8/01/2010

Cara Mudah Menentukan Arah Kiblat


Penentuan arah kiblat adalah pengetahuan paling dasar yang diberikan pada kuliah ilmu falak. Pemahaman tentang bumi yang berbentu bola dan penentuan arah di permukaan bumi dengan menggunakan segitiga bola selalu diaplikasikan pada penentuan arah kiblat. Ilmu falak sebagai bagian astronomi termasuk ilmu tertua yang dikembangkan para ilmuwan Muslim dahulu awalnya untuk keperluan ibadah. Penentuan arah dan waktu menjadi perhatian ilmu falak, karenanya sangat berperan dalam memahami dalil syar’i terkait dengan arah dan waktu.

Awalnya cara menghitung arah kiblat dianggap rumit, karenanya hanya ahli falak yang dapat melakukannya. Tetapi kini, dengan berkembangkan komputer dan bahasa pemrograman, hitungan tersebut mudah dibuat dalam bentuk program aplikasi sehingga setiap orang dapat menghitung arah kiblat. Tinggal diajarkan cara menentukan arah sekian derajat itu menggunakan kompas atau bayangan matahari. Adanya GPS untuk menentukan koordinat tempat dan berfungsi pula sebagai kompas makin memberikan kemudahan.

Ahli falak memberikan alternatif lain yang paling mudah. Kalau di Masjidil Haram ada menara sangat tinggi dengan lampu sangat terang di puncaknya sehingga semua orang di banyak negara bisa melihatnya, maka kita akan sangat mudah menentukan arah kiblat. Cukup dengan melihat lampu di atas Masjidil Haram itu. Nah, ahli falak mengetahui ada lampu alami yang sangat terang yang pada saat-saat tertentu tepat berada di atas MAkkah, sekitar Masjidil Haram. Itulah matahari.

Pada sekitar tanggal 28 Mei dan sekitar 15/16 Juli tiap tahunnya pada saat tengah hari di Mekkah, matahari tepat berada di atas kepala. Pada saat itulah orang di Makkah tidak melihat bayangan mereka sendiri karena matahari tegak lurus di atas mereka. Tetapi di tempat lain di dunia yang bisa melihat matahari itu, ada bayangan benda yang bisa dijadikan pemandu arah kiblat.

Saat itulah seolah kita sedang melihat lampu sangat terang di atas Masjidil Haram dan garis bayangan kita menjadi petunjuk arah Masjidil Haram. Maka, berdasarkan dalil syar’i, hadapkanlah wajah kita saat shalat ke arah itu. Itulah arah kiblat. Sangat-sangat mudah. Tinggal lihat matahari dan bayangan sekitar pukul 16.18 WIB (28 Mei) atau 16.27 WIB (15/16 Juli).

Kalau kita ingin melaksanakan dalil syar'i QS 2:144, itulah saat yang paling tepat. Tak perlu rumus perhitungan segitiga bola. Tak perlu komputer. Tak perlu kompas. Cukup melihat matahari, kita saat itu menghadap ke arah Masjidil Haram. Kalau pun pada hari tersebut terganggu awan, plus minus 2 hari dari tanggal tersebut dan plus minus 5 menit dari waktu tersebut masih cukup akurat untuk menentukan arah kiblat karena perubahan posisi matahari relatif lambat.

Dengan berkembangnya teknologi satelit dan internet, maka kita sekarang bisa menentukan arah kiblat langsung dengan melihat citra satelit di lokasi yang kita kehendaki. Situs www.qiblalocator.com memberikan tanda garis merah yang mengarah ke arah ka’bah di Masjidil Haram. Kalau kita menggunakan laptop, cukup bentangkan layar laptop sesuah arah bangunan atau jalan di sekitar kita yang terekam pada citra satelit. Arah yang ditentukan dengan qiblalocator telah dibuktikan sama dengan hasil perhitungan menggunakan segitiga bola atau dengan bayangan matahari pada saat istimewa tersebut di atas.

Ketika implementasi dalil syar’i QS 2:144 dapat dilaksanakan secara tepat dan mudah dengan bantuan sains (ilmu falak) dan teknologi, haruskah kita mundur ke belakang sekadar ”menghadap ke arah barat”? Mestinya tidak, kecuali dalam kondisi kita tidak bisa menentukannya secara tepat. Masyarakat kita semakin cerdas. ”Arah Barat” dalam bahasa fisis-teknis mudah diartikan sekitar titik matahari terbenam, sekitar azimut 270 derajat. Kalau benar fatwa ”menghadap barat” itu dilaksanakan, berarti fatwa menuntun orang untuk menghadap ke arah Afrika. Dengan pengetahuan geografi sederhana pun, orang mudah melihat arah Barat Indonesia mengarah ke Afrika. Bukankah itu justru mengingkari QS 2:144 yang memerintahkan menghadap ke arah Masjidil Haram di Mekkah?

Mengarah ke titik Ka’bah atau Masjidil Haram kini bukan lagi masalah dengan bantuan ilmu falak dan teknologi. Apakah kalau menghadap ke titik Ka’bah berarti shaf kita melengkung? Ibarat kita membuat lingkaran, di dekat titik pusatnya garis lingkaran tersebut sangat melengkung. Itulah yang terjadi pada garis shaf di dalam lingkungan Masjidil Haram. Semakin jauh dari titik pusat lingkaran, garis lingkaran tampak semakin lurus, nyaris tidak dikenali lagi bentuk lengkungnya. Demikianlah garis shaf di tempat-tempat yang jauh dari Mekkah.

Kita sering terbawa pada kerumitan matematis (yang sebenarnya tidak perlu) ketika menginginkan akurasi tinggi dalam penentuan arah kiblat. Kesalahan satu derajat di Indonesia (yang berjarak sekitar 8000 km untuk Jawa Barat) bisa menyebabkan penyimpangan besar di Mekkah (sekitar 140 km pada jarak tersebut). Hal serupa bisa kita balikkan. Kalau di Indonesia ada shaf sangat panjang sepanjang 140 km (sekitar jarak Jakarta-Bandung), untuk menghadap ke titik ka’bah arahnya akan sama dengan deretan orang memanjang ke belakang sampai jarak 40 meter dari ka’bah, dengan sudut hanya sekitar 1 derajat. Jadi jangan membayangkan bila menghadap ke titik Ka’bah atau masjidil haram seolah garis shaf akan melengkung.

Ketika Banjir Menggenangi Ka'bah



Makkah kebanjiran. Berita itu datang di awal tahun ini. Setelah diterpa hujan selama sekitar empat jam, beberapa ruas jalan di kota Suci itu mulai tergenang air. Bahkan, sebagian halaman Masjidil Haram dikabarkan ikut tergenang air setinggi mata kaki.

Kondisi geografis Kota Makkah yang berada di lembah dengan bukit-bukit yang mengelilinginya, seperti sebuah mangkok. Bila hujan deras datang, yang waktunya tidak bisa diperkirakan, maka banjir pun menyapa kota itu. Banjir yang terjadi Januari lalu itu bahkan bisa dibilang cukup besar karena terjadi di sejumlah titik di Kota Makkah.

Menilik sejarahnya, Ka'bah sudah beberapa kali terendam banjir. Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, banjir dikabarkan juga pernah terjadi. Akibatnya, sejumlah dinding Ka'bah rusak terendam air karena pada masa itu pusat arah sholat bagi umat Islam itu belum dibangun dengan direkatkan semen, melainkan olah tanah atau lumpur.

Namun, banjir terbesar yang pernah direkam terjadi pada tahun 1941. Seperti terlihat dalam foto-foto, banjir itu terbilang cukup besar sehingga bisa mencapai leher orang dewasa. Mengapa saat itu banjir bisa terjadi? Penyebabnya, saluran air atau drainase di Kota Makkah belum sebaik sekarang.  Air tidak mengalir dan hanya menggenang di Kota Makkah, termasuk Masjidil Haram, yang terletak paling rendah. Karena curah hujan yang begitu tinggi, air tak bisa diserap bumi Makkah dalam waktu cepat. Sehingga air menggenang dan merendam Masjidil Haram. Akibat banjir itu bagian dasar tiang kayu yang berada di dalam Ka'bah menjadi rapuh dan rusak. Penguasa Kota Makkah saat itu kemudian memerintahkan perbaikan dan pembenahan saluran airnya.

Fan memahami Al Qur'an

1. Tahaji
2. Makhorijul Huruf
3. Tajwid
4. Sorof
5. Nahwu
6. Mantiq
7. Ma'ani
8. Bayan
9. Ba'di

AL-BALAGHAH: Ilmu Badi'

A. Hakikat Ilmu Badi’
Menurut leksikal: suatu ciptaan baru yang tidak ada contoh sebelumnya
Menurut terminologi: Suatu ilmu yang dengannya diketahui metode dan cara-cara yang ditetapkan untuk menghiasi kalimat dan memperindahnya setelah kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dan telah jelas makna yang dikehendaki
Objek kajian ilmu badi’ adalah upaya memperindah bahasa baik pada tataran lafal (muhassinaat lafdziyyah) maupun makna (muhassinaat ma’nawiyyah)
Kalau ma’aani dan bayan membahas materi dan isinya, maka badi’ membahas dari aspek sifatnya.
B. Muhassinaat Lafdhiyyah
Jinas: suatu kata yang merupakan derivasi dari kata umum dari nau’. Dalam ilmu balaghah, jinas bermakna kemiripan pengungkapan dua lafal yang berbeda artinya. Atau dengan kata lain, suatu kata yang digunakan pada tempat yang berbeda dan mempunyai makna yang berbeda
Iqtibas, secara leksikal bermakna ‘menyalin’ dan ‘mengutip’. Secara terminologi adalah kalimat yang disusun oleh penulis dengan menyertakan patikan ayat atau hadits ke dalam rangkaian kalimatnya tanpa menjelaskan bahwa petikan itu berasal dari al-Quran atau hadits.
Saja’, secara leksikal bermakna ‘bunyi’ atau ‘indah’. Secara terminologis, saja’ adalah persesuaian bunyi. Jenis-jenis saja’:
- Al-Mutharraf: sajak yang dua akhir kata pada sajak itu berbeda dalam wazannya, dan persesuaiannya dalam huruf akhirnya
- Al-Murashsha’: saja’ yang padanya lafal-lafal dari salah satu rangkaiannya, seluruhnya atau sebagian besarnya semisal bandingannya dari rangkaian yang lain
– Al-Mutawaazi: saja’ yang persesuaian padanya terletak pada dua kata yang akhir saja.
Saja’ yang indah:
– Sama faqrahnya
– Faqrah kedua lebih panjang
– Yang terpanjang faqrah ketiganya
– Bagian-bagian kalimatnya seimbang
– Rangkaian kalimatnya bagus dan tidak dibuat-buat
– Bebas dari pengulangan yang tidak berfaedah
Ada kemiripan antara jinas dan saja’. Perbedaannya:
– Pada jinas, kemiripan dua lafal yang berbeda artinya atau maknanya. Sedangkan saja’ adalah cocoknya huruf akhir dua fashilah atau lebih.
– Kemiripan pada jinas terdapat pada macam huruf, syakal, jumlah, dan urutannya. Sedangkan kemiripan pada saja’ dilihat dari kecocokannya fashilahnya baik dalam wazan ataupun hurufnya.





MUHASSINAAT MA’NAWIYAH
Tauriyah secara leksikal bermakna ‘tersembunyi’. Secara terminologi: suatu lafal yang mempunyai makna ganda, makna pertama dekat dan jelas akan tetapi tidak dimaksud, sedang makna kedua jauh dan tersembunyi, akan tetapi makna itulah yang dimaksud
Tauriyah mempunyai beberapa kategori:
- Mujarradah: tauriyah yg tdk dibarengi oleh ungkapan yang cocok untuk keduanya
- Murasysyahah: tauriyah yang dibarengi oleh ungkapan yang sesuai untuk makna dekat
- Mubayyanah: tauriyah yang dibarengi oleh ungkapan yang sesuai untuk makna jauh
- Muhayyanah: tauriyah yang terwujud setelah ada ungkapan sebelum atau sesudahnya
Musyakalah secara leksikal bermakna ‘saling membentuk’. Secara terminologi: menuturkan sesuatu ungkapan bersamaan dengan ungkapan lain, yang kedudukannya berfungsi sebagai pengimbang.
Istikhdam: menyebutkan suatu lafal yang mempunyai dua makna, sedangkan yang dikehendaki adalah salah satunya
Muqaabalah secara leksikal bermakna ‘saling berhadapan’. Secara terminologis: mengemukakan dua makna yang sesuai atau lebih kemudian mengemukakan perbandingannya secara tertib
Ta’kid al-madl bimaa yusybih al-dzamm: memuji seseorang akan tetapi seperti mencela:
- Menafikan suatu sifat tercela setelah mendatangkan sifat terpuji
- Menetapkan sifat pujian, kemudian diikuti oleh istitsna dan sifat pujian lainnya
I’tilaf al-lafzhi ma’a al-ma’na:
- Definisi pertama: menghimpun dua perkataan yang saling terkait baik lafalnya maupun maknanya. Juga dinamakan tanasub (keterkaitan), tawafuq (kesesuaian), i’tilaf (adanya pertalian)
- Definisi kedua: Menghimpun dua hal atau beberapa hal yang bersesuaian. Hal-hal tsb tidak dilihat dari aspek tersusunnya.

– Definisi ketiga: keadaan beberapa lafal sesuai dengan beberapa makna. Karena itu dipilih lafal-lafal yang agung dan kata-kata yang keras untuk menunjukkan kemegahan dan kesemangatan. Selain itu pula dipilih lafa-lafal yang lunak dan lembut untuk sanjungan
Catatan:
– Pertama: adanya kesesuaian antara dua ungkapan
– Kedua: makna mempunyai kesesuaian
– Ada penggabungan dua hal dan beberapa hal
Al-Jam’u secara leksikal bermakna ‘mengumpulkan’. Secara terminologi: menghimpun beberapa lafal dalam satu hukum
At-Tafriq secara leksikal bermakna ‘memisahkan’. Secara terminologi: mutakallim sengaja menyebut dua hal yang sejenis, kemudian mengungkapkan perbedaan dan pemisahan di antara keduanya, untuk tujuan memuji, mencela, menisbatkan, dll
Husn at-Ta’lil: sastrawan mengingkari secara terang-terangan ataupun tersebunyi terhadap alasan yang telah diketahui umum bagi suatu peristiwa, kemudian dia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya
Istithraad: seorang pembicara berpindah dari maksud ungkapan yang sedang diucapkannya kepada ungkapan lain yang masih mempunyai keterkaitan dengannya. Setelah itu ia kembali kepada ungkapan yang ditujukan sejak awal
Iththiraad: suatu ungkapan yg mengandung penyebutan nama dari beberapa bapak atau anak secara tertib dan mutlak
Taujih secara leksikal bermakna ‘pembimbingan’ atau ‘pengarahan’. Secara istilah: mendatangkan kalimat yang memungkinkan dua makna yang berlawanan secara seimbang, seperti mengejek, memuji, agar orang yang mengucapkan dapat mencapai tujuannya, yaitu tidak meaksudkan pada salah satunya secara eksplisit
Definisi lain taujih: mengucapkan satu kalam ihtimal yang memungkinkannya mempunyai dua makna yang berbeda.
Perbedaan taujih dan tauriyah:
- Tauriyah terdapat pada kata, sedang taujih terdapat pada sebuah susunan kalam
- Pada tauriyah, dari kedua pengertian yang dikandungnya hanya satu yang dimaksud, yaitu makna jauh. Sedangkan pada taujih, tidak jelas mana makna yang dimaksudnya
Thibaq adalah terhimpunnya dua kata dalam satu kalimat yang masing-masing kata tsb saling berlawanan dari segi maknanya.
Thibaq ada dua jenis:
- Thibaq ijab: apabila di antara kedua kata yang berlawanan tdk mempunyai perbedaan dalam hal ijab (positif) dan salab (negatif) – nya.
- Thibaq salab: apabila di antara kedua kata yang berlawanan mempunyai perbedaan dalam nilai ijab (positif) dan salab (negatif) - nya
Thayy dan nasyr: menyebutkan beberapa makna kemudian menuturkan makna untuk masing-masing satuannya secara umum dengan tanpa menentukan, karena bersandar kepada upaya pendengar dalam membedakan makna untuk masing-masing dari padanya dan mengembalikan untuk yang semestinya:
- Lafal yang berbilang itu disebutkan menurut tertib kandungannya
- Lafal yang berbilang itu disebutkan tidak menurut tertib urutannya
Mubalaghah: ekspresi ungkapan yang menggambarkan sesuatu hal secara berlebihan yang tidak mungkin (tdk sesuai dengan kenyataan). Ada tiga kategori:
- Tabligh: suatu ungkapan itu mungkin terjadi baik secara logika maupun realita.
- Ighraq: menggambarkan sesuatu yg secara logika tdk mungkin terjadi tetapi secara realita mgk terjadi
- Ghulu: ungkapan yg menggambarkan sesuatu baik secara logika maupun realita tidak mungkin terjadi. Ghulu yang diterima biasanya disertai lafal ‘kaada’ dan ‘lau’
Iltifat secara etimologis memiliki arti ‘perubahan’, ‘genggaman’, ‘lilitan’, ‘makan’, ‘melihat’, ‘campuran’
Iltifat: perpindahan dari semua dhamir; mutakallim, mukahatthab atau ghaib kepada dhamir lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan dalam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai seruan, agar tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk lebih memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan, sedangkan sebagian iltifat memiliki kelembutan, pemiliknya adalah rasa bahasa yang sehat
Iltifat: perpindahan gaya bahasa dari bentuk mutakallim atau mukhatthab atau ghaib kepada bentuk yang lainnya, dengan catatan bahwa dhamir yang dipindah itu dalam masalah yang sama kembali kepada dhamir yang dipindahkan, dengan artian bahwa dhamir kedua itu dalam masalah yang sama kembali kepada dhamir pertama
Iltifat: perpindahan dari sebagian gaya bahasa (uslub) kepada gaya bahasa lain yang mendapat perhatian
Iltifat: penyimpangan dari suatu gaya bahasa dalam kalam kepada gaya bahasa lain yang berbeda dengan gaya bahasa yang pertama
Iltifat dhamir:
- Iltifat dari mutakallim kepada mukhatthab
- Iltifat dari mutakallim kepada ghaib
- Iltifat dari mukhatthab kepada ghaib
- Iltifat dari ghaib kepada mukhatthab
- Iltifat dari ghaib kepada mutakallim
Iltifat ‘adad al-dhamir: perpindahan dari satu bilangan pronomina kepada pronomina lain di antara pronomina yang tiga, dengan catatan bahwa dhamir baru itu kembali kepada dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama:
- Dari mutakallim mufrad kepada mutakallim ma’al ghair
- Dari mutakallim ma’al ghair kepada mutakallim mufrad
- Dari mukahatthab mufrad kepada mukhatthab mutsanna
- Dari mukhatthab mufrad kepada mukhatthab jamak
- Dari mukhatthab mutsanna kepada mukhatthab mufrad
- Dari mukhatthab mutsanna kepada mukhatthab jamak
- Dari mukhatthab jamak kepada mukhatthab mufrad
- Dari ghaib mufrad kepada ghaib mutsanna
- Dari ghaib mufrad kepada ghaib jamak
- Dari ghaib mutsanna kepada ghaib jamak
- Dari ghaib jamak kepada ghaib mufrad
- Dari ghaib jamak kepada ghaib mutsanna
Iltifat anwa’ al-jumlah: perpindahan dari satu jumlah (kalimat) kepada jumlah lain di antara macam-macam jumlah yang ada; dengan catatn bahwa materi pada jumlah baru itu kembali kepada jumlah yang sdh ada.
- Dari jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyyah
- Dari jumlah ismiyyah kepada jumlah fi’liyyah
- Dari kalimat berita kepada kalimat melarang
– Dari kalimat berita kepada kalimat perintah
– Dari kalimat perintah kepada kalimat berita
– Dari kalimat melarang kepada kalimat berita
– Dari kalimat bertanya kepada kalimat berita
Para ahli balaghah bersepakat tentang keterkaitan iltifat dengan makna, pengaruhnya kepada jiwa, serta faedah dan poin yang didapat dalam berbagai gaya bahasa dan konteks.

