidana penjara paling lama tiga (3) tahun 6 tahun
3. Kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga (3) tahun 12 tahun
4. Kejahatan dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup 18 tahun
5. Bagi yang belum berumur 18 tahun Masa daluwarsa dikurangi sepertiganya


Daluwarsa menjalankan pidana adalah sebagai berikut:
No. Kejahatan/Tindak Pidana Daluwarsa sesudah
1. Pelanggaran 2 tahun

2. Kejahatan dengan percetakan 5 tahun
3. Kejahatan-kejahatan lain Sama seperti tenggang penuntutan ditambah sepertiganya
4.Tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan
5.Pidana mati tidak ada daluwarsa


Daluwarsa melakukan upaya hukum adalah sebagai berikut:
No. Upaya hukum Daluwarsa
1. Banding (Pasal 233 (2) KUHAP--Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) 7 hari setelah putusan
2. Kasasi (Pasal 245 (1) KUHAP 14 hari setelah putusan


Rancangan KUHP (BUKU I BAB IV)

BUKU KESATU
KETENTUAN UMUM

BAB I
BAB II
BAB III : PEMIDANAAN PIDANA DAN TINDAKAN

BAB IV : GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA

Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan

Pasal 145
Kewenangan penuntutan gugur jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terdakwa meninggal dunia;
c. daluwarsa;
d. penyelesaian di luar proses;
e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.


Pasal 146
(1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf e dan huruf f serta biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai dibayarkan kepada pejabat yang berwenang dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan.
(2) Jika dijatuhi pidana perampasan maka barang yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika barang tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaan terpidana.
(3) Jika pidana diperberat karena pengulangan maka pemberatan tersebut tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Pasal 145 huruf c dan huruf d.

Pasal 147
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama jika untuk perkara tersebut telah ada putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 148
Apabila putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 berasal dari hakim luar negeri maka terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
a. putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
b. telah selesai menjalani pidana mendapatkan grasi yang membebaskan terpidana dari kewajiban menjalani pidana atau pidana tersebut daluwarsa.

Pasal 149
(1) Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa:
d. sesudah lampau waktu 1 (satu) tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
e. sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun;
f. sesudah lampau waktu 6 (enam) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun;
g. sesudah lampau waktu 12 (dua belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun;
h. sesudah lampau waktu 18 (delapan belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut karena daluwarsa menjadi 1/3 (satu per tiga).

Pasal 150
Daluwarsa dihitung sejak tanggal sesudah perbuatan dilakukan kecuali:
a. tindak pidana pemalsuan atau merusak mata uang daluwarsa dihitung 1 (satu) hari berikutnya sejak tanggal setelah orang yang bersangkutan menggunakan mata uang palsu atau yang dirusak untuk melakukan pembayaran;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 560 Pasal 561 Pasal 562 Pasal 563 dan Pasal 566 daluwarsa dihitung 1 (satu) hari berikutnya sejak tanggal setelah korban tindak pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut.


Pasal 151
(1) Tindakan penuntutan menghentikan tenggang waktu daluwarsa.
(2) Penghentian tenggang waktu daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal setelah tersangka mengetahui atau diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Jika penuntutan dihentikan maka mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.

Pasal 152
Jika penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu maka tenggang waktu daluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.

Bagian Kedua
Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana

Pasal 153
Kewenangan pelaksanaan pidana gugur jika:
a. terpidana meninggal dunia;
b. daluwarsa eksekusi;
c. terpidana mendapat grasi dan amnesti;
d. rehabilitasi; atau
e. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.

Pasal 154
Jika terpidana meninggal dunia maka pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.

Pasal 155
(1) Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.
(2) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lamanya pidana yang dijatuhkan.
(3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu daluwarsa.
(4) Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) maka kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.


Pasal 156
(1) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana dihitung sejak tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
(2) Jika narapidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu daluwarsa dihitung sejak tanggal narapidana tersebut melarikan diri.
(3) Jika pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut maka tenggang waktu daluwarsa dihitung 1 (satu) hari sejak tanggal pencabutan.
(4) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama:
a. pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang-undangan; atau
b. terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun pencabutan kemerdekaan tersebut berkaitan dengan putusan pidana lain.