Penulis: Gus Hamka

AL-BALAGHAH: Ilmu Bayan

A. Pengantar

• Bayaan secara leksikal bermakna ‘terang’ atau ‘jelas’. Secara terminologi: ilmu untuk mengetahui bagaimana mengungkapkan gagasan ke dalam bahasa yang bervariasi
• Kalam yang fasih adalah kalam yang terhindar dari tanaafur al-huruf, gharabah, dan mukhalafah al-qiyaas dalam kata-katanya, serta kalimat-kalimat yang diungkapkan tidak bersifat tanaafur, dha’fu al-ta’lif, dan ta’qid lafdzi
• Tanaafur al-huruf: kata-kata yang sukar diucapkan
• Gharabah: ungkapan yang terdiri atas kata-kata yang asing, jarang dipakai, dan tidak diketahui oleh orang banyak
• Mukhaalafah al-Qiyaas: kata-kata yang menyalahi atau tidak seuai dengan kaidah umum ilmu sharf
• Dha’fu al-ta’lif: susunan kalimat yang lemah, sebab menyalahi kaidah umum nahwu/sharf
• Ta’qid lafzhi (kerancuan pada kata-kata): ungkapan kata-katan tidak menunjukkan tujuan karena ada cacat dalam susunannya
• Ta’qid ma’nawi: kerancuan makna
• Mutakallim fasih: orang yang dapat menyampaikan maksudnya dengan ucapan yang fasihah (baik dan benar)
• Balaghah: Ilmu yang mempelajari kefasihan berbahasa yang meliputi ilmu ma’aani, bayan, dan badi’
• Bidang kajian ilmu bayaan meliputi: tasybih, majaz, dan kinayah

B. Tasybih

• Tasybih secara leksikal bermakna ‘perumpamaan’. Secara terminologi: menyerupakan sesuatu dengan yang lain karena adanya kesamaan dalam satu atau beberapa sifat dengan menggunakan alat/adat
• Tasybih termasuk uslub bayaan yang di dalamnya terdapat penjelasan dan perumpamaan.
• Tasybih terdiri atas empat bentuk:
o Mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat diindera dan menyamakannya dengan sesuatu yang bisa diindera.
o Mengeluarkan/mengungkapkan
sesuatu yang tidak pernah terjadi dan mempersamakannya dengan sesuatu yang terjadi
o Mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dan mempersamakannya dengan sesuatu yang jelas
o Mengungkapkan sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan dan mempersamakannya kepada sesuatu yang memiliki kekuatan dalam hal sifat
• Tasybih merupakan langkah awal untuk menjelaskan suatu makna dan sarana untuk menjelaskan sifat
• Rukun tasybih:
o Musyabbah: sesuatu yg hendak diserupakan
o Musyabbah bih: sesuatu yang diserupai
o Wajh syibh: Sifat yang terdapat pada kedua pihak
o Adat tasybih: huruf atau kata yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan
• Jenis-jenis tasybih:
o Ditinjau dari ada tidaknya alat tasybih
- Tasybih mursal: yang adat tasybihnya disebutkan
- Tasybih muakkad: yang dibuang adat tasybihnya
o Ditinjau dari ada tidaknya wajh syibh
- Tasybih mufashshal: Disebut wajh syibh nya
- Tasybih mujmal: Dibuang wjh syibhnya
o Dilihat dari segi ada tidaknya adat dan wajh syibh
- Tasybih baligh: Dibuang adat tasybih dan wajh syibhnya
- Tasybih ghair baligh: Kebalikan dari tasybih baligh
o Dilihat dari bentuk wjh syibhnya
- Tasybih Tamtsil: Keadaan wajh syibhnya terdiri atas gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal
- Tasybih ghair tamtsil: wajh syibhnya tidak terdiri dari rangkaian gambaran beberapa hal. Wajh syibhnya terdiri atas satu hal (mufrad). Tasybih ini kebalikan dari tasybih tamtsil.
• Tasybih yang keluar dari kebiasaan:
o Tasybih maqluub: jenis tasybih yang posisi musyabbahnya dijadikan musyabbah bih, sehingga yang seharusnya musyabbah dijadikan musyabbah bih, dan yang seharusnya musyabbah bih dijadikan musyabbah dengan anggapan wajh syibh pada musyabbah lebih kuat
o Tasybih dhimni: tasybih yang keadaan musyabbah dan mysyabbah bih nya tidak jelas (implisit). Kita bisa menetapkan unsur musyabbah dan musyabbah bih pada tasybih jenis ini setelah kita menelaah dan memahaminya secara mendalam
• Maksud dan tujuan tasybih:
o Menjelaskan kemungkinan adanya sesuatu hal pada musyabbah
o Menjelaskan keadaan musyabbah
o Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
o Menegaskan keadaan musyabbah
o Memperindah atau memperburuk musyabbah

C. Majaz

• Majaz secara leksikal bermakna melewati. Secara terminologi: Kata yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya ‘alaqah disertai adanya qarinah yang mencegah dimaknai secara hakiki
• Majaz (konotatif) merupakan kebalikan dari hakiki (denotatif)
• Makna hakiki: makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafal atau ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri.
• Majazi: perubahan makna dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna ini ada proses perubahan makna.
• Muraadif atau munaasabah tdk dikatakan memiliki makna majazi karena di dalamnya tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna baru
• Suatu teks bisa dinilai mengandung makna haqiqi jika si penulis menyatakan secara jelas bahwa maksudnya sesuai dengan makna asalnya; atau tidak adanya qarinah-qarinah (indikator) yang menunjukkan bahwa teks tsb mempunyai makna majazi.
• Jika ada qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa lafal atau ungkapan tidak boleh dimaknai secara haqiqi, maka kita harus memaknainya secara majazi
• Ungkapan majaz muncul disebabkan:
o Sabab lafzhi: lafal-lafal tsb tidak bisa dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Jika dimaknai haqiqi maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafzhi pula
o Sabab takribi (isnadi): ungkapan majazi terjadi bukan karena lafal-lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan fi’il kepada failnya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan
• Makna haqiqi: makna yang dipakai menurut makna yang seharusnya.
• Makna majazi: kata yang dipakai bukan pada makna yang semestinya karena ada alaqah (hubungan) dan disertai qarinah (lafal yang mencegah penggunaan makna asli).
• Majas pada garis besarnya terdiri atas majas lughowi dan majaz aqli.
• Majas lughowi: majas yang alaqahnya atau illah nya didasarkan pada aspek bahasa
• Majas aqli adalah penisbatan suatu kata fi’il (verba) kepada fa’il yang tidak sebenarnya
• Majas lughowi terdiri atas majaz isti’arah dan majaz mursal:
o Majaz isti’arah: yang alaqahnya (hubungan) antara makna asal dan makna yang dimaksud adalah musyaabahah (keserupaan).
o Majaz mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyabbah (tidak saling menyerupai)
• Majaz isti’arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafain nya (musyabbah atau musyabbah bih nya) dan dibuang pula wajh syibh dan adat tasybihnya
• Dalam isti’arah: musyabbah dinamai musta’ar lah dan musyabbah bih dinamai musta’ar minhu. Lafal yang mengandung isti’arah dinamakan musta’ar dan wajh syibh nya dinamakan jami’. Qarinahnya ada dua yaitu qarinah mufrad dan qarinah jama’
• Ditinjau dari musta’ar lah dan musta’ar minhu, majaz isti’arah ada dua kategori:
o Isti’arah tashriihiyyah: yang ditegaskan (ditashrih) adalah musta’ar minhu nya sedangkan musta’ar lah nya dibuang. Dengan istilah lain: musyabbah bihnya disebut, dan musyabbahnya dibuang
o Isti’arah makniyyah: yang dibuang adalah musta’ar minhu, atau dengan kata lain musyabbah bihnya dibuang.

• Ditinjau dari segi bentuk lafalnya:
o Isti’arah ashliyah: jenis majaz yang lafal musta’ar nya isim jami bukan musytaq (bukan isim sifat)
o Isti’arah taba’iyyah: jenis majaz yang musta’arnya fi’il, isim musytaq atau harf
• Ditinjau dari kata yang mengikutinya:
o Isti’arah murasysyahah: ungkapan majaz yang diikuti oleh kata-kata yang cocok untuk musyabbah bih
o Isti’arah muthlaqah: yang tidak diikuti oleh kata-kata, baik yang cocok bagi musyabbah bih mauapun musyabbah
o Isti’arah mujarradah: yang disertai dengan kata-kata yang cocok bagi musyabbah
• Majas mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyaabahah (tidak saling menyerupai). Alaqah antara musta’ar dan musta’ar minhu dalam bentuk:
o Sababiyah: ini sebagai salah satu indikator majaz mursal. Menyebutkan sebab sesuatu, sedangkan yang dimaksud adalah sesuatu yang disebabkan
o Musababiyyah: Ini indikator kedua. Menyebutkan sesuatu yang disebabkan, sedangkan yang dimaksud adalah sebabnya
o Juz’iyyah: Menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keseluruhannya
o Kulliyah: Menyebutkan sesuatu keseluruhannya, sedangkan yang dimaksudkannya adalah sebagiannya
o I’tibaaru maa kaana: Menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang akan terjadi atau yang belum terjadi
• I’tibaaru maa yakuunu: Menyebutkan sesuatu dengan keadaan yang akan terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keadaan sebelumnya
o Mahaliyyah: Menyebutkan tempat sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah menempatinya
o Haliyyah: menyebutkan keadaan sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang merasakan keadaan itu
o Aliyah: apabila disebutkan alatnya, sedangkan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dihasilkan oleh alat tersebut
• Majaz aqli: menyandarkan fi’il (verba) atau yang semakna dengannya kepada yang bukan seharusnya karena ada alaqah (hubungan) serta adanya qarinah yang mencegah dari penyandaran yang sebenarnya.
• Penyandaran fi’il atau yang semakna dengannya dilakukan kepada:
o Sebab
o Penisbatan kepada waktu
o Penisbatan kepada tempat
o Penisbatan kepada mashdar
o Mabni maf’ul disandarkan kepada isim fa’il
o Mabni fa’il disandarkan kepada isim maf’ul




D. Kinayah

• Kinayah secara leksikal bermakna ‘ucapan yang berbeda dengan maknanya. Secara etimologis: suatu kalam yang diungkapkan dengan pengertiannya yang berbeda dengan pengertian umumnya, dengan tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya
• Kinayah pada awalnya bermakna dhamir, irdaf, isyarah, isim maushul, laqab, badal, dan tikrar. Sekarang mempunyai pengertian seperti di atas
• Perbedaan antara majaz dan kinayah terletak pada hubungan antara makna hakiki (denotatif) dengan makna majazi (konotatif). Pada ungkapan berbentuk majaz, teks harus dimaknai secara majazi dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Sedangkan pada ungkapan kinayah, teks harus dimaknai dengan makna yang berbeda dengan lazimnya dengan tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya.
• Ilmu balaghah mengalami perkembangan sampai pada akhirnya para ahli balaghah bersepakat bahwa kinayah adalah “suatu ungkapan yang diucapkan dengan pengertiannya yang lazim, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan dipahami dalam pengertiannya yang asal
• Dari segi makna kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah sifah, kinayah maushuf, dan kinayah nisbah
• Kinayah sifah adalah pengungkapan sifat tertentu tidak dengan jelas, melainkan dengan isyarah atau ungkapan yang dapat menunjukkan maknanya yang umum. Istilah shifah dalam ilmu balaghah berbeda dengan shifah pada ilmu nahwu. Sifat sebagai salah satu karakteristik kinayah berarti sifat dalam pengertiannya yang maknawi (seperti: kedermawanan, keberanian, panjang, keindahan, dan sifat-sifat lain yang merupakan lawan dari zat)
• Kinayah shifah mempunyai dua jenis:
o Kinayah qariibah: perjalanan makna dari lafal yang dikinayahkan (makny anhu) kepada lafal kinayah tanpa melalui media
o Kinayah baa’idah: perpindahan makna dari makna lafal-lafal yang dikinayahkan (makny anhu) kepada makna pada lafal-lafal kinayah memerlukan lafal-lafal lain untuk menjelaskannya.
• Kinayah maushuf: apabila yang menjadi makny anhu nya atau lafal-lafal yang dikinayahkan adalah maushuf (dzat). Ada dua jenis kinayah maushuf:
o Kinayah yang makny anhu nya (lafal yang dikinayahkan) diungkapkan hanya dengan satu ungkapan
o Kinayah yang makny anhu nya diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan yang banyak. Pada jenis kinayah ini, sifat-sifat tsb harus dikhususkan untuk maushuf, tdk untuk yang lainnya.
• Kinayah nisbah: apabila lafal yang menjadi kinayah bukan merupakan sifat dan bukan pula merupakan maushuf, akan tetapi merupakan hubungan sifat dan maushuf
• Dari aspek wasaaith (media; lafal-lafal atau makna-makna yang menjadi media atau penyambung dari makna hakiki kepada makna majazi) kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah ta’ridh, talwih, imaa atau isyarah, dan ramz
• Kinayah ta’riidh (sindiran): secara leksikal bermakna ‘sesuatu ungkapan yang maknanya menyalahi lahirnya lafal. Secara terminologi: suatu ungkapan yang mempunyai makna yang berbeda dengan makna sebenarnya. Pengambilan makna tersebut didasarkan kepada konteks pengucapannya
• Zarkasyi: Ta’ridh adalah pengambilan makna dari suatu lafal melalui mafhum (pemahaman konteks). Dinamakan ta’ridh karena pengambilan makna didasarkan pada pemaparan lafal atau konteksnya
• Zamakhsyari: Antara kinayah dan ta’ridh terdapat perbedaan. Kinayah berarti menyebutkan sesuatu bukan dengan lafal yang ditunjukkannya. Sedangkan ta’ridh menyebutkan suatu lafal yang menunjuk pada suatu makna yang tidak disebutkannya
• Ibn Al-Atsir: Ta’ridh lebih mementingkan makna dengan meninggalkan lafal
• Syakaki: Ta’ridh selain terdapat pada kinayah juga terdapat pada majaz
• Talwih secara bahasa bermakna ‘engkau menunjuk orang lain dari kejauhan’. Secara terminologi: Talwih adalah jenis kinayah yang di dalamnya terdapat banyak wasaaith (media) dan tidak menggunakan ta’ridh (Bakri Syeikh Amin)
• Zarkasyi: Talwih adalah seorang mutakallim memberi isyarah kepada pendengarnya pada sesuatu yang dimaksudkannya
• Imaa atau isyaarah: Kinayah jenis ini merupakan kebalikan dari talwih. Di dalam imaa, perpindahan makna dari makna asal kepada makna lazimnya terjadi melaui media (wasaaith) yang sedikit. Pada kinayah ini, makna lazimnya tampak dan makna yang dimaksud juga dekat
• Ramz: Secara bhs ramz berarti isyaarah dengan dua bibir, dua mata, dua alis, mulut, tangan dan lisan. Isyarah-isyarah tsb biasanya dilakukan dengan cara tersirat. Secara istilah: ramz adalah jenis kinayah dengan media (wasaaith) yang sedikit dan lazimnya tersirat. Dengan kata lain, ramz adalah isyaarah kepada sesuatu yang dekat dengan anda secara tersirat. Ramz menyerupai bahasa sandi. Orang Arab menyebutnya ‘Lahn’ atau ‘malaahin’

• Tujuan Kinayah:
o Menjelaskan (Al-Idhaah)
o Memperindah makna
o Menjelaskan sesuatu
o Mengganti dengan kata-kata yang sebanding karena dianggap jelek
o Menghindari kata-kata yang dianggap malu untuk diucapkan
o Peringatan atas keagungan tuhan
o Untuk mubalaghah (hiperbola)
o Untuk meringkas kalimat