D. Komentar Pribadi Terhadap Pasal Daluwarsa
Menanggapi permasalahan tentang pasal daluwarsa ini, penulis mempunyai dua pemikiran yang saling berlawanan, yaitu:
• Setuju adanya pasal daluwarsa
Jika dilihat dari segi latar belakang munculnya pasal daluwarsa ini, yaitu apabila suatu kasus hukum sulit untuk diselesaikan dalam batas waktu tertentu maka kasus tersebut dianggap daluwarsa mengingat banyaknya kasus-kasus hukum lainnya yang up date menunggu giliran untuk diproses. Hal ini dilakukan secara teoritical oleh Negara agar pelaksanaan hukum berjalan secara efisien dan efektif sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Jika dilihat dari segi keabsahan hukum, pasal daluwarsa memenuhi aspek:
1) Yuridis: sudah ditetapkan dalam semua kitab hukum di Indonesia.
2) Filosofi: untuk pemenuhan kebutuhan keadilan secara menyeluruh.
3) Sosiologis: manfaat di masyarakat secara menyeluruh.
Contoh konkrit yang juga membuat penulis setuju dengan adanya pasal daluwarsa adalah dari kisah hukum dari Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). PENOLAKAN atau usaha keras Tommy Soeharto menghindari hukuman pidana dapat dipandang dari banyak aspek. Di antaranya, dapat menjadi refleksi dari perasaan "tidak bersalah dalam perkara Goro-Bulog". Penolakan itu dapat pula menjadi indikasi betapa Tommy, yang sejak di bawah lima tahun sudah menjadi anak seorang Presiden Republik Indonesia, tidak dapat menerima kenyataan pahit bahwa ia mesti masuk penjara. Maklum saja, sebagai anak Presiden RI selama lebih dari tiga dasawarsa, ia dimuliakan, dipuja, dimanjakan, dipenuhi banyak keinginannya. Aspek lain, Tommy Soeharto memang tidak hirau dengan hukum, sehingga ia memilih ngumpet daripada harus menjalani hukuman penjara.
Dari banyak aspek tersebut, aspek yang disebut terakhir menarik dikaji. Kalau Tommy hendak ngumpet, ia bisa ngumpet sampai kapan, sampai berapa lama? Atau, katakanlah ia sukses bersembunyi, apakah ia dapat bersembunyi secara tenang? Bisa jadi, ia tahan menjadi buronan, kuat dikecam, dan tenang-tenang saja kalau melihat fotonya dipasang di mana-mana sebagai buronan polisi.
Akan tetapi, apakah ia kuat berpisah dengan keluarganya, tahan berpisah dengan dua anaknya yang lucu-lucu, tahan berpisah dengan ayahnya yang sakit-sakitan? Apakah Tommy dapat mempersiapkan perasaannya berpisah dengan orang-orang yang ia cintai itu? Atau, apakah Tommy Soeharto tahan berlama-lama tidak shopping atau balapan mobil? Katakanlah dia berani shopping, tetapi apakah dia betah melihat orang-orang yang melihatnya langsung melotot atau saling bisik membicarakan tentang dia? Seperti diketahui, Tommy diburu setelah ia tidak menggubris ultimatum pihak Kejaksaan yang akan melaksanakan putusan atas dirinya oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (6/11), pukul 24.00. MA menghukum Tommy selama 18 bulan setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
ORANG pelarian itu, kan, dicari aparat dan masyarakat. Hidup dalam penuh kecemasan karena takut ditemukan orang. Lagi pula, tidak dapat bertemu keluarga atau anak," kata kriminolog Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo.
Harkristuti dan advokat senior Amir Syamsuddin menyatakan, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hak menjalankan hukuman bagi terpidana gugur karena waktu yang kedaluwarsa. Dalam Pasal 84 Ayat (1) disebutkan, hak menjalankan hukuman gugur karena lalu waktunya (daluwarsa). Dalam Ayat (2) dinyatakan, tempo gugurnya itu, untuk pelanggaran sesudah dua tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan sesudah lima tahun, dan untuk kejahatan lain sesudah sepertiganya lebih dari tempo gugurnya penuntutan hak menuntut hukuman.
Sementara itu, Pasal 78 KUHP menyatakan, hak menuntut hukuman gugur karena lewat waktunya, (3e) sesudah lewat dua belas tahun bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara yang lebih dari tiga tahun.
Dengan ketentuan itu, tutur Harkristuti dan Amir, berarti Tommy dengan ancaman hukuman lebih dari tiga tahun tidak harus menjalani hukuman selama 18 bulan kalau ia berhasil menyembunyikan diri selama 16 tahun.
"Tommy tidak harus menjalankan pidana kalau tertangkap setelah batas waktu 16 tahun itu," kata Harkristuti.
Amir Syamsuddin menambahkan, kalau Tommy ditangkap, setelah kabur 15 tahun, 11 bulan dan 29 hari, maka Tommy tetap harus menjalani hukumannya. "Jadi, kesimpulan saya, sebaiknya Tommy Soeharto menyerahkan diri dan menjalani hukuman. Mari menaati hukum," ujar Amir.
Harkristuti menyebutkan, suatu hal yang harus diperhatikan adalah saat dimulainya menjalani hukuman pidana sesuai ketentuan Pasal 85 KUHP. Ketentuan mengenai hak menjalankan hukuman yang gugur itu dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum.
"Filosofinya begini. Orang yang bersembunyi dalam ketakutan selama 16 tahun dianggap lebih menderita dibanding menjalani hukuman pidana. Jadi, hukumannya dianggap kedaluwarsa setelah 16 tahun," jelas Amir Syamsuddin.
Harkristuti sependapat dengan Amir. Katanya, orang yang melarikan diri dianggap justru sudah lama menderita. Penderitaan dalam pelarian, misalnya tidak bisa bertemu keluarga atau takut kalau ditemukan orang, dianggap sebagai hukuman bagi yang bersangkutan. "Marcos dalam pelarian di Hawaii diperas oleh kelompok penjahat di sana," tambahnya.
Oleh karena itu, Harkristuti mengingatkan, daripada harus menderita selama 16 tahun, Tommy lebih baik menyerahkan diri. Ia menyayangkan anak mantan Presiden Soeharto melawan hukum dengan kekuasaan dan kekayaannya. Padahal, Soeharto berkali-kali menyatakan taat hukum. "Sekarang bukan anak Presiden begitu (melawan hukum-Red), apalagi dulu, ia (Tommy) punya kekuasaan saat ayahnya masih Presiden," tuturnya.
• Tidak setuju adanya pasal daluwarsa
Jika dilihat dari segi tuntutan hukum, pasal daluwarsa sangat bertentangan dengan tiga tuntutan hukum yang ada di Indonesia, yaitu:
1) Keadilan: Sungguh tidak adil apabila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menyebabkan korban berjatuhan kemudian pelaku kabur tak tertangkap selama batas waktu daluwarsa. Setelah daluwarsa sang pelaku bebas melenggang tanpa dikenai sanksi hukum apapun, sementara dari pihak korban mendapatkan kerugian tanpa balasan yang setimpal.