• Hubungan kinayah dan majaz:
o Persamaan antara majaz dan kinayah, keduanya sama-sama berkaitan dengan makna yang tsawaani (majazi). Sedangkan perbedaannya terletak pada qarinah.
o Qarinah dalam ilmu balaghah adalah suatu ungkapan baik eksplisit maupun implisit yang ada pada suatu kalam (wacana) yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud pada ungkapan tersebut bukan makna haqiqi.
o Qarinah ada dua: qarinah lafdziyyah dan qarinah ma’nawiyyah
- Qarinah lafdziyyah adalah qarinah yang berbentuk lafal-lafal. Jika dalam suatu kalam terdapat satu kata atau lebih yang menunjukkan bahwa makna dalam kalam itu bukan makna haqiqi, maka dia disebut qarinah lafdhiyyah
- Qarinah ma’nawiyah adalah qarinah yang menunjukkan bahwa makna kalam itu bukan hakiki dengan tersirat
o Pada majaz, qarinah bisa bersifat lafdziyyah dan bisa juga bersifat ma’nawiyyah; sedangkan pada kinayah qarinahnya harus tersirat
o Pada majaz, qarinah mencegah pengambilan makna haqiqi; sedang pada kinayah, qarinah tidak mencegah untuk mengambil makna haqiqi.
o Para pakar balaghah berpendapat qarinah pada ungkapan majaz mengharuskan kita mengambil makna majazi dan meninggalkan makna hakikinya
o Pakar ushul fiqh berpendapat tidak ada perbedaan antara qarinah pada majaz dan kinayah, boleh antara mengambil makna haqiqi dan majazi
o Qazwaini: Antara majaz dan kinayah terdapat perbedaan. Pada majaz mesti ada qarinah yang menolak makna haqiqi
o Syakaki: Pada majaz, perpindahan makna terjadi dari malzuum kepada laazim. Pada kinayah, perpindahan makna dari laazim kepada malzuum. Selain itu, kelaziman itu sendiri merupakan kekhasan yang ada pada kinayah
• Hubungan Kinayah dan Irdaaf (sinonim):
o Menurut pakar ilmu bayaan, esensi dari kinayah merupakan irdaaf
o Menurut pakar badi’: irdaaf berbeda dengan kinayah. Kinayah adalah menetapkan salah satu dari beberapa makna dengan tidak menggunakan lafal yang seharusnya, akan tetapi menggunakan sinonimnya sehingga pengambilan maknanya cenderung kepadanya
• Suyuti: Salah satu dari jenis badi’ yang menyerupai kinayah adalah irdaaf yaitu seorang mutakallim ingin mengungkapkan sesuatu, akan tetapi tidak menggunakan lafal yang seharusnya dan tidak pula ada isyaarah yang menunjukinya. Lafal yang digunakannya adalah sinonim dari lafal yang seharusnya
• Pendapat lain tentang irdaaf dan kinayah: irdaaf berpindah dari yang disebutkan kepada yang ditinggalkan; sedangkan kinayah maknanya berpindah dari yang lazim kepada yang malzum
• Perbedaan Kinayah dan Ta’ridh:
o Zamakhsary: Kinayah adalah menyebutkan sesuatu bukan dengan menggunakan lafal yang seharusnya. Sedangkan ta’ridh adalah mengungkapkan makna sesuatu dengan tidak menyebutkannya
o Ibn Atsir: Kinayah adalah suatu ungkapan yang mengandung makna haqiqi dan majazi dengan gambaran yang mencakup keduanya. Sedangkan ta’ridh adalah suatu ungkapan yang mengandung makna dengan tidak melihat dari sisi haqiqi dan majazinya
o Subky: Kinayah adalah lafal yang digunakan pada makna lazimnya, yaitu cukup dengan menggunakan lafalnya yang mengandung makna haqiqi dan juga mengandung makna yang tidak terdapat pada teksnya
o Syakaki: Ta’ridh adalah konteks yang menggambarkan sesuatu yang tidak disebutkan. Seseorang menyebut sesuatu, akan tetapi dia memaksudkan untuk yang lainnya. Dengan demikian dinamakan ta’ridh karena memiringkan kalam kepada sesuatu yang ditunjuknya
o Thiby menyatakan bahwa ta’ridh adalah mengungkapkan sesuatu dengan tujuan:
- Menjelaskan sesuatu yang ada di sisinya
- Menghaluskan
- Lil istidraj (menundukkan musuh)
- Untuk mencela
- Untuk merendahkan
o Syubki: Ta’ridh itu ada dua macam. Pertama ungkapan yang mengandung makna hakiki akan tetapi tersirat makna lainnya yang dimaksud. Kedua ungkapan yang tidak dimaksudkan ungkapan hakikinya

AL-BALAGHAH: Pengantar

Al-Balaaghah secara leksikal bermakna ‘sampai’. Sedangkan secara terminologi, balaaghah adalah kesesuaian suatu kalam dengan situasi dan kondisi disertai kefasihan yang tinggi serta terbebas dari dha’fu al-ta’lif dan tidak ta’qid ma’nawi wal lafdzi.

Fashaahah al-balaaghah tergantung pada dua aspek, yaitu balaaghah al-kalaam dan balaaghah al-mutakallim.

Kalam baligh: kalam yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta terdiri atas kata-kata yang fasih
Mutakallim baligh: kepiawaian yang ada pada diri seseorang dalam menyusun kata-kata baligh (indah dan tepat) sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat.

Secara ilmiah, ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk bisa mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan kepada kejernihan dan ketelitian dalam menangkap keindahan. Mampu menjelaskan perbedaan yang ada di antara macam-macam uslub (ungkapan). Dengan kemampuan menguasai konsep-konsep balaghah, bisa diketahui rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya serta akan terbuka rahasia-rahasia kemu’jizatan Al-Quran dan Al-Hadits.

Ilmu Bahasa:
Nadhori (teoretik) dan Aththabiqy (terapan)
Nadhori mencakup kaidah-kaidah (qawaaid) tentang sharf, nahwu, balaghah
Aththabiqy mencakup bidang kajian pengajaran bahasa asing, terjemah, psikolinguistik dan sosiolinguistik

Balaghah merupakan kajian teoretik yang membahas bentuk-bentuk pengungkapan dilihat dari tujuannya.
Sebagai wilayah kajian, ilmu ini terkait dengan makna, sehingga selalu bersinggungan dengan semantik.
Semantik berarti teori makna atau teori arti. Ilmu ini merupakan cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti
Semantik mempunyai objek berupa hubungan antara objek dan simbol linguistik. Selain itu ilmu ini membahas perubahan makna kata
Semantik sebagai ilmu untuk mengungkapkan makna mempunyai beberpa teori, di antaranya: conceptual theory, reference atau corespondence theory, dan field theory
Conceptual theory berpendapat: bahwa makna adalah “mental image” pembicara dari subjek yang dibicarakan
Reference theory/corespondence theory: makna adalah hubungan langsung antara makna dengan simbol-simbol acuannya
Field theory: teori ini menafsirkan kaitan makna antara kata atau beberapa kata dalam kesatuan bidang semantik tertentu
Semantik mengkaji kata dan makna, denotasi dan konotasi, pola struktur leksikal dan tata urut taksonomi
Ada kesamaan antara semantik dan balaghah, tapi ada satu bidang yang tidak dipelajari dalam semantik, yaitu ilmu badi’
Ilmu balaghah merupakan sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan masalah kalimat, yaitu mengenai maknanya, susunannya, pengaruh jiwa terhadapnya serta keindahan dan kejelian pemilihan kata yang sesuai dengan tuntutan.

Ada tiga sub ilmu balaghah:

Ilmu ma’aani: mempelajari pengungkapan suatu ide atau perasaan ke dalam sebuah kalimat yang sesuai dengan tuntutan keadaan. Bidang kajian ini meliputi: kalam dan jenis-jenisnya, tujuan-tujuan kalam, washl dan fashl, qashr, dzikr dan hadzf, ijaz, ithnab, dan musawa

Ilmu Bayan: Ilmu untuk mengungkapkan suatu makna dengan berbagai uslub. Ilmu ini objek pembahasannya berupa uslub-uslub yang berbeda untuk mengungkapkan suatu ide yang sama. Ilmu bayan berfungsi untuk mengetahui macam-macam kaidah pengungkapan, sebagai ilmu seni untuk meneliti setiap uslub dan sebagai alat penjelas rahasia balaghah. Kajiannya mencakup tasybih, kinayah. dan majaz,

Ilmu Badi’: membahas tata cara memperindah suatu ungkapan, baik pada aspek lafal maupun pada aspek makna. Ilmu ini membahas dua bidang utama, yaitu muhassinaat lafdziyyah dan muhassinaat ma’nawiyyah. Muhassinaat lafdziyyah meliputi jinas, iqtibas, dan saja’. Muhassinaat ma’nawiyyah meliputi tauriyah, tibaq, muqaabalah, husn at-ta’lil, ta’kid al madh bima yusybih al-dzamm dan uslub alhakiim.

Penulis: Gus Hamka

AL-BALAGHAH: Ilmu Ma'ani

A. Pengertian

• Ma’aani jamak dari ma’na, secara leksikal berarti arti
• Secara istilah: ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafal bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
• Objek kajiannya hampir sama dengan ilmu nahwu. Hanya kalau ilmu nahwu membahas makna yg lebih bersifar mufrad, sedang ma’ani lbh besifat tarkibi

B. Kajian

• Kalimat dan bagian-bagiannya
o Musnad – musnad ilaih
o Fi’il – mutaallaq

• Jumlah
o Fashal
o Washal
o Ijaz
o Ithnab
o musawat

Lebih rinci meliputi 8 macam kajian:
o Ihwal Isnad Khabary
o Ihwal musnad ilaih
o Ihwal musnad
o Ihwal mutaaliqaatul fi’li
o Al-Qashr
o Al-Insya’
o Alfashal dan alwashal
o Al-Ijaaz, al-ithnaab, dan al-musaawah

Jumlah = Kalimat

1. Jumlah Ismiyah
• Ismiyah : suatu jumlah (kalimat) yang terdiri atas mubtada’ dan khabar.
• Fungsi jumlah ismiyah adalah menetapkan sesuatu hukum pada sesuatu.
• Jumlah ini tidak berfungsi untuk tajaddud/pembaruan dan istimrar/kontinuitas (terutama yang khabarnya berbentuk fa’il atau isim maf’ul.
• Jika khabarnya berbentuk fi’il, maka mengandung dimensi waktu (bisa lampau, sekarang, atau yang akan datang)
• Jumlah ismiyah (kalimat nominal), mubtada’ ditempatkan di awal kalimat sedangkan khabar ditempatkan sesudahnya
• Jika mubtada berbentuk nakirah (indefinitive) dan khabar berupa frase preposisi, maka khabar didahulukan

2. Jumlah Fi’liyah
• Jumlah fi’liyah: kalimat yang terdiri atas fi’il dan fa’il atau fi’il dan naibul fa’il
• Mengandung makna pembatasan waktu (lampau. Sedang, akan). Setiap fi’il hanya ada satu pembatas waktu.
• Waktu pada fi’il tdk perlu ada qarinah lafdziyah
• Penanda waktu pada isim perlu qarinah lafdhiyah
• Fi’il juga bisa menunjukkan makna tajaddud
• Jumlah fi’liyah juga bisa menunjukkan adanya perubahan secara berkesinambungan dan bertahap sesuai konteks dan indikatornya (syarat fi’ilnya berupa mudhari’)
• Pada jumlah fi’liyah (kalimat verbal), fi’il (verba) dapat berbentuk aktif dan pasif.
• Karakteristik jumlah fi’liyah tergantung kepada fi’il. Fi’il madhi membentuk karakter (baik positif maupun negatif). Sedangkan fi’il mudhari’ membentuk tajaddud (pembaharuan)
• Selain struktur, kalimat juga bisa digolongkan dari segi isi. Dari segi isi, baik jumlah ismiyah maupun fi’liyah ada kita sebut jumlah mutsabatah (kalimat positif) dan jumlah manfiyah (kalimat negatif).
• Jumlah mutsabatah (kalimat positif) ialah kalimat yang menetapkan keterkaitan antara subjek dan predikat (baik dalam jumlah ismiyah maupun jumlah fi’liyah)
• Jumlah manfiyah (kalimat negatif ialah kalimat yang menegasikan/meniadakan hubungan antara subjek dan predikat

IHWAL MUSNAD DAN MUSNAD ILAIH
• Jumlah (kalimat) paling tidak terdiri dari atas dua unsur. Kedua unsur itu dalam ilmu ma’aani adalah musnad dan musnad ilaih.
• Dalam ilmu ushul fiqh: musnad = mahkum bih. Musnad ilaih = mahkum bih
• Dlm gramatika Arab ada umdah = pokok dan fadlah = pelengkap. Fadllah = qayyid (dalam ma’aani)
• Posisi musnad dan musnad ilaih bervariasi tergantung bentuk jumlah/kalimat dan posisinya dalam kalimat
• Kaitan antara musnad dan musnad ilaih dinamakan isnad.
• Isnad: penisbatan suatu kata dengan kata lainnya sehingga memunculkan penetapan suatu hukum atas yang lainnya baik bersifat positif maupun negatif.

A. MUSNAD ILAIH
• Secara leksikal = yang disandarkan kepadanya.
• Secara istilah = mubtada yang mempunyai khabar, fa’il, naibul fa’il, dan beberapa isim dari amil nawasikh.
• Pengertian lain = kata/kata-kata yang kepadanya dinisbatkan suatu hukum, pekerjaan, dan keadaan
• Posisi musnad ilaih dalam kalimat:
• Fa’il
• Naib fa’il
• Mubtada’
• Ismu “kaana” dan sejenisnya
• Ismu “inna” dan sejenisnya
• Maf’ul pertama “dhanna” dan sejenisnya
• Maf’ul kedua dari “ra’aa” dan sejenisnya

B. MUSNAD
• Musnad = sifat, fi’il, atau sesuatu yang bersandar kepada musnad ilaih.
• Musnad berada pada tempat-tempat:
o Khabar mubtada
o Fi’il tam
o Isim fiil
o Khabar “kaana” dan sejenisnya
o Khabar “inna” dan sejenisnya
o Maf’ul kedua dari “dhanna” dan sejenisnya
o Maf’ul ketiga dari “ra’aa” dan sejenisnya

C. Mema’rifatkan Musnad Ilaih
• Dengan Isim alam
• Dengan dhamir
• Dengan isim isyarah
• Dengan isim maushul
• Dengan “Al”
• Dengan idhofah
• Dengan nida’
• Mema’rifatkan dengan isim alam:
o Menghadirkan zat pada ingatan pendengar
o Memuliakan/menghinakan musnad ilaih
o Optimis/mengharap yang baik
• Mema’rifatkan dengan dhomir
o Dhamir mutakallim
o Dhamir mukhattab
o Dhamir ghaib
• Mema’rifatkan dengan isim isyarah
o Menjelaskan keadaan musnad ilaih (jauh, sedang, dekat)
o Mengingatkan bhwa musnad ilaih layak memiliki sifat-sifat yang akan disebut
o Mengungkapkan derajat musnad ilaiah (dekat, sedang, jauh)
o Menampakkan rasa aneh
o Menyindir kebodohan mukhatthab
o Mengingatkan bahwa yang diisyarahkan pantas menyandang sifat-sifat tertentu.

• Mema’rifatkan dengan isim maushul:
o Tidak baik kalau dengan cara jelas
o Mengagungkan
o Menumbuhkan keingin tahuan
o Merahasiakan sesuatu dari selain mukhatthab
o Mengingatkan kesalahan mukhatthab
o Mengingatkan kesalahan selain mukhatthab
o Mengagungkan kedudukan mahkum bih
o Mengejutkan: mengagungkan/menghina
o Tidak etis menyebut nama diri
o Menentukan pahala/siksa
o Mencela
o Menunjukkan keseluruhan
o Menyamarkan
• Mema’rifatkan dengan “al”
o Mengisyarahkan kenyataan sesuatu, maknanya terlepas dari kaidah umum – khusus
o Mengisyarahkan hakikat yang samar
o Mengisyarahkan setiap satuan yang bisa dicakup lafal menurut bahasa
o Menunjuk seluruh satuan dalam kondisi terbatas
(Catatan: ada “al” lil ahdi dan “al” liljinsi)
• Mema’rifatkan dengan idhafah
o Sebagai cara singkat menghadirkan musnad ilaih di hati pendengar
o Menghindarkan kesulitan membilang-bilang
o Keluar dari tuntutan mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain
o Mengagungkan mudhaf dan judhaf ilaih
o Meremehkan
• Mema’rifatkan dengan nida’
o Bila tanda-tanda khusus tidak dikenal oleh mukhatthab
o Mengisyarahkan kepada alasan untuk sesuatu yang diharapkan

D. MENAKIRAHKAN MUSNAD ILAIH
• Menunjukkan jenis
• Menunjukkan banyak
• Menunjukkan sedikit
• Merahasiakan perkara
• Untuk makna mufrad
• Menjelaskan jenis/macam

E. MENYEBUT MUSNAD ILAIH
• Al-idhah wat tafriq (menjelaskan dan membedakan)
• Ghabwatul mukhatthab (menganggap mukhatthab tdk tahu)
• Taladzdzudz (senang menyebutnya)



F. MEMBUANG MUSNAD ILAIH
• Untuk meringkas
• Terpeliharanya lisan ketika menyebut
• Li al-hujnah (merasa jijik menyebutnya)
• Li at-tamiim (generalisasi)
• Ikhfaul amri an ghairi mukhatthab (menyembunyikan musnad ilaih kepada selain mukhatthab)

IHWAL KALAM KHABARI

• Kalam adalah untaian kata yang memiliki pengertian yang lengkap. Dalam konteks ilmu balaghah kalam ada dua jenis: (1) kalam khabari dan (2) kalam insya’I
• Kalam khabari ialah kalimat yang mengandung kemungkinan benar atau tidak benar.

A. Tujuan Kalam Khabari
• Faidah al-khabar: untuk orang yang belum tahu sama sekali
• Lazimal Faidah: untuk orang yang sdh mengerti isi dari pembicaraan
Pengembangannya, untuk tujuan:
• Istirham (minta dikasihi)
• Idhar al-dha’fi ( memperlihatkan kelemahan)
• Idhar al-tahassur (memperlihatkan penyesalan)
• Al-fakhr (kesombongan)
• Dorongan kerja/berbuat keras


B. Jenis-jenis Kalam Khabari
• Mukhatthab yang belum tahu (khaalidz dzihni) – ibtida’i
• Mukhatthab ragu-ragu (mutariddid adzdzihni) - thalabi
• Mukhatthab yang menolak (inkari) – inkari

C. Deviasi Kalam Khabari
• Kalam thalabi digunakan untuk mukhatthab khaalidz dzihni
• Kalam ibtida’I digunakan untuk mukhatthab inkari

KALAM INSYA’I
• Kalam insya’I adalah suatu kalam yang setelah ucapan itu dituturkan tidak bisa dinilai benar atau dusta. Kalam insya’I merupakan kebalikan kalam khabari.
• Kalam insya’i: (1) insya’I thalabi: amar, nahyu, istifham, tamanni, dan nida’, (2) insya’I ghair thalabi: ta’ajjub, madz al-Dzamm, qasam, kata-kata yang diawali af’alur raja. Yg kedua ini tdk masuk bahasan ilmu ma’ani



A. Amar
• Amar adalah tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Adat untuk amr adalah dengan:
o fi’il amr,
o fi’il mudhari yang disertai lam amr,
o isim fi’il amar, dan
o mashdar pengganti fi’il.

B. Nahyu
• Nahyu adalah tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi. Adat nahyu adalah:
o Fiil mudhari’ yang sebelumnya dimasuki lam nahyi

C. Istifham
• Istifham adalah menuntut pengetahuan tentang sesuatu. Adat yang bisa digunakan:
o Hal
o A
o Ma
o Man
o Mata
o Ayyana
o Kaifa
o Aina
o Anna
o Kam
o ayyu

• Hamzah sebagai adat istifham mempunyai dua makna:
o Tashawwuri: jawaban yang bermakna mufrad. Ungkapan istifham yang meminta pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat mufrad = istifham tasawwuri
o Tashdiq: penisbatan sesuatu atas yang lain
• Man = untuk menanyakan orang
• Ma = untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Untuk meminta penjelasan tentang sesuatu atau hakikat sesuatu
• Mata = digunakan untuk meminta penjelasan tentang waktu (lampau maupun sekarang)
• Ayyaana = digunakan untuk meminta penjelasan mengenai waktu yang akan datang. Kata ini biasanya digunakan untuk menantang
• Kaifa = digunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu
• Aina = digunakan untuk menanyakan tempat
• Hal = untuk menanyakan penisbatan sesuatu pada yang lain (tashdiq) atau kebalikannya. Mutakallim tdk mengetahui nisbah atau musnad dan musnad ilaihnya. Adat hal tdk bisa masuk ke dalam nafyu, mudhari makna sekarang, syarat, huruf athaf. Sedang hamzah bisa.
• Anna = (1) maknanya sama dengan kaifa, (2) bermakna aina, (3) maknanya sama dengan mata
• Kam = merupakan adat istifham yang maknanya menanyakan jumlah yang masih samar. Juga untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan waktu, tempat, keadaan, jumlah, baik yang berakal maupun yang tidak
• Ayyu = digunakan untuk menanyakan dengan mengkhususkan salah satu darai dua hal yang berserikat.
• Deviasi Istifham:
o Untuk maksud amar
o Untuk maksud nahyu
o Untuk maksud taswiyah (menyamakan dua hal)
o Untuk maksud nafyu (negasi)
o Untuk maksud inkar (penolakan)
o Untuk maksud tasywiq (mendorong)
o Untuk maksud penguatan
o Untuk maksud ta’dzim (mengagungkan)
o Untuk maksud tahqir (merrendahkan)
o Untuk maksud taajjub (mengagumi)
o Untuk maksud Alwa’id (ancaman)
o Untuk maksud tamanni (harapan yang tak mungkin terkabul)

D. Nida’ = Panggilan
• Nida adalah tuntutan mutakallim yang menghendaki seseorang agar menghadapnya. Adat yang biasa digunakan untuk memanggil adalah: a, ay, ya, aa, aai, ayaa, hayaa, dan waa
• a dan ay untuk munada yang dekat
• selainnya untuk munada yang jauh
• khusus untuk yaa bisa untuk yang dekat maupun yang jauh
• Kadang-kadang munada yang jauh digunakan adat nida a atau ay (karena dianggap ada kedekatan hati)
• Kadang-kadang munada yang dekat dianggap jauh (karena bisa dianggap ketinggian munada, atau kerendahan martabat, kelalaian, kebekuan hati)
• Penyimpangan makna nida:
o Untuk anjuran, mengusung, mendorong, menyenangkan
o Teguran keras/mencegah
o Penyesalan, kresahan, kesakitan
o Mohon pertolongan/istighotsah
o Ratapan/mengaduh
o Minta belas kasihan
o Merasa sayang, menyesal
o Keheranan atau kekaguman
o Bingung dan gelisah (tidak puas, tdk sabar, bosan)
o Mengingat-ingat
o Mengkhususkan (menuturkan isim zhahir setelah isim dhamir dengan tujuan menjelaskannya. Ini mempunyai tujuan: (1) tafakhur = membanggakan, (2) tawadhu’ = rendah hati.

E. Tamanni
• Tamanni (berangan-angan) adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang diskai tetapi tidak mungkin untuk dapat meraihnya
• Menurut istilah balaghah: menuntut sesuatu yang diinginkan, akan tetapi tidak mungkin terwujud. Ketidakmungkinan terwujudnya sesuatu itu bisa terjadi karena mustahil terjadi atau juga sesuatu yang mungkin akan tetapi tidak maksimal dalam mencapainya. Juga ungkapan yang mungkin terwujud tetapi tidak terwujud karena tidak berusaha secara maksimal.

FASHL DAN WASHL
• Fashl secara leksikal bermakna ‘memotong, memisahkan, memecat, menyapih’. Secara terminologi adalah tidak mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat lainnya
• Washl secara leksikal bermakna ‘menghimpun atau menggabungkan’. Secara terminologis adalah mengathafkan satu kalimat dengan kalimat sebelumnya melalui huruf athaf
• Fashl digunakan pada tiga tempat:
• Jika antara kalimat pertama dan kedua terdapat hubungan yang sempurna. Kalimat kedua berfungsi sebagi taukid atau penjelas, atau badal bagi kalimat yang pertama,
• Antara kalimat pertama dan kedua bertolak belakang
• Kalimat kedua sebagai jawaban bagi yang pertama
• Washl digunakan pada tiga tempat:
• Keadaan i’rab antara kedua kalimat sama
• Adanya kekhawatiran timbulnya kesalahpahaman jika tidak menggunakan huruf athaf
• Kedua jumlah sama-sama khobari atau sama-sama insya’i dan mempunyai keterkaitan yang sempurna

QASHR
• Qashr secara leksikal bermakna ‘penjara’. Secara terminologis adalah mengkhususkan sesuatu atas yang lain dengan cara tertentu
• Qashar memiliki empat unsur:
o Maqshur (berbentuk sifat atau maushuf)
o Magshur alaih (berbentuk sifat atau maushuf)
o Maqshur anhu yaitu sesuatu yang berada di luar yang dikecualikan
o Adat qashr.
LAA YAFUUZU ILLA AL-MUJIDDU.
YAFUUZU = MAQSHUR; AL-MUJIDDU = MAQSHUR ALAIH;
SELAIN AL-MUJIDDU = MAQSHUR ANHU; LA DAN ILLA = ADAT
QASHR

A. Jenis-jenis Qashr
• Dilihat dari aspek hubungan antara pernyataan dengan realitas:
o Qashr hakiki: apabila antara makna dan esensi dari pernyataan tsb menggambarkan sesuatu yg sebenarnya. Pernyataan tsb bersifat universal, tdk bersifat kontekstual, dan diperkirakan tdk ada pernyataan yg membantah atau pengecualian lagi setelah pernyataan tsb. (LAA ILAAHA ILLA ALLAH)
o Qashr idhafi: ungkapan qashr bersifat nisbi. Pengkhususan maqshur alaih pada ungkapan qashr ini hanya terbatas pada maqshurnya, tidak pada selainnya (WAMAA MUHAMMADUN ILLA RASUL QAD KHALAT MIN QABLIHIR RUSUL)

• Dilihat dari dua unsur utamanya (maqshur dan maqshur alaih):
o Qashar sifat ala maushuf (Sifat dikhususkan hanya untuk maushuf)
o Qashr maushuf ala sifah (maushuf hanya dikhususkan untuk sifat)

Catatan: sifat di sini adalah ma’nawiyah; bukan isim sifat dalam konteks nahwu.

B. Teknik Penyusunan Qashr
• Menggunakan kata-kata yg secara langsung menggambarkan pengkhususan (menggunakan kata qashr dan khushush)
• Menggunakan dalil di luar teks, seperti pertimbangan akal, perasaan indrawi, pengalaman, atau berdasarkan prediksi yang didukung oleh indikator-indikator tertentu.
• Menggunakan adat qashar:
o An-nafyu wal istitsna’ (negasi dan pengecualian
o Innama (hanya saja)
o Athaf dengan huruf la, bal, lakinna
- Laa bermakna mengeluarkan ma’ thuf dari hukum yg berlaku untuk ma’thuf alaih. Posisi maqshur dan maqshur alaih sebelum huruf athaf “laa”. Penggunaan laa untuk menqashar hrs memenuhi syarat: (1) ma’thufnya mufrad bkn jumlah, (2) didahului oleh ungkapan ijab, amar, atau nida’ (3) ungkapan sebelumnya tidak membenarkan ungkapan sesudahnya
- Kata “bal” = dalam qashr bermakna idhrab (mencabut hukum dari yang pertama dan menetapkan kepada yang kedua). Posisi maqshur alaih nya terletak setelah kata “bal”. Syarat-syarat: (1) ma’thuf bersifat mufrad, bkn jumlah, (2) didahului oleh ungkapan ijab, amar, atau nida.
- Kata “lakinna” menjadi adat qashar berfungsi sebagai istidrak. Kata ini sama fungsinya dengan “bal”





IJAZ, ITHNAB, DAN MUSAWAH
• Ijaz secara leksikal bermakna ‘meringkas’. Secara istilah dalam balaghah: mengumpulkan makna yang banyak dengan menggunakan lafal yang sedikit
• Efisiensi kalimat (ijaz) ada dua cara:
o Qashar = meringkas
o Hadzaf = membuang (bisa huruf, kata, frase, atau beberapa kalimat)
• Ithnab secara leksikal bermakna ‘melebih-lebihkan’. Secara istilah menambah lafal atas maknanya. Atau mendatangkan makna dengan perkataan yang melebihi apa yang telah dikenal oleh banyak orang
• Lima bentuk ithnab:
o Menyebutkan yang khusus setelah yang umum
o Menyebutkan yang umum setelah yang khusus
o Menjelaskan sesuatu yg umum
o Pengulangan kata atau kalimat
o Memasukkan sisipan
• Musawah secara leksikal bermakna ‘sama’ atau ‘sebanding’. Secara terminologi adalah pengungkapan suatu makna melalui lafal yang sepadan, tidak menambahkan dan tidak mengurangkan.

Penulis: Gus Hamka

Catatan Tentang Sastra

Mendefisinikan sastra secara menyeluruh dengan tepat bukan hal yang sipele, karena sastra itu selalu terkait dengan kebudayaan tertentu. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, melainkan sebuah nama yang diberikan, dengan alasan tertentu kepada hasil kebudayaan tertentu (Luxemburg 1984:9). Pendapat-pendapat yang pernah dikemukakan oleh para ahli mengenai sastra juga berbeda-beda karena terikat oleh zaman dan kebudayaan tertentu. Di samping itu disebabkan juga oleh objek penelitiannya yang tidak tentu bahkan tidak keruan (Teeuw 1984:21). Selanjutnya Teeuw menambahkan, Masalahnya: secara intuasi kita semua sedikit banyak tahu gejala apakah yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita coba membatasinya, gejala itu luput dari tangkapan kita” (Teeuw 1984:21 – 22).

Damono (1979:3 – 5) memberikan pentunjuk bahwa sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri. Sastra berurusan dengan manusia, usaha manusia untuk menyesuaikan diri, dan keinginan untuk mengubahnya.

Selanjutnya Damono menambahkan bahwa sastra itu mencerminkan nilai-nilai yang secara sadar diformulasikan dan yang diusahakan untuk dilaksanakan. Oleh karena itu pengarang menyandang tugas: memainkan tokoh-tokohnya dalam situasi rekaan untuk mengungkapkan nilai dan makna. Hal ini membuat “gagasan” yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan “bentuk” dan “teknik” penulisannya: bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu dikontrol oleh gagasan tersebut. Karya yang besar tidaklah diciptakan berdasarkan gagasan sepele atau dangkal.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Taufik Abdullah dalam buku Dari Peristiwa ke Imajinasi-nya Umar Junus (1985:ix), bahwa pada kesadaran yang tinggi apa yang diajukan sastrawan adalah hasil dari dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas, yang berbagai dimensi, sedang pada tingkat kesadaran yang rendah karya sastra itu adalah pantulan dari lingkungan realitas itu. Sastra pada dasarnya adalah usaha untuk memperlihatkan makna kehidupan.

Ssastra bagi manusia mana dan siapa pun adalah aktualisasi kehidupannnya, selaku usaha untuk merealisasikan diri menjadi semakin manusiawi; maka pada dasarnya sastra adalah perkara biasa. Sastra dan seni adalah hal sehari-hari. Seniman, sastrawan adalah warga masyarakat biasa, yang mencari nafkah dan bergerak normal sebagai orang biasa juga, tetapi yang tahu serta menghayati, bahwa selain dimensi-dimensi material dan wadag biasa saja, manusia masih punya dimensi lain yang mengatasi materi dan yang melonjak dari peri-budayawannya; dia pelaku seni, penucap sastra. Realistik imanen di dalam dan tengah dunia wadag, tetapi yang tak lupa mengaktualisasikan dimensi transendennya, urai Mangunwijaya (1986:2—7).

Bersastra pada dasarnya ialah pernyataan penghadiran: menghadirkan sesuatu “ada” yang sudah hadir, namun masih terselubung, dan yang tidak akan keluar dari selubung itu bila tidak dihadirkan dalam suatu bahasa. Bersastra juga merupakan pewartaan eksistensial mengenai realita-realita dari eksistensi manusia: kelahiran, kehiduapan, mengahdapi maut. “Sastra” dan “Bentuk Hidup” adalah dua sinonim dari satu realita. Jadi pada mulanya sastra merupakan suatu fungsi penghadiran dan pewartaan eksistensi; sastra adalah sarana transformatoris (baca:religius). Dengan demikian Mangunwijaya (1982:11) mencatat suatu peryataan hitam putih: “Pada Awal Mula, Segala Sastra adalah Relegius”.

Perkembangan selanjutnya sastra menuntut haknya untuk otonom, tidak perlu ciri eksistensial atau fungsi penghadiran. Lahirlah sastra modern – Mangunwijaya menyebutnya: sastra sekuler. Namun pada kenyataannya sastra yang berciri religius tranfromatoris bukan versus sastra otonom. Keduanya ternyata adalah aspek atau demensi dari satu perwujudan penghadiran atau pewartaan eksistensial. Karya-karya modern masih tetap berpegang pada dimensi-deminsi penghadiran, bahwkan eksistensinya berkadar pekat, yang benar-benar prihatin terhadap ke-“ada”-an dan bahaya ke-“tiada”-an bangsa manusia – tentunya sesuai dengan caranya sendiri. Kembali pada pernyataan awal, sastra tertentu adalah suatu bentuk hidup tertentu, maka suatu bentuk hidup tertentu adalah bentuk sastra tertentu pula. Mangunwijaya akhirnya berkesimpulan: ‘semua satra yang baik selalu relegius’ (Mangunwijaya 1982:15).


Karya sastra merupakan kekonkretan gambaran, maka sebuah ide dalam karya sastra sering dihadirkan dalam gambar-gambar inderaan, atau gambar-gambaran angan-angan; gambaran-gambaran ini disebut citraan. Melalui citraan kita dapat menangkap ide yang semula tidak bisa ditangkap oleh alat-alat keindraan, misalnya tentang kedekatan Tuhan dengan makhlukn-Nya, cinta kasih Tuhan kepada makhluk-Nya, cinta kasih makhluk kepada Tuhannya.

Karya sastra juga padat menggunakan simbol. Simbol adalah semacam pola arti yang tidak langsung menunjukkan sesuatu; kitalah yang menghubungkan simbol-simbol itu dengan apa yang dimaksudkan. Melalui simbol, kita dapat mearik hubungan asosiasi dari simbol itu dengan yang disimbolkan.

Karya sastra merupakan suatu manifestasi kebudayaan, yang dengan sendirinya di hasilkan melalui kompleks kebudayaan tertentu (Junus 1981:160).

Schilmmel menyebutkan, bahwa puisi, sebagai salah satu bentuk karya sastra, memang menyediakan kemungkinan yang hampir tanpa batas untuk menciptkan hubungan-hubungan baru antara citraan dunia fana dan dunia baka.

Citraan, sebagaimana dikatakan oleh Clayes (1975:21) adalah gambaran yang tertangkap di dalam pemikiran tentang hal-hal atau benda-benda yang dapat dirasakan oleh salah satu atau beberapa indera sekaligus. Sedangkan simbol adalah suatu pola arti, sehingga antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan terjadi suatu hubungan asosiasi. Simbol sendiri tidak langsung menunjukkan sesuatu. Kitalah yang menghubungkan simbol-simbol itu dengan apa yang disimbolkan (Luxemburg 1984:1990).

Grebstein berkesimpulan, bagaimana pun karya sastra bukanlah suatu gelaja yang tersendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apapbila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri (Damono 1984:4).



Penulis: Gus Hamka

Catatan Tentang Tasawuf

Secara kodrati manusia memang merasa bahwa di luar dirinya ada kekuasaan yang lebih agung (Yang Mahakuasa). Yang Mahakuasa ini dipercayainya sebagai pengatur kehiupan. Selanjutnya manusia menyakini bahwa apabila dirinya dekat dengan sang pengatur kehidupan itu akan amanlah hidupnya dan akan damailah hatinya. Ketenteraman hidup dan kedamaian hati adalah dambaan setiap manusia; maka dalam kehidupan manusia selalu dijumpai adanya semacam upaya untuk mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa itu.

Sekelompok umat manusia menyakini bahwa Yang Mahakuasa itu telah memberikan tuntunan hidup untuk mengadakan hubungan dengan Yang Mahakuasa itu (baca: Tuhan), dan juga tuntunan hidup untuk mengadakan hubungan dengan sesama manusia beserta lingkungannya. Seperangkat tuntunan ini kemudian lazim disebut agama. Agama pada dasarnya adalah satu sistem kredo atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia dan satu sistem ritus manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu serta sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud (Ansari 1983:9).

Agama berisi seperangkat aturan formal. Pemeluk agama tertentu menyakini bahwa apabila aturan-aturan formal dalam agama yang diyakininya itu ditaati akan didapatlah kebahagiaan hidup. Akan tetapi sekelompok manusia ada yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup bukan hanya melalui penempuhan aturan formal itu saja, bahkan ada yang sama sekali tidak melalui aturan formal itu.

Islam sebagai agama mempunyai seperangkat aturan yang harus ditempuh oleh pemeluknya (misalnya syahadat, salat, dan puasa). Seperangkat aturan formal dalam Islam itu disebut syariat; syariat ini mengadung hukum-hukum Tuhan. Penekanan syariat adalah bahwa manusia itu makhluk yang diberi beban untuk melaksanakan hukum, sedang Tuhan adalah “Hakim”. Dalam pada itu ternyata tidak semua pemeluk agama Islam memandang bahwa Tuhan sebagai “Hakim” semata, yang hanya membebani hukum kepada manusia. Sebagian pemeluk agama Islam menyakini bahwa Tuhan memberikan hukum itu karena Tuhan mencintai makhluk-Nya, maka baginya Tuhan adalah “Kekasih” yang dengan kasih-Nya Tuhan memberikan tutunan untuk kedamaian. Oleh karena Tuhan adalah “Kekasih” maka sebagian pemeluk agama Islam itu kemudian berupaya untuk dekat dengan “Kekasih”-nya itu tidak melalui penempuhan aturan formal saja, tetapi ditambah pula dengan amalan-amalan tertentu dengan maksud untuk dekat kepada Tuhan. Penempuhan jalan yang demikian itu dalam Islam lazim disebut tasawuf.

Dalam tasawuf, Tuhan dipandanya sebagai “Kekasih” sedang manusia adalah salik ‘orang yang berjalan menuju kepada kekasihnya’. Sikap dan tingkah laku manusia bukanlah sebagai hamba yang dibebani oleh hukum – seperti dalam penekanan syariat. Semua yang dipersembahkan kepada Tuhan itu adalah karena kecintaan sang asyik terhadap sang maksyuknya (Effendi 1985:2).

Gejala yang biasanya disebut tasawuf itu luas dan wujudnya begitu besar, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menggambarkannya secara utuh, karena kenyataan yang menjadi tujuan tasawuf adalah pengalaman rohani, yang bersifat subjektif. Maka definisi tasawuf yang ada hanyalah sekedar petunjuk, yang tentunya tidak menyeluruh. Tepat yang dimisalkan oleh Schimmel (1986:1) tentang gambaran tasawuf yang dicontohkan dengan kisah Rumi, ketika orang-orang buta menyentuh gajah, masing-masing menggambarkannya sesuai dengan bagian tubuh gajah yang disentuhnya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggambarkan gajah seutuhnya itu sebenarnya seperti apa.

Ciri umum taswuf telah banyak dikemukakan oleh para peneliti. Bertrand Russel misalnya, memberikan ciri umum tasawuf dengan empat hal, yaitu (1) keyakinan atas intuisi dan pemahaman batin sebagai metode pengetahuannya, (ii) keyakinan atas ketunggalan (wujud), (iii) pengingkaran atas realitas zaman, dan (iv) keyakinan atas kejahatan sebagai suatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja (Al-Taftazani 1985:3—4).

Al-Taftazani membantah pendapat Russel ini kecuali nomor satu, karena yang nomor satu itu memang ditemukan pada tasawuf dari semua aliran dan kurun masa. Al-Taftazani mengajukan lima ciri tasawuf, yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Kelima ciri itu adalah (i) peningkatan moral, taswuf memiliki nilai moral tertentu yang bertujuan untuk membersihkan jiwa; (ii) penemuan fana (sirna) dalam realitas mutlak, yang dimaksudkan ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik serta psikis akhirnya sufi samapai pada kondisi tertentu, ia tidak lagi merasakan adanya dirinya atau keakuannya: (iii) pengetahuan bersifat intuitif, ini yang membedakan tasawuf dengan filsafat; filsafat dalam memahami sesuatu mempergunakan metode-metode intelektual sedang tasawuf pemahamannya dengan intuisi (kasyaf); (iv) ketenteraman dan kebahagiaan, tasawuf diniatkan sebagai penunjuk dan pengendali hawa nafsu serta pembangkit keseimbangan psiki; dan (v) penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan, ialah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan oleh para sufi biasanya mengandung pengertian tidak secara hafiah.

Dari perincian ciri umum tasawuf itu, Al-Taftazani kemudian mendifinisikan taswuf sebagai berikut:

Tasawuf atau mistisime adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang untuk menyatakan penemuan fana dalam Realitas Yang Tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah, yang hakikat ralitasnya sulit diungkapan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif dan subjektif (Al-Taftazani 1985:6).

Banyak peneliti yang berpendapat bahwa tasawuf itu datang dari luar Islam. Sebagian berpendapat bahwa tasawuf timbul karena pengaruh ajaran Hindu. Ada yang menghubungkan pula tasawuf berasal dari kebiasaan rahib Kristen yang menjahui kesenangan material dan menjahui kehidupan duniawi. Selain itu ada yang menyebutkan bahwa tasawuf yang masuk dalam Islam berasal dari filsafat Pythagoras yang mengajarkan untuk memasuki kehidupan kontemplasi dengan cara meninggalkan kehidupan material. Ada yang mengatakan pula bahwa tasawuf berasal dari filsafat Plotinus dengan emanasinya – roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada Tuhan.

Pendapat-pendapat itu sesunguhnya timbul setelah pada abad ke-19 teks-teks tasawuf dan sumber sejarahnya dicetak dan beredar di Eropa, sehingga para sarjana mulai menyusun gagasan-gagasan sendiri tentang tasawuf. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Schimmel (1986:7), kebanyakan sumber itu jarang yang memuat keterangan yang dapat dipercaya.

Garis besar sejarah tasawuf dari abad awal hingga sekarang menunjukkan adanya dua aliran dalam tasawuf. Pertama, yang lazim disebut tasawuf Sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah yang juga berdasarkan kehidupan yang asktetis, kehidupan yang sederhana, dan mengutamakan pendidikan maupun pembinaan moral. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Al-Ghazali. Kedua, yang lazim disebut tasawuf filosofis, yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional dengan objek bahasannya terutama penyusunan teori “wujud” berlandaskan rasa (dzauq) yang secara jelas memang ditandai oleh corak filosofis. Para pengasas tasawuf aliran ini memunculkan konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah sampai pada tingkat penyatuan atau juga hulul. Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Ibn Arabi. Baik tasawuf Sunni maupun tasawuf Filosofis sebenarnya dapat dijelaskan akar Islamnya. Adanya kesamaan gejala antara tasawuf dengan mistisisme atau filsafat di luar Islam tidak selalu bahwa tasawuf ditimba dari sumber-sumber di luar Islam.

Asketis muslim, misalnya yang biasanya dihubungkan dengan rahib Kristen, sebenarnya mempunyai rujukan dalam Quran:

Katakalah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak dianiaya sedikit pun” (Q.S. 4:77)

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah ornag-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang berkata sesungguhnya kami ini orang nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka itu (orang-orang Nasarani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata merka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabihan Muhammad S.A.W.) (Q.S. 5: 82 –83)

Munculnya tasawuf filosofis membuat ajaran tasawuf bersingungan dengan filsafat dari luar Islam. Akan tetapi tasawufnya tetap tidak hilang, karena para tokohnya tetap berusaha menjaga keberadaan ajaran tasawuf (yang tidak mengandalkan pemahamannya secara rasional belaka). Para tokohnya justru gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka. Paham tentang penyatuan wujud atau hulul juga tetap berlandasan penafsiran ayat-ayat berikut:

Dan apabila hamba-hambak-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu (Q.S.2:186)

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (Q.S.2:115)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui aoa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Q.S. 50:16)

Dari uraian itu jelaslah bahwa tasawuf mempunyai rujukan yang kuat dalam sumber Islam, walaupun memang tidak diingkari bahwa tasawuf dalam sejarah perjalanannya telah banyak mendapat pengaruh dari luar Islam. Dapatlah dibenarkan perkataan Nicholson, bahwa bahwa gerakan tapabrata awal bisa dijelaskan dengan mudah berdasarkan akar Islamnya, dan bahwa oleh karenanya bentuk asli tasawuf “merupakan hasil asli Islam itu sendiri”. Karena Islam tumbuh di daerah yang mendapat pengaruh pemikiran ketimuran kuno, neoplatonisme, dan Kristen, tentunya sejumlah pengaruh tambahan mungkin telah memasuki Islam, bahkan, pada tahapannya yang paling awal (Schimmel 1986:8).

Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Nurcholish Madjid, bahwa ketika Islam telah berkembang meliputi wilayah Afrika Utara dan Spanyol, orientasi hukum (fiqh) menjadi dominan. Sesuai dengan sifatnya, hukum itu bersifat eksoteris. Maka mulailah timbul pendalaman untuk memerangi ‘kekeringan’ itu, yang melahirkan ajaran tasawuf sebagai disiplin ilmu. Kajian ini kemudian diperkaya oleh sentuhan dengan agama lain, Kristen misalnya, yang telah lebih dahulu meminjam banyak unsur filsafat Yunani, diperkaya pula oleh unsur Budhisme yang ketika itu memang berpengaruh di Iran. Akan tetapi sebenarnya dimensi tasawuf mempunyai akar yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada orientasi hukum (Madjid 1985: 3—4). Yang terpenting dari pernyataan Madjid ini adalah bahwa tasawuf terlepas dari kemungkinan adanya pengaruh dari luar Islam, tasawuf jelas mempunyai rujukan pada sumber Islam.
Tentang kata tasawuf di antaranya ada yang berpendapat berasal dari kata shafa ‘bening’ , shaf ‘barisan’, ahlussuffah ‘sekelompok orang yang tinggal di sisi masjid Madinah’, suf ‘wol’. Beberapa pendapat ini dapat dilihat dari kesimpulan pembicaraan Hujwiri:

Beberapa beranggapan bahwa sufi disebut demikian karena ia mengenakan jubah wol (jama-i suf), yang lain mengatakan karena sufi berada di larik depan (saff-i awwal), yang lain lagi mengatakan karena para sufi itu menganggap diri mereka termasuk dalam ashab-i suffa (orang-orang yang duduk di bangku di sekeliling masjid Nabi). Dan yang lain beranggapan bahwa sufi berasal dari safa ‘kemurnian’ (Schimmel 1986:12).

Selanjutnya Schimmel menambahkan, bahwa definisi lain yang berasal dari Barat, yakni yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata Yunani sophos ‘arif’, tidak bias diterima secara filologis.

Pendapat yang banyak diterima ialah bahwa tasawuf itu berasal dari kata suf yang berarti ‘wol’, yang dimaksud adalah wol primitif yang kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang-orang miskin di Timur Tengah – di zaman itu pakaian kemewahan ialah sutera. Sufi ingin hidup sederhana menjauhi kemewahan dunia dan untuk itu mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar tersebut (Nasution 1979:71 – 72). Keterangan Nasution ini sejalan dengan penryataan Al-Taftazani (1985:21):

… Namun kajian ilmiah membuktikan bahwa semua pendapat di atas jauh dari tepat. Yang lebih tepat ialah kata sufi (shufi) berasal dari shuf atau bulu domba. Dikatakan, tashawwafa al-rajul, kalau memakai wol. Pada masa awal perkembangan asketisme, pakain bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para sufi sendiri banyak berpendapat seperti ini.

Junaid di dalam pernyataannya tidak memberikan definisi tasawuf. Junaid hanya memberikan petujuk tentang ajaran tasawuf. Dikatakan olehnya bahwa tasawuf di antaranya didasarkan pada kemelaratan Muhammad yang diangugerahi kunci segala harta yang ada di muka bumi oleh Tuhan dengan firman-Nya kepada Muhammad, “Jangan menyusahkan diri sendiri, tapi nikmati setiap kemewahan dengan harta ini,” namun jawab Muhammad, “Ya Allah, hamba tidak menghendakinya; biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar” (Schimmel 1986:13). Pernyataan Junaid ini memberikan petunjuk bahwa tasawuf juga bersumber pada perilaku Nabi Muhammad.

Dari uraian yang singkat itu, kita dapat menarik pengertian bahwa tasawuf tidak lain adalah upaya penghayatan Islam, karena Islam bukanlah agama yang hanya bersandar pada formalitas saja. Dalam tasawuf, moral Islam dipandang sebagai landasan syariat Islam. Dengan demikian, Islam pada esensinya adalah moral, yakni moral antara seorang hamba kepada Tuhannya, antara dia dengan dirinya, antara dia dengan lingkungannya. Quran pada dasarnya juga berisi ajaran bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhannya, berhubungan dengan dirinya, dan berhubungan dengan lingkungannya. Nabi Muhammad diutus Allah dengan tugas utama untuk menyempurnakan moral manusia; sedangkan Muhammad seniri diyatakan oleh Allah sebagai orang yang bermoral sempurna:

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S. 68:4)

Oleh karena itu jelas bahwa tasawuf mempunyai akar yang kuat pada sumber Islam sendiri.

Kajian ilmiah tentang sumber taasawuf telah telah dilakukan oleh Louis Massignon. Dia menyimpulkan adanya empat sumber tasawuf (Al-Taftazani 1985:33):

Pertama Al-Quran, sebagai sumber yang terpenting.
Kedua: ilmu-ilmu Islam, seperti Hadis, Fiqh, Nahwu, dan lain-lain.
Ketiga: Terminologi-terminologi para ahli ilmu kalam angakatan pertama
Keempat Bahasa ilmiah yang terbentuk di Timur sampai enam abad permulaan Masehi adalah dari bahasa lainnya, seperti bahasa-bahasa Yunani dan Persia, yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam pada itu Al—Taftazani (1985:34 –53) menjelaskan sumber tasawuf dalam Islam adalah: (I) Al-Quran, (ii) kehidupan, moral, dan sabda Muhmmad, dan (III) kehidupan dan ucapan para sahabat Nabi Muhammad.

Umarie (1961:41) memberikan pentunjuk, bahwa tasawuf apabila dikaji di antaranya berisi masalah metafisika. Metafisika dalam tasawuf merupakan pembicaraan yang penting, sebab hal ini akan menyangkut eksistensi alam ini yang dikaitkan dengan keberadaan (wujud) Allah, yang merupakan titik sentral perhatian tasawuf. Sebagaimana disebutkan oleh Schimmel (1986:23), tasawuf merupakan usaha untuk mencapai pembebasan pribadi lewat tauhid sejati. Intisari sejarah panjang tasawuf adalah pengungkapan dari awal lagi, dengan perumusan yang berbeda-beda, tentang keberadaan mutlak bahwa “tak ada Tuhan melainkan Allah”’ serta kesadaran bahwa hanya Dia yang boleh dipuja.

Al-Ghazali dalam Misykatul Anwar (1985:57) memberikan penjelasan yang berporoskan Quran surah An-Nur ayat 35, bahwa alam ini terdiri dari dua bagian: alam rohani dan alam jasmani. Alam jasmani (yang diistilahkannya alam syahadah adalah alam yang dapat dilihat dengan mata lahiriah (baca:indera). Sedangkan alam rohani (yang diistilahkannya alam malakut) adalah alam yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan hati. Setiap orang bersuluk (berjalan menuju ke hadirat Allah) apabila telah berada di alam malakut ini pada hakikatnya ia berada di sisi Allah yang tangan-Nya tergenggam semua kunci, yakni semua penyebab adanya “sesuatu yang ada” (maujudat) di alam syahadah ini. Sebab, alam syahadah adalah “bekas” atau akibat dari alam malakut, seperti halnya bayang-bayang sesuatu benda adalah bekas dari benda itu yang terkena cahaya. Di dalam ayat 35 surah An-nur itu disebutkan bahwa Allah adalah cahaya di atas cahaya. Oleh karena itu dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa Allahlah yang merupakan hakikat dan yang sebenar-benarnya wujud, sedang selain-Nya maujud karena pancaran cahaya-Nya. Kemudian mengingat alam syahadah ini adalah “bakas” dari alam malakut, maka segala sesuatu di alam syahadah ini dapat menjadi “misal” untuk alam malakut.

Pembicaraan “wujud” ini juga merupakan tema pokok dari Ibn Arabi (Hadi 1985: 66). Pertama-tama harus dibedakan dulu antara wujud sebagai konsep, yaitu ide tentang wujud (eksistensi) dan wujud dalam arti sesuatu yang maujud (diadakan).

Tuhan menurut Arabi adalah wujud yang mutlak (wujud universal), hakikat yang merupakan pangkal dan akhir segala yang ada. Di luar Tuhan adalah wujud yang relatif. Menurut Arabi hanya yang Esa saja yang ada secara sungguh-sungguh. Ia merupakan hakikat yang dapat dilihat dari dua sudut pandang. Bila dipandangnya sebagai esensi segala kejadian maka disebut haq (hakikat). Bila dipandangnya sebagai kejadian (pengejawantahan esensi) maka disebut khalq. Haq adalah hakikat sesuatu dan khalq adalah penampakannya. Arabi membagi wujud sebagai berikut:


WUJUD




Mutlak Nisbi-Mungkin
Hakikat, zat Tuhan, Alam Kejadian
Tak bisa ditafsirkan
Dan diperikan


Bebas Tergantung
Substansi Sifat, kejadian,
Hubungan keruang-
an, kewaktuan, dll.



Material (maddi) Spiritual (rohani)


Hubungan antara haq dan khalq menurut Arabi hanya dapat diterangkan secara kias dan simbolik. Arabi mengungkapkan hubungan itu seperti “cermin” dan “bayangan”. Yang haq disebutnya sebagai objek yang bayang-bayangnya terpantul dalam cermin. Khalq adalah gambar dalam cermin; gambarnya muncul dalam bentuk yang berbeda-beda menurut kodrat sang cermin.

Seluruh dunia ini menurut Arabi bagaikan panggung wayang, dan Tuhanlah yang menggerakkan wayangnya. Arabi juga menggunakan kias “perahu” yang “pulang kembali”. Yang haq adalah asal segala sesuatu, dan kepada yang satu itulah semua akan pulang kembali, sebagaimana perahu akan pulang kembali ke pelabuhan.



Di samping masalah metafisika, Umarie juga memberikan petunjuk bahwa tawawuf juga menyangkut masalah etika (Umarie 1961:41). Pokok persoalan tasawuf berkisar antara hubungan makhluk dengan Khalik. Hubungannya didasarkan pada cinta dan keindahan, bukannya hubungan seperti budak yang secara terpaksa harus melakukan perintah tuannya.

Menurut Arabi (Hadi 198:75), cinta adalah prinsip utama penciptaan. Melalui cinta-Nya Dia memanifestasikan dalam penciptaan yang maujud ini. Tuhan mencintai keindahan, karena yang indah itu hakikatnya adalah pancaran keindahan-Nya dan pancaran wujud–Nya . Kerinduan sufi pada Tuhan diumpamakan seperti kerinduan sang asyik yang merindukan maksyuknya, dan sering diungkapkan lewat lambang-lambang cinta manusia. Sebagaimana dikemukakan Schimmel (1986:3), “…dan akhirnya, kerinduan insan yang bercinta dan damba untuk berpadu diungkapkan lewat lambang-lambang yang diambil dari cinta manusia; gabungan cinta manusia dan Ilahi sering merembes ke dalam sajak-sajak ahli mistik”. Dengan demikian jelas bahwa tasawuf tidak akan lepas dari estetika. Lebih jelas kalau dikaitkan denagan pernyataan Al-Ghazali, bahwa taswuf tidaklah mengandalkan penalaran akal karena di balik akal masih ada kondisi yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal; kondisi itu bisa ditangkap dengan dzauq, yakni perasaan_perasaan halus yang timbul dari hati nurani (Al Ghazali 1985:85).

Tentang citraan dan simbol dalam kaitannya dengan tasawuf ini Schimmel (1986:2) menjelaskan:

…Para ahli mistik dalam pelbagai agama telah mencoba melambangkan pengalaman-pengalaman mereka dalam tiga kelompok citraan yang berlain-lainan: Usaha yang tak ada habisnya untuk mencari dan menemukan Tuhan dilambangkan dengan “Jalan”, dan si pejalan harus tetap melangkah seperti yang digambarkan dalam sejumlah cerita kiasan tentang Perjalanan Peziarah atau perjalanan ke Sorga. Perubahan jiwa melalui kesengsaraan dan pemurnian yang menyakitkan sering diungkapkan dalam gambaran alkimia atau proses serupa dalam alam dan ilmu prailmiah; impian kuno tentang pembuatan emas dari logam rencahan menjelma kenyataan dalam taraf rohani. Dan akhirnya, kerinduhan insan yang bercinta dan damba untuk berpadu diungkapkan lewat lambang-lambang yang diambil dari cinta manusia; gabungan cinta manusia dan ilahi sering merembes ke dalam sajak-sajak ahli mistik.

Dr. Abdul Tawwab Abdul Hadi (1986:35), setelah mempelajari penafsiran Al-Quran oleh kaum sufi, menyimpulkan adanya empat metode perlembagaan dalam tasawuf:
1. Perpadanan antara “yang lahir” dengan ” yang batin”
2. Separasi (pemisahan)
3. Penyesuaian tanda-tanda inderawi yang ada pada lahir dengan makna batin
4. Prinsip-prinsip bahasa dalam pegertian umum yang mencangkup nahwu, balaghah, prononsiasi, dan bentuk penulisan

Tasawuf pada intinya adalah upaya seseorang untuk dekat dengan Allah. Upaya pendekatan diri dengan Allah ini menuntut pula adanya keyakinan bahwa keberadaan Allah itu dekat dengan manusia. Dengan demikian pembicaran tentang keberadaan Allah menjadi penting kedudukannya dalam tasawuf. Bahkan dalam tawuf filosofis (yang membawa paham hulul dan penyatuan wujud) tema keberadaan Allah ini merupakan tema pembicaraan yang menonjol.

Jalan untuk sampai kepada Allah berisi beberapa tahapan (al-maqamat). Al-maqamat yang disepakati oleh semua tasawuf adalah tobat, zuhud (anti berlebihan masalah duniawi), sabar, tawakal, dan mahabbah (cinta kepada Allah) (Nasution 1979:78-79). Dengan sampainya pada tahapan mahabbah ini berarti sufi telah sampai pada makrifah (mengetahui Allah dengan hati sanubari). Sufi meyakini bahwa mahabbah akan menimbulkan cinta timbal balik antara Allah dengan makhluk-Nya (cinta ilahi). Dengan demikian mahabbah adalah hal yang penting (tahapan yang tinggi dalam tasawuf).


Penulis: Gus Hamka

Catatan tentang epistimologi

Bagian A. Pengantar
Filsafat membincangkan masalah kebenaran. Yang dimaksud dengan pengetahuan yang benar dan hasrat untuk menuju kebenaran menyangkut bermacam-macam konteks kebudayaan. Menuju pengetahuan yang benar untuk filsafat timur haruslah yang membawa keselamatan. Pandangan Timur ini senada dengan perkataan Yesus, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32). Filsafat Timur lebih bersifat soteriologis (=keselamatan). Pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang menyelamatkan. Filsafat Timur merupakan upaya untuk mencapai keselamatan dengan melepaskan diri dari ikatan dunia ini. Sedangkan dalam filsafat Barat, pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan. Meskipun demikian pertanyaan lanjutan juga muncul: mungkinkah persesuaian itu selalu diketahui? Apa yang menjamin persesuaian itu? Persesuaian dengan kenyataan manakah yang dimaksud?
Dasar bagi pengetahuan yang benar menurut Plato terletak pada dunia ide. Tidak mungkin ada pengetahuan yang benar dengan sifat-sifat universal dan mutlak yang berasal dari kenyataan inderawi. Menurut Plato, kenyataan yang diketahui oleh indera bersifat “semu”. Kenyataan yang menjamin kebenaran ialah “dunia atas” (dunia ide). Aristoteles menolak pandangan Plato. Ia mengatakan bahwa dasar pengetahuan yang benar terletak pada kenyataan yang diketahui melalui indera. Pandangan Plato melahirkan aliran yang dikenal sebagai “idealisme”: dunia ide adalah dasar pengetahuan yang benar. Pandangan Aristoteles meletakkan dasar bagi aliran realisme. Dasar pengetahuan yang benar terletak pada kenyataan yang diketahui melalui indera.
Pandangan Plato dikenal dengan sebutan “dualisme” yang pelbagai variannya diteruskan oleh Agustinus, Ibnu Sina, Descartes, dan Kant (sebagai puncaknya). Sedangkan menurut Aristoteles kenyataan itu hanya satu, yaitu kenyataan yang diketahui melalui indera. Pengetahuan bersifat benar kalau terbuka bagi verifikasi empiris (observasi dan eksperimen). Ini yang kemudian kita kenal dengan pandangan materialisme, empirisme, positivisme, neopositivisme. Pada masa sekarang keyakinan ini disebut saintisme. Dalam pandangan saintisme, tidak ada kenyataan lain selain dari kenyataan yang dapat dibenarkan oleh metode sains. Kenyataan, dalam pandangan mereka, bersifat one-dimensional, yaitu: empiris. Itulah ilustrasi singkat pergolakan pemikiran dalam dunia filsafat.

Bagian B. Sejarah Epistemologi “Barat”
Sejarah perkembangan epistemologi “Barat” dimulai sejak zaman awal (zaman abad Yunani Kuno) sampai abad Kontemporer dewasa ini. Analisis historis sejarah epistemologi Barat ini secara lebih luas dan terperinci karena dua pertimbangan pokok. Pertama, karena de facto epistemologi dan kebudayaan Barat lahir dan mangalami perkembangan yang jelas dan sistematis. Kedua, karena perkembangan di Barat tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat di bagian dunia lainnya. Pergolakan-pergolakan kultural di dalam perkembangan pengetahuan di barat lebih bersifat agresif daripada yang di Timur. Para analisis cenderung mengamati gerak pergolakan ini dari berbagai perspektif kesejarahannya. Ada yang bersifat konstruktif, ada pula yang bersifat dekonstruktif, akhirnya menunjukkan adanya problem tanggungjawab kultural dalam pengembangan epistemologi.
Thomas S. Khun (1993) menggambarkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang dimulai di Barat (periode Nicolaus Copernicus sampai periode Isac Newton dan Albert Einsten ) yang bersifat revolusioner, karena bukan berdasarkan kontinuitas–akumulatif melainkan diskontinuitas–revolusione
r. Paradigma lama digantikan dengan paradigma baru yang tak terdamaikan lagi. Pergantian ini mencakup keseluruhan atau sebagian dari paradigma lama dengan paradigma baru. Peralihan tersebut tidak semata-mata karena alasan logis–rasional, tetapi mirip dengan pertobatan dalam agama.
Pembabakan sejarah epistemologi Barat dapat dilihat bahwa para pilsuf cenderung mengambil cara–cara pengambilan dengan tekanan yang berbeda–beda. Charles Patterson meletakkan titik awal epistemologi Barat pada periode Yunani Kuno yaitu pada masa Thales. Kemudian membagi pembabakan sejarah itu dalam dua golongan besar yaitu masa dari Thales sampai kematian Geodarno Bruno (600 SM - 1600 SM) pergolakan ini lebih bersifat metafisik kosmalogis. Periode kedua adalah masa abad pertengahan ke abad modern sampai ke abad kontemporer (abad ke-17 – abad ke-20).
Periode sejarah ini lebih diwarnai oleh adanya tuntutan otonomi rasio manusia yang mewarnai percaturan dan pergolakan–pergolakan kultural di dalam perkembangan pengetahuan. Pada periode ini terjadi pula perpecahan–perpecahan dalam khasanah pengetahuan yang bersifar revolusioner. Kondisi ini kemudian berkembang ke arah kesadaran akan kesatuan dalam kemajemukan yang menjadi ciri zaman Kontemporer. Zaman kontemporer ini diwarnai dengan munculnya berbagai aliran epistemologi yang bersifat holistik.
Thomas S.Khun dan Robert M. Augross serta George N. Stanciu meletakkan titik awal analisinya pada sejarah perkembangan pengetahuan sejak abad ke-17 yang menandai munculnya revolusi pengetahuan modern. Mereka membagi peta sejarah perkembangan pengetahuan dalam dua periode, yaitu Kisah Lama Sains (The Old Story of Science) yang berparadigma materialistik, dan Kisah Baru Sains (The New Story of Science) yang berparadigma baru. Walaupun demikian Kisah Baru Sains ini belum selesai. Masih terbuka kemungkinan baru yang akan mewarnai problem kultural dalam percaturan pengetahuan abad ke-20 ini .
Tetapi Pranarka (1987) dan Harry Hamersma (1990) membagi tahapan sejarah epistemologi Barat itu dalam empat periode, yaitu Periode Zaman Abad Eropa Kuno, Periode Zaman Abad Pertengahan, Periode Zaman Abad Modern, dan Periode Zaman Abad ke-20 atau Abad Kontemporer. Ada dua pola pendekatan dalam membahas sejarah perkembangan epistemologi barat tersebut. Pola pertama lebih bersifat linear, dengan memperhatikan kesinambungan aspek–aspek kesejarahan yang terus berkembang. Pola kedua lebih bersifat problematis (tematis), dengan memfokuskan perhatian pada problem–problem yang sangat menonjol. Kedua pola pendekatan ini sangat penting dalam rangka menganalisis pergolakan kultural dalam pengembangan epistemologis Barat tersebut. 


Bagian C. Zaman sebelum abad modern
a. Periode Zaman Abad Yunani Kuno
Periode ini dimulai dari Zaman Pra-Socrates sampai Zaman Aristoteles. Zaman ini menunjukkan adanya Zaman Keemasan tradisi pemikiran Yunani yang sangat Kosmologis.
1) Zaman Pra-Socrates
Pada Zaman ini ada lima aliran, yaitu aliran Ionia (Asia Minor), aliran Pythagorian (Pythagoras), aliran Elea ( Monois ), aliran Phisiologis ( Naturalis ) dan Para sophis (Skeptisme). Tokoh-tokoh Ionia adalah Thales, Anaximander, Anaximenes, serta Herakleitos. Thales menggugat bobot kebenaran dari mitologi sebagai awal perkembangan pemikiran zaman itu. Salah satu catatan penting mengenai percaturan sejarah pemikiran abad ini adalah Herakleitos. Ia begitu gigih menekankan tentang penggunaan indra (sense) dalam rangka menentukan bobot kebenaran pengetahuan. Herakleitos inilah yang kemudian hari banyak berhubungan dengan relativisme, skeptisme, dan anarki. Adapun tokoh Phytagorian adalah Pythagoras. Dia adalah ahli filsafat dan ilmu ukur. Di lain pihak, tokoh–tokoh aliran Elea adalah Xenophanes, Parmenides, dan Zeno. Xenophanes menentang konsep tentang tuhan atau dewa yang antropomorfis. Ia mengatakan bahwa yang Ilahi tiada awalnya. Ia adalah kekal. Sedangkan tokoh aliran Phisiologis (naturalis) adalah Empedokles, Anaxagoras, dan Demokritas. Empedokles memberikan uraian yang sifatnya sensasional, Anaxagoras berbicara tentang Nous yaitu budi sebagai ruang (space), dan Demokritas terkenal dengan ajarannya mengenai atomos.

2) Zaman Socrates – Plato - Aristoteles
Pada Zaman ini tokohnya adalah Socrates dan Plato Aristoteles. Socrates telah berusaha meletakkan landasan tanggungjawab kultural dalam rangka pengembangan pengetahuan yang diabaikan oleh kaum Sophis. Plato dapat dikatakan sebagai pencetus epistemologi karena Plato-lah yang mencoba mengolah masalah–masalah dasar mengenai pengetahuan walaupun telah dimulai sejak zaman para Sophis.

3) Zaman sesudah Aristoteles
Zaman ini lazim disebut sebagai periode keruntuhan. Peranan filsafat Yunani dengan sifatnya yang spekulatif digantikan oleh Romawi yang lebih bersifat pragmatik. Peristiwa penting pada zaman ini yaitu masuknya pengaruh Yudaisme dan agama Kristen ke Eropa.
b) Periode Zaman Abad Pertengahan Eropa
Zaman ini dapat diamati dalam empat tahap. Pertama, zaman Patristik (abad I –IV M), kedua, Zaman Skolastik (Abad IV –XII M), ketiga, Zaman Aquinas (Abad XIII), keempat, Zaman sesudah Aquinas (sampai Abad XVI). Berkembangnya agama Kristen di Eropa mempunyai dampak terhadap pertumbuhan Epistemologi, yaitu menguatnya Semitisme di atas Helenisme. Inilah yang memicu timbulnya Abad Modern.


1) Zaman Patristik
Zaman ini merupakan pergumulan kultural antara Helenisme dan Semitisme yang disebabkan oleh ajaran gereja, yang menumbuhkan sebuah jenis pengetahuan yang disebut teologi.
2) Zaman Skolastik
Pada Zaman ini tokoh Agustinus merasa ditantang untuk dapat menjelaskan posisi gereja kepada masyarakat dan kebudayaan Yunani-Romawi. Dia memandang kebeneran sebagai hal yang pokok dalam pandangan epistemologisnya. Dia menantang skeptisme, dan berusaha mengemukakan adanya kepastian dasar. Pemicunya adalah problem politik kemasyarakatan yang mendasar, yaitu hubungan gereja dan negara.
3) Zaman Kejayaan Skolastik (zaman Aquinas)
Pada zaman ini Thomas Aquinas berusaha membangun perpaduan yang bernafaskan realisme antara nalar dan iman, kodrat dan ado kodrat, filsafat dan teologi. Dia lebih mengikuti ajaran Aristoteles.



Bagian D. Zaman Abad Moderen Eropa (Abad XIV—Sekarang)
a. Zaman Abad Moderen Awal (Abad XIV—XVII)
Walaupun masih dipengaruhi oleh suasana zaman abad Pertengahan, situasi zaman abad moderen awal ini sudah mulai mengalami perubahan-perubahan baru. Di bidang Epistemologi terjadi perkembangan baru di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Pergolakan kultural dalam perkembangan Epistemologi zaman ini ditandai dengan adanya pengaruh Renaissance. Zaman Renaissance adalah zaman yang manusia merindukan pemikiran yang bebas seperti pada zaman Yunani kuno. Dalam zaman Renaissance ini manusia sebagai animal rationale karena pemikiran manusia mulai bebas berkembang secara kritis. Manusia ingin mencapai kemajuan atas usahanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi.
Pada zaman Renaissance ini penemuan-penemuan ilmu pengetahuan moderen sudah mulai dirintis. Rasionalisme dan Empirisme merupakan dua aliran yang dominan dalam zaman moderen awal ini. Ilmu pengetahuan yang paling berkembang pesat adalah astronomi dan ilmu alam.
Tokoh-tokoh yang sangat terkenal pada zaman ini antara lain Copernicus dan Rene Descartes. Copernicus mengajukan teori Heliosentrisme (bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari sehingga matahari menjadi pusat) yang sangat kontroversial terhadap pendapat umum saat itu bahwa bumi adalah pusat alam semesta (Geosentrisme). Sementara itu Descartes merupakan tokoh yang pertama-tama meletakkan dasar kebenaran dan kepastian pengetahuan pada kekuatan ratio.
b. Zaman Moderen Tengah (Abad XVII)
Pergolokan kultural dalam sejarah Epistemologi zaman ini diwarnai dengan lahirnya gerakan Pencerahan (enlightenment) pada sekitar abad XVIII. Pencerahan sebagai sebuah gerakan kultural pada zaman ini telah memicu bangkitnya kepercayaan yang makin besar dari mannusia mengenai kemammpuan pikirannya. Melalui gerakan ini, Rasionalisme dan Empirisme berkembang sangat pesat. Manusia menjadi sadar bahwa dengan pikirannya ia akan mampu membangun dunia.
Zaman Pencerahan ini menunjukkan bahwa orang sudah menjadi makin kritis terhadap agama, khususnya terhadap institusi agama. Khusus dalam bidang Epistemologi, sikap dan pandangan gerakan Pencerahan mengenai ilmu pengetahuan lebih diwarnai oleh suasana Skeptivisme dan terutama Relativisme. Kemerdekaan berpikir membawa akibat terjadinya proses relativisasi di dalam sikap manusia terhadap ilmu pengetahuan ataupun terhadap kebenaran dan kepastian.
Zaman ini ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar seperti Immanuel Kant dan George Wilhem Fridrich Hegel. Tema pokok yang sangat menonjol dalam pemikiran Kant adalah ratio murni. Menurut Kant, pengetahuan manusia tidak ditentukan oleh objek, tetapi ditentukan oleh subjek yang menghasilkan pengetahuan itu. Sementara itu, pandangan Epistemologi Hegel adalah bahwa pengetahuan bagian dari evolusi Sang Mahasemesta. Perkembangan pengetahuan adalah evolusi kesadaran yang terjadi di dalam sejarah.
c. Zaman Moderen Akhir (Abad XIX-Sekarang)
Aliran-aliran pemikiran yang mencirikan susana pergolakan kultural zaman moderen akhir antara lain adalah Positivisme, Evolusionisme, Psikologisme, Sosiologisme, Determinisme, Marxisme, dan Metodologisme.

1) Positivisme
Istilah Positivisme pertama-tama digunakan oleh Saint Simon dan kemudian disebarkan oleh Auguste Comte. Aliran pemikiran ini menolak segala pemikiran kefilsafatan dan teologi, tetapi hanya mau menerima ilmu, terutama ilmu alam, sebagai satu-satunya wujud kepastian. Karena kultur Positivisme menjunjung tinggi ilmu-ilmu alam yang eksperimental sebagai satu-satunya pengetahuan, maka teologi, filsafat, dan tradisi tidak diakui bobot keilmuannya. Dengan demikian, sesungguhnya Positivisme dapat dipandang sebagai ekstrem lain terhadap aliran idealisme. Jika idealisme dipandang sebagai kelanjutan dari Rasionalisme, Positivisme dapat dipandang sebagai kelanjutan dari Empirisme.
2) Evolusionisme
Positivisme memicu munculnnya aliran Evolusionisme. Evolusionisme mengajarkan bahwa kehidupan kultural, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun mengenai manusia dan masyarakatnya, bersifat evolutif. Tokoh-tokohnya yang sangat terkenal adalah Darwin, Spencer, dan Huxley.
Para pemikir Evolusionisme berusaha untuk dapat menemukan hukum-hukum perkembangan alam dengan pasti. Evolusionisme yang semulanya hanya mencakup gejala-gejala alam, dalam perjalanannya mulai menjamah kepada masalah-masalah kemanusiaan, masyarakat, dan kebudayaan. Dengan demikian dewasa ini dikenal adannya dua aliran Evolusionisme, yaitu Evolusionisme natural (fokus pada gejala-gejala alam) dan Evolusionisme sosial (fokus pada gejala-gejala kemasyarakatan).

3) Psikologisme
Positivisme selain memicu munculnnya Evolusionisme, juga memacu pertumbuhan psikologi sebagai ilmu moderen. Awalnya psikologi sangat terkait erat dengan filsafat dan teologi, tetapi kemudian menjadi ilmu yang mandiri. Konsep-konsep pemikiran Psikologisme yang terkait erat dengan filsafat dan teologi adalah mengenai dosa, hawa nafsu, dan pengaruh badan terhadap jiwa.
Perkembangannya di kemudian hari psikologi pun menjadi beraneka ragam, misalnya munculnya psikologi behaviorisme, psikologi gestalt, psikologi pembangunan, psikologi agama, psikologi sosial, dan bahkan psikologi perusahaan. Akan tetapi, inti aliran Psikologisme terletak pada keyakinan bahwa psikologi adalah satu-satunya ilmu yang dapat memberikan hukum-hukum secara pasti mengenai manusia, masyarakat, dan kebudayaan.

4) Sosiologisme
Selain Evolusionisme dan Psikologisme, Positivisme juga banyak andil munculnya ilmu pengetahuan bidang sosiologi di bawah pengaruh Comte sebagai Bapak sosiologi moderen. Sosiologi menjadi bidang baru dengan menerapkan secara murni ilmu positif eksperimental. Inti pandangan Sosiologisme adalah keyakinan yang begitu kuat bahwa sosiologi merupakan sumber segala kepastian dan kebenaran.
5) Determinisme
Positivisme terus berkembang dan membentuk Determinisme secara sektoral. Akibatnya, muncul Determinisme yang bersifat psikologis, ekonomis, teologis, sosiologis, dan sebagainya. Akhirnya Epistemologi berkembang secara sempit, terkotak-kotak, dan tertutup. Kondisi tersebut akhirnya menjebak manusia dalam kehidupan yang sempit dan berdimensi tunggal. Kehidupan kultural pun terjerumus ke dalam relativisme dogmatis.
6) Marxisme
Determinisme ekonomi sebagai hasil Positivisme dan gerakan Pencerahan telah membawa pengaruh yang sangat luas dalam Epistemologi. Karl Marx berambisi dalam hal mengubah kehidupan masyarakat berdasarkan hukum-hukum Positivisme. Ia ingin membangun ilmu sosial baru untuk dapat mengubah masyarakat dunia. Sasaran utamanya adalah terbentuknya masyarakat sosial komunis. Inti pandangan Marxisme adalah ilmu pengetahuan tidak terutama untuk mengetahui tetapi untuk mengubah masyarakat.
7) Metodologisme
Pengaruh Positivisme terhadap perkembangan kultur moderen terus menimbulkan problem-problem baru. Salah satu problem yang sangat menonjol dalam bidang Epistemologi adalah problem tentang metode. Terkait dengan problem metode ini adalah problem tentang posisi suatu disiplin untuk dapat diakui keberadaannya sebagai ilmu yang sesungguhnya.
Yang dianggap sebagai ilmu adalah ilmu-ilmu alam saja karena sifatnya yang eksak. Ilmu-ilmu tentang manusia dan masyarakat tidak dapat memiliki kepastian ilmiah. Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat diterima keberadaannya sebagai ilmu karena tidak sepenuhnya dapat menerapkan eksperimentasi ataupun interpretasi yang berdasarkan atas fakta-fakta yang terukur secara eksak. Permasalahan muncul pula di sekitar metode kuantitatif dan kualitatif, metode eksak dan metode noneksak. Metodologisme telah menjadi bagian yang amat penting artinya dalam sejarah perkembangan Epistemologi sampai kini.


Bagian E. Zaman Abad Pascamodern atau Zaman Abad Kontemporer (Abad XX)
Zaman Kotemporer ini dapat digambarkan sebagai zaman yang diwarnai oleh dua suasana kultural yang sangat pokok. Pertama, suasana yang dibawa oleh periode sebelumnya yaitu kelanjutan dari Pencerahan dan positivisme. Kedua, suasana baru yang ditimbulkan oleh gerakan pemikiran Pencerahan dan Positivisme. Problem kultural yang dicanangkan Positivisme lebih bersifat kemanusiaan, mengikuti hukum perkembangan alam dan ilmu pengetahuan (humanis, naturalis, intelektualis). Namun demikian gerakan-gerakan pemikiran baru yang muncul di abad kedua puluh lebih bersifat kemanusiaan, mengikuti perkembangan alam dan antiintelektual. Pandangan diatas, yang menuntun pada arah pengkajian atau pembahasan terhadap pergolakan kultural zaman ini, akan dipetakan dalam dua periode. Pertama, periode sebelum sampai berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945. Kedua, periode sesudah tahun 1945 sampai sekarang.
a. Periode Sebelum Perang Dunia II Sampai Berakhirnya Perang Dunia II
Situasi pemikiran yang menandai pergolakan kultural periode ini merupakan kelanjutan dari perkembangan suasana kultural dan perkembangan alam pemikiran sebelumnya. Gerakan Positivisme bahkan terasa kuat pengaruhnya dalam periode ini. Evolusi ilmu menjadi sangat cepat dan makin bercabang-cabang. Timbulnya spesialisasi semakin memperbesar pengaruh ideologi dan teknologi keilmuan. Pertumbuhan pengetahuan semakin pesat dan sebagai konsekuensinya adalah tumbuhnya konflik-konflik yang saling memperebutkan hegemoni kebenaran kepastian. Suasana pemikiran yang semakin menguatkan pengaruh Positivisme ini akhirnya memaksakan adanya penerapan-penerapan ilmu tertentu terhadap kebudayaan. Psikologisme antara lain mengajarkan bahwa membentuk kebudayaan dan peradaban dipastikan oleh adanya pengaruh ras atau warna kulit suatu bangsa. Demikian pula halnya Determinisme ekonomi menerangkan bahwa kebudayaan ditentukan oleh ekonomi sebagai faktor satu-satunya.
b. Periode Sesudah Perang Dunia II
Suasana perkembangan epistemologi zaman ini pada dasarnya diwarnai oleh kesadaran manusia mengenai adanya tanggung jawab kultural dalam rangka perkembangan epistemologi. Manusia semakin menyadari akan betapa besarnya tanggung jawabnya terhadap dirinya sendiri. Pergolakan pemikiran zaman bahkan menunjukan betapa manusia semakin sadar akan posisi dirinya sebagai pusat dari seluruh perkembangan sejarah. Manusia adalah pusat perkembangan sejarah dengan segala optimisme maupun pesimismenya. Jelasnya, Pranaka menggambarkan situasi kultural periode ini sebagai periode kesadaran untuk menemukan kembali makna manusia. Isu humanisasi dan dehumanisasi menjadi tumbuh ke depan. Suasana seperti ini tampaknya menyebabkan timbulnya aliran yang menyalahkan perkembangan pemikiran sebelumnya. Aliran ini lazimnya disebut aliran antiintelektualisme. Menurut mereka, pemikiran-pemikiran sebelumnya amat diwarnai oleh intelektualisme. Pemikiran-pemikiran itu secara tidak berbudaya telah memeras manusia demi intelektualisme.
Pemikiran-pemikiran yang muncul sebagai kesadaran akan tanggung jawab kultural dalam pengembangan epistemologi pada Zaman Kontemporer ini, lebih diwarnai oleh asumsi-asumsi psikologi untuk mengungkapkan situasi kemanusiaan manusia. Aliran-aliran pemikiran itu adalah, Fenomenologi, Eksistensialisme, Personalisme, Antropologi Kefilsafatan, Analisis Bahasa, Neo-positivisme, Pragmatisme, Neo-marxisme, serta Filsafat Ilmu.
1) Fenomenologi
Fenomenologi sebagai suatu aliran pemikiran yang khusus dirintis oleh guru Kant dan Hegel yaitu Edmund Husserl (Franz Bretano) sebelum Perang Dunia II. Fenomenologi secara Etimologis hendak membangun suatu refleksi intelektual yang terarah kepada pengetahuan di dalam konteks pengalaman manusia. Melalui pengalaman kontekstual ini maka dapat disusun pengetahuan secara terus menerus berdasarkan fakta yang teramati. Sisi lain dari arti pemikiran fenomenologis ini adalah bahwa pengetahuan dapat ditempatkan di dalam pengetahuan manusia secara dinamis dan menyeluruh. Kondisi itulah yang memungkinkan manusia dapat menemukan pengertian dan makna. Fenomenologi dengan ini mulai mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
2) Eksistensialisme
Eksistensialisme lebih merupakan sebuah gerakan pemikiran daripada sebuah sistem pemikiran. Tokohnya yang terkenal adalah Soren Kierkegaard (1813-1855). Eksistensialisme dapat lebih mudah dipahami sebagai aliran pikiran yang tumbuh sebagai reaksi terhadap aliran-aliran sebelumnya. Eksistensialisme di sisi lain juga dapat dipahami sebagai reaksi kritis terhadap agama dan lembaga-lembaga politik yang sudah tumbuh sebagai sebuah sistem. Agama telah begitu terperangkap dalam sistem insitusi dan birokrasi yang sangat deterministik. Akibatnya, agama tidak sesuai lagi dengan pengalaman dasar dan cita-cita manusia. Eksistensialisme seolah-olah menganggap bahwa sistem pemikiran atau pengetahuan yang demikian tidak mendukung kebahagiaan manusia, bahkan membelenggu manusia. Oleh karena itu, Eksistensialisme lebih merupakan suatu aliran yang antiintelektualisme, antideterminisme, dan antisistem.
Karena sifatnya yang antisistem dan antideteminisme, maka aliran ini menghadapi masalah-masalah mendasar mengenai hidup manusia yaitu: kemerdekaan individu, kebersamaan, antara makna hidup yang dapat bermakna dan hidup yang serba absurd, antara hidup sebagai kemungkina-kemungkinan dan hidup sebagai keharusan untuk mengambil pilihan.
Secara umum, aliran Eksistensialisme terbagi menjadi dua aliran, yang satu menjadi Teis dan yang lain Ateis. Aliran yang satu bersifat religius dalam arti baru, seperti agama nonkonvensional. Suatu bentuk keberagamaan yang menekankan pada moral yang tidak legalistik, melainkan moral yang inspiratif dan eksistensial. Menurut aliran Teis, agama sejati mesti terjadi di dalam dialog dan kebersamaan. Aliran lain seperti Ateisme, lebih bersifat antiagama, antinilai, antimoral, serta antisistem secara total.
3) Personalisme
Personalisme adalah aliran pemikiran yang menekankan tentang makna manusia. Masalah yang ingin dicapai dalam gerakan ini adalah mencari jawaban terhadap problem-problem mendasar antara subjektivisme, di satu pihak, dengan kecenderungan kepada sistematisasi dan kolektivisme di lain pihak. Intinya adalah pengertian mengenai manusi sebagai persona atau sebagai pribadi (menentang aliran konseptualisme). Manusia persona adalah insan yang membawa dalam dirinya kedwitunggalan. Kedwitunggalan antara materi dan rohani, ke-apa-an dan ke-siapa-an, dinamika dan keterbatasan, kemandirian dan kebersamaa. Tokohnya adalah William Stern, Deni, dan Rougments.
4) Gerakan Filsafat Hidup dan Filsafat Perbuatan
Filsafat hidup dan Filsafat Perbuatan yang sifatnya anti-intelektualisme. Aliran filsafat hidup lebih menjuruskan pemikirannya pada aspek makna hidup dan kehidupan manusia. Aliran-aliran ini menekankan pula tentang makna kehendak yang terjelma dalam perbuatan. Aliran filsafat perbuatan menekankan bahwa perbuatan adalah daya penggerak kultural, dan bukan pada akal budi atau intelektual saja. Tokoh utama gerakan ini adalah Henri Bergson (1859-1914). Bergson berusaha menemukan suatu pangkal acuan guna memahami secara menyeluruh proses yang semakin berkembang (evolutif). Dia menegaskan bahwa arah evolusi mengambil tiga jurusan: pertama, adalah pertumbuhan (evolusi) kehidupan. Perkembangan ini diwujudkan pada taraf tumbuh-tumbuhan dan binatang, kedua, adalah pertumbuhan kehidupan instingtif. Perkembangan ini diwujudkan pada taraf pertumbuhan yang menggunakan alat-alat yang terorganisir yang merupakan bagian dari organisme, ketiga, pertumbuhan kehidupan inteligen atau pertumbuhan akal budi. Evolusi tahap ketiga ini terwujud dalam kemungkinan untuk mengadakan dan menggunakan alat-alat yang tidak terorganisir yaitu alat-alat buatan yang tidak termasuk organisme itu sendiri.
5) Antropologi Kefilsafatan
Pada masa ini ditandai dengan pemikiran Buber (1878-1965) yaitu ditandai oleh relasi “aku-engkau” semakin menciut sehingga aku itu semakin mendominasi kehidupan manusia. Misalnya dalam pendidikan psikoterapi dan filsafat sosial diperkuat oleh Bertens 1985. Landasan pokok yang dibangun mengenai kultur kemanusiaan yang bersifat kesatuan dan kemajemukan. Manusia adalah kesatuan dan kemajemukan antara vertikal, horizontal, personalitas, sosialitas, interioritas, eksterioritas serta autentisitas.

6) Analisis Bahasa
Pada awalnya sangat berbeda dengan fenomenologi, eksistensialisme. Aliran ini merupakan lanjutan dari positivisme.
Analisis bahasa lebih merupakan positivisme logis. Pelopornya Ayer dan Ludwig Wittgenstein dari kelompok Wina (Roger Scruton, 1986:328) yang berpendapat bahwa renungan apriori tentang adanya sifa akal manusia dalam bahasa. Menurutnya sifat akal ini memberikan sikap sosial dalam struktur bahasa. Apa yang diberikan dalam bahasa bukanlah data indrawi seperti positivisme tetapi berbagai bentuk kehidupan seperti aliran antropologi. Bahasa merupakan pengungkap sifat dasar manusia. Analisis bahasa akhirnya berpadu dengan filsafat kemanusiaan.
7) Pragamatisme
Perhatian pragamatisme sangat menonjol dalam mengembangkan tema tanggung jawab kultural dalam rangka pengembangan epistemologi. Aliran ini pada hakekatnya tidak mau melibatkan diri dalam konflik dan kontroversi epistemologi yang berkepanjangan. Pragmatisme ingin tetap berpegang pada hidup dan kehidupan manusia sebagai mana adanya. Inti perhatian pragmatisme yang sangat besar adalah kemajuan karena itu memandang beberapa bidang ilmu pengetahuan sebagai bagian-bagian utamaa dari kebudayaan. Pragamatisme menunjukan bahwa pikiran atau pengetahuan yang merupakan kemampuan khas manusia, dapat berkembang sebagai alat untuk mengadakan eksperimen. Eksperimen tersebut dimaksud untuk menguasai dan membentuk alam sekitar agar terpenuhi kebutuhan hidup manusia.
8) Filsafat Ilmu
Salah satu bidang epistemologi yang berdampak besar pada zaman ini adalah problem kultural di abad kontemporer, yakni peranan ilmu. Andy Hakim Nasution (1992:27) dengan merujuk pandangan Mohr (1977), mendefinisikan ilmu sebagai suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas-asas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Ilmu dalam hal ini dilihat sebagai suatu proses dengan hukum-hukumnya yang ketat dan bersifat mekanis.

9) Pengaruh Epistemologi Moderen terhadap Ideologi
Perkembangan ini in sejak 1945-1960, pengaruhnya secara khusus dalam bidang politik, sosial ekonomi, militer, teknologi dan industri. Pengaruh tersebut bermuara pada ketegangan dan konflik yang bercorak ideologis.
10) Kecenderungan Kultural Pada Perkembangan Epistemologi Tahun 1960-1990
Periode in banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran kemasyarakatan yang sifatnya mau mengubah. Ada pandangan yang mau mengubah masyarakat dengan coraknya yang radikal dan tidak jarang bersifat anarkis. Kondisi ini semakin menumbuhkan kecenderungan dimana orang berusaha untuk menemukan pemikiran-pemikiran lama yang lebih dapat dipegang sebagai acuan untuk mengubah masyarakat. Pengaruh Marx dan Freud semakin besar dalam konteks ini maka muncullah dua kekuatan pemikiran yang saling berbeda yaitu New Left yang dikaitkan dengan tokoh Herbert Marcuse (1898-1979) dan Neo-Marxisme yang dimotoro oleh Jurgen Habermas. Gerakan Neo-Marxisme lebih merupakan kritik baik terhadap komunisme maupun terhadap kapitalisme dan berbagai bentuk sosialisme yang sudah terorganisasi. Kondisi ini cenderung mengarah pada pendekatan hubungan interdisipliner.


Bagian F. Sejarah Epistemologi “Timur”
Menurut To Thi Anh tradisi Barat dan Timur merupakan dua aliran yang berbeda. Tradisi Barat menunjukkan dinamisme ke luar: ia lebih bersifat menyerang dan merombak. Nilai-nilai yang ditonjolkannya adalah otonomi manusia, akal budi, kebebasan, aksi, institusi, ilmu pengetahuan, teknik dan kesejahteraan. Ciri sejarah perkembangan epistemologi Barat lebih bersifat kapitalis, teknologis, persaingan, imperialis, serta konflik-konflik yang bersifat ideologis. Tradisi epistemologi Timur sebaliknya bersifat ke dalam (internal). Ia lebih menerima dan menahan. Nilai-nilai yang muncul adalah kebaikan hati, turut merasakan, moderat, sabar, pasrah, damai batin, serta pragmatis. Atau dengan kata lain perkembangan tradisi epistemologi di dunia Timur lebih menekankan pada sifat “kultus harmonis manusia”.
Tampak bahwa ada tiga jenis pengetahuan yang dikembangkan secara harmonis dalam system tradisi pengetahuan di Timur dalam mendekati realitas. Pertama, pengetahuan yang bersifat intuisi atau perasaan langsung. Pusat kepribadian seseorang bukanlah inteleknya tetapi hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensi dan perasaan. Kedua, pengetahuan diungkapkan lewat simbol-simbol konkret untuk mengungkapkan ide universal dan masalah-masalah abstrak. Ketiga, pengetahuan menekankan aspek kebijaksanaan. Menurut mereka pengetahuan intelektual saja tidak akan mampu membuat seseorang menghayati hidupnya dengan baik. Hidup merupakan suatu seni yang sulit, ia membutuhkan latihan dan refleksi sepanjang hidup. Pola epistemologi ini berbeda dengan di Barat yang sifatnya rasional.
Terdapat tiga aliran pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan Timur yakni Konfusianisme, Taosisme, dan Buddhisme yang mengilhami system pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial , serta membentuk kultur hidup orang Timur.
1. Konfusianisme (600-200 SM)
Konsep-konsep utama pemikiran dalam konfusianisme antara lain: Yao (jalan), te (keutamaan atau seni hidup), Yen (peri kemanusiaan), Yi (keadilan), tien (surga) dan Yin-Yang (harmoni, prinsip hidup, yaitu prinsip aktif laki-laki dan prinsip pasif perempuan). Analisis yang mendalam terhadap pemikiran Konfusianisme menunjukan bahwa tradisi pemikiran ini telah menampilkan dirinya sebagai suatu humanisme, tujuannya kesejahteraan manusia dalam hubungan harmonis dengan masyarakatnya, pusatnya adalah manusia dan alamnya.
2. Taoisme (600 – 200 SM)
Taoisme diajarkan oleh Lao-Tse atau guru tua (550 SM). Lao Tse melawan konfusianisme dengan mengajarkan Lao-Tse bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”. Ia adalah substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai (Hammersma 1990:32). Menurut Huston Smith (1991:23) Lao-Tse menunjukan pada jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya agar selaras dengan cara kerja alam semesta ini. Pritjof Capra (1997:25-27) menjelaskan bahwa dalam pandangan Cina semua manifestasi Tao dihasilkan oleh interaksi dinamis dari Yin (aktifitas yang responsive, konsolidatif, dan kooperatif) dan Yang (aktifitas agresif, ekspansif, dan kompetitif). Aksi Yin adalah sadar akan lingkungan (eco-action), sedangkan aksi Yang adalah sadar akan dirinya sendiri (ego-action) selanjutnya menurutnya kedua jenis aktfitas ini sangat berkaitan dengan dua jenis aliran epistemologi yaitu aliran intuisionalisme dan rasionalisme yang dilihat sebagai modus dari fungsi akal manusia yang saling melengkapi. Pemikiran rasional bersifat linier, terfokus, dan analitis. Pemikiran menjadi bagian dari alam intelek yang fungsinya adalah untuk membedakan, mengukur, dan mengelompokkan. Sebaliknya intuitif cenderung bersifat padu, holistik, dan nonlinier.
Dari uraian mengenai Konfusianisme dan Taoisme, Harry Hammersman menunjukkan bahwa terdapat tiga tema yang sepanjang sejarah dipentingkan dalam filsafat Cina.
1) Harmoni antara manusia dan sesama, antara manusia dengan alam, antara manusia dan dunia akhirat (surga)
2) Toleransi yang tampak dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi. Sikap toleransi atau sikap perdamaian inilah memungkinkan suatu kebenaran pengetahuan yang sifatnya utuh, dinamis, dan majemuk.
3) Perikamanusiaan, karena selalu manusialah yang merupakan filsafat Cina. Manusia pada hakikatnya adalah baik dan harus mencari kebahagiannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesamanya.
3. Buddhisme di India (200 SM-300 SM)
Tradisi pemikiran di India yang diwarnai oleh beberapa aliran pemikiran yang lebih bercorak metafisika mengawali munculnya Buddhisme. Periode tersebut disebut zaman Weda yang terdiri dari tiga bagian: zaman weda kuno yang berisi mantra-mantra, zaman Brahmana yang lebih mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berisi peraturan dan kewajiban-kewajiban, Upanishad yang membicarakan soal-soal filsafat tetapi dasar pemikirannya adalah kedisiplinan (latihan etis) untuk memantulkan pengetahuan yang dipelajari supaya dapat mengalami kesatuan dengan Brahmana (kebenaran yang terakhir atau Moksa).
Pada periode antara Zaman Weda dan Zaman Buddhisme, terdapat Zaman yang disebut Jainisme yang memandang bahwa pengetahuan itu tidak bersifat final tetapi selalu berproses. Menurutnya ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan langsung (pratyaksa) dan pengetahuan tidak langsung (paraksa).
Inti pemikiran Sang Buddha mengenai hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, jangkauan pengetahuan, kepastian dan kebenaran pengetahuan, bahkan termasuk kesalahan dan kekeliruan dalam pengetahuan, dapat dilihat dalam garis besar pemikirannya sebagai berikut:
1. Psikokinesis (iddhividha), yang bukan merupakan pengetahuan biasa, melainkan kekuatan yang berwujud dalam tekad.
2. Telinga batin (dibbasota), indra untuk menangkap bunyi-bunyian dari jarak jauh, bahkan lebih jauh dan lebih mendalam dari jangkauan indra pendengaran. Kondisi ini memungkinkan seseorang menangkap secara langsung fenomena korelasi tertentu yang biasanya hanya dapat disimpulkan.
3. Telepati (cetopariyanana), yang membuat seseorang mampu memahami keadaan umum maupun kerja pikiran orang lain.
4. Retrokognisi (pubbenivasanussatinana), kemampuan untuk menangkap sejarah kehidupan masa lalu dirinya. Pengetahuan ini bergantung pada memori (sati) yang diperoleh melalui konsentrasi intensif (Samadhi)
5. Matabatin (dibbacakkhu atau cut upapatanana) yaitu pengetahuan tentang kematian dan kelanjutan makhluk hidup yang berkelana dalam lingkaran kehidupan mengikuti kelakuannya (karma). Kemampuan pengetahuan ini bersama retrokongnisi, membuat seseorang mampu memeriksa fenomena kelahiran kembali
6. Pengetahuan tentang penghancuran rangsangan-rangsangan kotor (asavakkhayanan). Daya pengetahuan ini bersama keempat daya pengetahuan yang terakhir diatas, melengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang empat kebenaran yang mulia (Kaluphana 1986:16).
Secara singkat dari uraian diatas, konfusianisme mengajarkan mencari jalan tengah antara manusia dan masyarakat. Taoisme mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam semesta. Buddhisme mengajarkan jalan tengah antara manusia dengan Yang Mutlak. Melalui epistemologi ini orang Timur dididik dan dilatih menjadi bijaksana, mengetahui proporsi yang tepat dalam merasa, berpikir, bertindak, serta menguasai kesadarannya. Tetapi epistemologi mempunyai sisi lemah yaitu kecenderungan mempertahankan nilai warisan budayanya dengan menutup pintu terhadap kerja akal dan teknologi yang justru menekan dan memperlemah dinamika cultural itu sendiri, yang mana secara epistemologi kebenaran selalu bersifat terbuka dan relasional.
4. Epistemologi Dalam Islam
Sari Nusibeh dalam History of Islamic Philosog memetakan aliran-aliran epistemology dalam Islam kedalam empat varian:
Pertama, pendekatan konservatif. Model pendekatan terhadap epistemology ini mengasumsikan adanya dua domain kebenaran (1) kebenaran melalui teks-teks wahyu dan (2) kebenaran melalui nalar logika terhadap teks tersebut. Kedua, pendekatan dialektis ang diterapkan oleh mutawakalimun. Meski masih terpusat pada teks sebagai kerangka rujukan (frame of reference), nalar deduktif kalam mampu mengajukan persoalan-persoalan sekitar teks yang sudah merambah pada diskusi teologis dan filosofis (yang tidak dilakukan oleh pendekatan pertama). Dialektika kalam dalam mendekati isu-isu epistemologis mendasarkan diri atas – dalam istilah Nusibeh – Logika yang uni berupa (1) hubungan logis (interpretasi distingtif atas hubungan kausal) dan (2) dunia wacana yang unik (terminology-terminologi khusus yang secara umum tidak ditemukan pada disiplin lain. Ketiga, pendekatan filsafat atau falsafah. Pendekatan episemologi ini mendasarkan bangunan pengetahuannya (body of knowledge) atas sejumlah ide-ide filsafat sebagai kerangka rujukan. Oleh karena itu, ilmu merupakan obyek petualangan rasion sehingga aktivitasnya bersifat eksploratif. Keempat, pendekatan mistis. Pendekatan epistemology ini mendasarkan pada pengalaman intuitif yang individual, yang menghasilkan ilmu hudhuri (pengetahuan diri yang presensial) sebagaimana menjadi konsep as-Suhrawardi dan MullaSadra, bukan al Ilm al hushuli al-irtisami, yaitu pengalaman yang diupayakan melalui pengalaman tentang dunia eksternal yang representational melalui nalar diskursif. Asumsinya adalah bahwa pengalaman intutitf akan mampu menyerapkan secara holistic objek pengetahuan yang dengan pendekatan lain hanya bisa ditangkap secara fragmental.
5. Epistemologi dalam Kristen
Filsafat Kristen akan menghasilkan hakikat dan nilai komprehensif; maksudnya mampu menimbang atau menilai dalam berbagai hal menurut kebenaran Firman Alllah (Alkitab). Hakikat filsafat Kristen meliputi keseluruhan; sebab kekristenan adalah universal, mampu menyorot berbagai hal dengan tolak ukur alkitab, sebagai nilai kebenaran. Pembentukan hakikat atau nilai adalah suatu yang esensi, sebab dari sanalah tolak ukur dari kebahagian dan kesejahteraan.
Filsafat umum masih bertanya tentang apa di balik Tuhan. Mereka belum menemukan suatu rahasia yang terselubung tentang keberadaan Tuhan. Filsafat kristenlah yang membawa filsafat umum mengerti tentang kebenaran. Sebab kebenaran yang dimiliki oleh dunia atau pun filsafat, sifatnya adalah relative. Kebenaran duniawi bersifat rasional. Sedangkan kebenaran dari Allah melampaui rasio manusia. “Apa yang tidak kita pikirkan itulah yang Tuhan sediakan”. Ini adalah kebenaran. Tapi bukan kebenaran duniawi.


Bagian G. Pergolakan Pemikiran

1. Permasalahan yang muncul pada awal Filsafat Yunani ialah pertentangan antara pengetahuan rohani dan pengetahuan inderawi. Ternyata dunia yang diketahui melalui akal budi manusia tidak semuanya sejalan dengan sifat-sifat dunia yang diketahui oleh indra. “Ide” yang dibangun oleh akal budi manusia bersifat tetap, universal, dan satu. Ide itu umum dan satu, berlaku untuk segala zaman. Manusia berubah, namun “ide” manusia tidak berubah, bersifat umum, dan satu, Lain halnya dengan pengetahuan inderawi, bersifat individual, kongkret, banyak, dan terus menerus dalam perubahan. Pertentangan antara pengetahuan “ide” (pengetahuan rohani) dan pengetahuan inderawi menjadi persolan hangat dalam filsafat Yunani.
2. Dalam catatan sejarah filsafat Islam Hellenistis (awal Filsafat Arab/Islam yang sangat dipengaruhi oleh Filsafat Yunani [Hellas] dalam hal ini Plato dan Aristoteles), Filsafat Kristiani berkenalan dengan Filsafat Plato dan Aristoteles. Karya-karya Filsuf Yunani diterjemahkan ke bahasa Syria dan bahasa Arab. Akhirnya karangan-karangan berbahasa Arab itu disalurkan dalam bahasa Latin. Filsuf-filsuf Arab (seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rushd) berperan penting dalam memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Barat pada abad pertengahan. Ibnu Rushd lebih cenderung menganut pandangan Aristoteles. Sedangkan Ibnu Sina filsafatnya lebih bersifat Platonisme. Pusat bahasannya adalah hubungan kenyataan dan pengetahuan. Segala pengetahuan terarah kepada Allah sebagai Kebenaran Mutlak dan sumber segala pengetahuan yang benar.
3. Dalam kurun waktu filsafat Kristen (yakni salah satu periode sejarah filsafat Barat yang dimulai Bapa-bapa gereja dan mencapai puncaknya pada abad pertengahan), terjadi persoalan pemikiran antara agama (fides) dan filsafat (ratio). Aliran fideisme sangat menekankan bahwa hanya iman yang membawa manusia kepada kebenaran. Pandangan rasionalisme mengatakan sebaliknya, hanya hal-hal yang dipahami dengan akal budilah yang diterima sebagai kebenaran. Wahyu dihargai tetapi hanya diterima yang dapat dibenarkan secara rasional. Namun pada abad pertengahan, hubungan antara fides dan rasio mencapai keseimbangan terutama dalam filsafat Thomas Aquinas. Thomas membela otonomi rasio; dan akal budi itu dapat mempersiapkan hati manusia untuk beriman.
4. Filsafat modern yang dimulai dengan kehadiran Rene Descartes (1596 – 1650) ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positif. Metode matematika yang bersifat deduktif dan rasional menandai aliran rasionalisme. Para penganut filsafat ini bertolak dari suatu asas baku, lalu dengan metode deduktif mereka membangun suatu sistem filsafat yang logis. Sebagian filsuf zaman modern tertarik oleh anasir empiris, sehingga mereka digolongkan kepada empirisme. Menurut empirisme, tugas utama kaum filsuf ialah membersihkan filsafat dari semua hal yang tidak dapat dijabarkan kepada gejala-gejala. Empirisme ini mendapat kritik dari Kant (Kritisime Kant). Menurut Kant, dalam segala keputusan ilmiah seharusnya ada unsur empiris dan unsur rasio. Hegel menyempurnakannya dengan metode dialektika. Menurutnya kebenaran itu bersifat dialektis, yakni dari tesis ke antitesis, dan dari antitesis ke sintesis.
5. Pada awal abad kedua puluh, filsafat didominasi oleh aliran antimetafisis. Sains diklaim sebagai ilmu sejati karena terbuka untuk dibenarkan dengan observasi dan eksperimen. Pandangan antimetafisis sangat nyata dalam positivisme dan neopositivisme. Filsafat Materialisme Feurbach dan Marx juga antimetafisis dan tidak mengakui kenyataan bersifat dimensional. Akan tetapi pada perkembangan akhir, filsafat zaman sekarang condong untuk kembali ke filsafat realisme dan lebih terbuka pada metafisika. Hal ini mulai tampak pada fenomenologi, eksistensialisme, hermaneutik, dan Neo-Thomisme.
 
Bagian H. Penutup
Pengaruh epistomologi secara khusus sangat terasa di bidang politik, sosial ekonomi, militer, teknologi, industri dan lainnya. Perkembangan ilmu eksak dan ilmu sosial dan kemanusian semua bercorak ideologis. Ilmuwan semakin berani melakukan eksperimentasi keilmuwan dalam rangka memperkuat kekuasaan dan ideologi. Kegiatan keilmuan tidak jarang menimbulkan konflik bercorak ideologis, moralis maupun religius. Perkembangan ilmu pada akhirnya menjadi lebih pragmatis dalam arti bersandar pada kekuatan, kepentingan politik, ekonomi, teknologi, kekuasaan serta militer.
Arah perkembangan epistomologi di masa datang lebih terpusat pada tumbuhnya suatu ideologi baru, yaitu suatu ideologi yang diharapkan dapat menjunjung tinggi kultur masa depan manusia. Perhatikan pemikiran filsafat Cina, yang menekankan kultur harmonis manusia dengan diri, sesama, dan alam. Inti pemikiran filsafat Cina ini telah menekankan adanya “cinta universal” dan kemakmuran untuk semua manusia. Demikian pula halnya, dengan filsafat India yang menekankan adanya kesatuan fundamental antara manusia dengan mikrokosmos dan makrokosmos.
Secara epistomologis, pengetahuan adalah kemampuan khas manusia yang harus terus dikembangkan dalam jalur tanggung jawab kulturalnya. Pengetahuan harus ditempatkan sebagai strategi bagi perjuangan dalam rangka kemanusiaan. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan bagaimana mengembangkan epistomologi di masa datang, Pertama, bagaimana membuat manusia (ilmuwan) supaya dapat mengenal sifat-sifat dasar pengetahuan itu, Kedua, bagaimana mereka dapat memahami perkembangan pengetahuan itu, dan Ketiga, bagaimana mereka dapat menguasai (membudayakan) pengetahuan bagi hidup dan kehidupan manusia secara bersama. Semua ini tentunya memerlukan adanya landasan tanggung jawab kultural, sehingga perkembangan epistomologi akan semakin kuat berakar pada jalur kulturalnya.
Menurut pandangan Islam, ilmu dan teknologi hanya bisa terwujud dari akhlak yang mulia yang terjalin dalam segenap susunan masyarakat. Allah s w t berfirman (QS. Al-Imran 190-191) ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal yaitu orang-orang yang mengingat Allah ketika ia berdiri, duduk, berbaring, dan bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Tuhan , tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka jauhkanlah kami dari azab neraka.”
Dalam ayat di atas ada tiga aspek yang diungkapkan yakni, kemanusiaan, ketuhanan, dan keilmuan. Islam memandang bahwa kegiatan berpikir manusia yang berupa produk ilmu dan teknologi harus bersifat universal dan integral. Lingkup pikirannya tidak saja langit dan bumi, tetapi juga segenap peristiwa dan proses yang ada di dalamnya. Jadi, jelaslah bahwa Islam mengkaji ilmu itu bersifat radikal dari pengungkapan misteri alam. Dan, proses berpikir itu harus disertai dengan pengenalan pencipta-Nya.
Ilmu berkaitan erat dengan kebudayaan. Pengembangan kebudayaaan tentu juga terkait erat dengan pengembangan ilmu. Salah satu bagian atau subsiatem dari pengembangan kebudayaan adalah pengembangan ilmu. Perkembangan budaya manusia merupakan masalah budaya yang menimbulkan akibat positif dan negatif bagi umat manusia. Akibat positif dan negatif inilah yang turut menentukan kebahagiaan dan kehancuran umat manusia.
Adapun akibat positif perkembangan budaya manusia berupa kebaikan yang membahagiaakan manusia. Penemuan di bidang ilmu dan teknologi yang dapat meningkatkan taraf hidup manusia, merupakan contoh kebaikan sebagai hasil perkembangan budaya munusia. Sedangkan akibat negatif dari perkembangan budaya manusia adalah keburukan yang membuat manusia menderita atau sengsara.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan pesat di bidang ilmu dan teknologi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki. Hal ini yang manyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama. Agama memberi kompas dan tujuan. Agama memberi makna, semacam arti yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Agama dan ilmu saling melengkapi. Kalau ilmu bersifaf nisbi dan pragmatis, agama adalah mutlak dan abadi. Karena itu ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.