2) Kegunaan: Pasal daluwarsa ini bermanfaat, tapi bagi pelaku kejahatan saja. Bermanfaat ketika telah daluwarsanya tindak kejahatan yang telah diperbuat sehingga dia bebas dari sanksi hukum.

3) Kepastian hukum: Pasal daluwarsa ini tidak mencerminkan adanya supremasi hukum.










































PENUTUP




A. SIMPULAN
1. Permasalahan pasal daluwarsa di Indonesia menjadi polemik hukum tersendiri yang belum terselesaikan.
2. Dilihat dari sudut pandang Negara pasal daluwarsa berlaku positif tapi dari sudut pandang rakyat berlaku negatif.
3. Secara teoritis pasal daluwarsa sangat baik untuk diterapkan tapi pada prakteknya tidak tepat dengan tujuan asalnya.
4. Penulis pada mulanya tidak setuju dengan adanya pasal daluwarsa karena tidak sesuai dengan tiga tuntutan hukum yang ada. Tapi dalam teori tiga tuntutan hukum tersebut juga dikenal asas ‘Spanungs Verhaltnis’ yaitu tiga tuntutan hukum itu saling bertentangan. Sehingga pasal daluwarsa memang diperlukan.

B. SARAN
Menurut pendapat penulis, pasal daluwarsa memang diperlukan tapi agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif sebaiknya dalam prakteknya diterapkan classification of law. Apabila kasus hukumnya melibatkan pejabat teras ataupun kasusnya telah merugikan Negara hingga milyaran/trilyunan maka sebaiknya pasal daluwarsa jangan diterapkan agar kelak tidak akan ada tindak kejahatan yang berulang dan memberi efek jera kepada pelaku-pelaku yang lain. Tapi sebaliknya jika ada kasus hukum yang belum jua terselesaikan tapi tidak merugikan Negara hingga milyaran/trilyunan rupiah maka sebaiknya pasal daluwarsa diterapkan agar tidak menghabiskan pengeluaran Negara. Memang terasa sangat tidak adil tapi hal ini semata untuk kebaikan bersama Negara dengan rakyatnya.











DAFTAR PUSTAKA



1. WWW. GOOGLE.COM.
2. Tim Penghimpun Sinar Grafika. 2007. KUHAP dan KUHP. Sinar Grafika Jakarta.
3. Siswanto. 2007. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum. Tegal.
4. Satjipto Raharjo. 1986. Ilmu Hukum. Bandung.

No comments: