8/01/2010

Catatan Tentang Tasawuf

Secara kodrati manusia memang merasa bahwa di luar dirinya ada kekuasaan yang lebih agung (Yang Mahakuasa). Yang Mahakuasa ini dipercayainya sebagai pengatur kehiupan. Selanjutnya manusia menyakini bahwa apabila dirinya dekat dengan sang pengatur kehidupan itu akan amanlah hidupnya dan akan damailah hatinya. Ketenteraman hidup dan kedamaian hati adalah dambaan setiap manusia; maka dalam kehidupan manusia selalu dijumpai adanya semacam upaya untuk mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa itu.

Sekelompok umat manusia menyakini bahwa Yang Mahakuasa itu telah memberikan tuntunan hidup untuk mengadakan hubungan dengan Yang Mahakuasa itu (baca: Tuhan), dan juga tuntunan hidup untuk mengadakan hubungan dengan sesama manusia beserta lingkungannya. Seperangkat tuntunan ini kemudian lazim disebut agama. Agama pada dasarnya adalah satu sistem kredo atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia dan satu sistem ritus manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu serta sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud (Ansari 1983:9).

Agama berisi seperangkat aturan formal. Pemeluk agama tertentu menyakini bahwa apabila aturan-aturan formal dalam agama yang diyakininya itu ditaati akan didapatlah kebahagiaan hidup. Akan tetapi sekelompok manusia ada yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup bukan hanya melalui penempuhan aturan formal itu saja, bahkan ada yang sama sekali tidak melalui aturan formal itu.

Islam sebagai agama mempunyai seperangkat aturan yang harus ditempuh oleh pemeluknya (misalnya syahadat, salat, dan puasa). Seperangkat aturan formal dalam Islam itu disebut syariat; syariat ini mengadung hukum-hukum Tuhan. Penekanan syariat adalah bahwa manusia itu makhluk yang diberi beban untuk melaksanakan hukum, sedang Tuhan adalah “Hakim”. Dalam pada itu ternyata tidak semua pemeluk agama Islam memandang bahwa Tuhan sebagai “Hakim” semata, yang hanya membebani hukum kepada manusia. Sebagian pemeluk agama Islam menyakini bahwa Tuhan memberikan hukum itu karena Tuhan mencintai makhluk-Nya, maka baginya Tuhan adalah “Kekasih” yang dengan kasih-Nya Tuhan memberikan tutunan untuk kedamaian. Oleh karena Tuhan adalah “Kekasih” maka sebagian pemeluk agama Islam itu kemudian berupaya untuk dekat dengan “Kekasih”-nya itu tidak melalui penempuhan aturan formal saja, tetapi ditambah pula dengan amalan-amalan tertentu dengan maksud untuk dekat kepada Tuhan. Penempuhan jalan yang demikian itu dalam Islam lazim disebut tasawuf.

Dalam tasawuf, Tuhan dipandanya sebagai “Kekasih” sedang manusia adalah salik ‘orang yang berjalan menuju kepada kekasihnya’. Sikap dan tingkah laku manusia bukanlah sebagai hamba yang dibebani oleh hukum – seperti dalam penekanan syariat. Semua yang dipersembahkan kepada Tuhan itu adalah karena kecintaan sang asyik terhadap sang maksyuknya (Effendi 1985:2).

Gejala yang biasanya disebut tasawuf itu luas dan wujudnya begitu besar, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menggambarkannya secara utuh, karena kenyataan yang menjadi tujuan tasawuf adalah pengalaman rohani, yang bersifat subjektif. Maka definisi tasawuf yang ada hanyalah sekedar petunjuk, yang tentunya tidak menyeluruh. Tepat yang dimisalkan oleh Schimmel (1986:1) tentang gambaran tasawuf yang dicontohkan dengan kisah Rumi, ketika orang-orang buta menyentuh gajah, masing-masing menggambarkannya sesuai dengan bagian tubuh gajah yang disentuhnya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggambarkan gajah seutuhnya itu sebenarnya seperti apa.

Ciri umum taswuf telah banyak dikemukakan oleh para peneliti. Bertrand Russel misalnya, memberikan ciri umum tasawuf dengan empat hal, yaitu (1) keyakinan atas intuisi dan pemahaman batin sebagai metode pengetahuannya, (ii) keyakinan atas ketunggalan (wujud), (iii) pengingkaran atas realitas zaman, dan (iv) keyakinan atas kejahatan sebagai suatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja (Al-Taftazani 1985:3—4).

Al-Taftazani membantah pendapat Russel ini kecuali nomor satu, karena yang nomor satu itu memang ditemukan pada tasawuf dari semua aliran dan kurun masa. Al-Taftazani mengajukan lima ciri tasawuf, yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Kelima ciri itu adalah (i) peningkatan moral, taswuf memiliki nilai moral tertentu yang bertujuan untuk membersihkan jiwa; (ii) penemuan fana (sirna) dalam realitas mutlak, yang dimaksudkan ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik serta psikis akhirnya sufi samapai pada kondisi tertentu, ia tidak lagi merasakan adanya dirinya atau keakuannya: (iii) pengetahuan bersifat intuitif, ini yang membedakan tasawuf dengan filsafat; filsafat dalam memahami sesuatu mempergunakan metode-metode intelektual sedang tasawuf pemahamannya dengan intuisi (kasyaf); (iv) ketenteraman dan kebahagiaan, tasawuf diniatkan sebagai penunjuk dan pengendali hawa nafsu serta pembangkit keseimbangan psiki; dan (v) penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan, ialah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan oleh para sufi biasanya mengandung pengertian tidak secara hafiah.

Dari perincian ciri umum tasawuf itu, Al-Taftazani kemudian mendifinisikan taswuf sebagai berikut:

Tasawuf atau mistisime adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang untuk menyatakan penemuan fana dalam Realitas Yang Tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah, yang hakikat ralitasnya sulit diungkapan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif dan subjektif (Al-Taftazani 1985:6).

Banyak peneliti yang berpendapat bahwa tasawuf itu datang dari luar Islam. Sebagian berpendapat bahwa tasawuf timbul karena pengaruh ajaran Hindu. Ada yang menghubungkan pula tasawuf berasal dari kebiasaan rahib Kristen yang menjahui kesenangan material dan menjahui kehidupan duniawi. Selain itu ada yang menyebutkan bahwa tasawuf yang masuk dalam Islam berasal dari filsafat Pythagoras yang mengajarkan untuk memasuki kehidupan kontemplasi dengan cara meninggalkan kehidupan material. Ada yang mengatakan pula bahwa tasawuf berasal dari filsafat Plotinus dengan emanasinya – roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada Tuhan.

Pendapat-pendapat itu sesunguhnya timbul setelah pada abad ke-19 teks-teks tasawuf dan sumber sejarahnya dicetak dan beredar di Eropa, sehingga para sarjana mulai menyusun gagasan-gagasan sendiri tentang tasawuf. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Schimmel (1986:7), kebanyakan sumber itu jarang yang memuat keterangan yang dapat dipercaya.

Garis besar sejarah tasawuf dari abad awal hingga sekarang menunjukkan adanya dua aliran dalam tasawuf. Pertama, yang lazim disebut tasawuf Sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah yang juga berdasarkan kehidupan yang asktetis, kehidupan yang sederhana, dan mengutamakan pendidikan maupun pembinaan moral. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Al-Ghazali. Kedua, yang lazim disebut tasawuf filosofis, yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional dengan objek bahasannya terutama penyusunan teori “wujud” berlandaskan rasa (dzauq) yang secara jelas memang ditandai oleh corak filosofis. Para pengasas tasawuf aliran ini memunculkan konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah sampai pada tingkat penyatuan atau juga hulul. Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Ibn Arabi. Baik tasawuf Sunni maupun tasawuf Filosofis sebenarnya dapat dijelaskan akar Islamnya. Adanya kesamaan gejala antara tasawuf dengan mistisisme atau filsafat di luar Islam tidak selalu bahwa tasawuf ditimba dari sumber-sumber di luar Islam.

Asketis muslim, misalnya yang biasanya dihubungkan dengan rahib Kristen, sebenarnya mempunyai rujukan dalam Quran:

Katakalah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak dianiaya sedikit pun” (Q.S. 4:77)

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah ornag-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang berkata sesungguhnya kami ini orang nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka itu (orang-orang Nasarani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata merka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabihan Muhammad S.A.W.) (Q.S. 5: 82 –83)

Munculnya tasawuf filosofis membuat ajaran tasawuf bersingungan dengan filsafat dari luar Islam. Akan tetapi tasawufnya tetap tidak hilang, karena para tokohnya tetap berusaha menjaga keberadaan ajaran tasawuf (yang tidak mengandalkan pemahamannya secara rasional belaka). Para tokohnya justru gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka. Paham tentang penyatuan wujud atau hulul juga tetap berlandasan penafsiran ayat-ayat berikut:

Dan apabila hamba-hambak-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu (Q.S.2:186)

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (Q.S.2:115)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui aoa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Q.S. 50:16)

Dari uraian itu jelaslah bahwa tasawuf mempunyai rujukan yang kuat dalam sumber Islam, walaupun memang tidak diingkari bahwa tasawuf dalam sejarah perjalanannya telah banyak mendapat pengaruh dari luar Islam. Dapatlah dibenarkan perkataan Nicholson, bahwa bahwa gerakan tapabrata awal bisa dijelaskan dengan mudah berdasarkan akar Islamnya, dan bahwa oleh karenanya bentuk asli tasawuf “merupakan hasil asli Islam itu sendiri”. Karena Islam tumbuh di daerah yang mendapat pengaruh pemikiran ketimuran kuno, neoplatonisme, dan Kristen, tentunya sejumlah pengaruh tambahan mungkin telah memasuki Islam, bahkan, pada tahapannya yang paling awal (Schimmel 1986:8).

Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Nurcholish Madjid, bahwa ketika Islam telah berkembang meliputi wilayah Afrika Utara dan Spanyol, orientasi hukum (fiqh) menjadi dominan. Sesuai dengan sifatnya, hukum itu bersifat eksoteris. Maka mulailah timbul pendalaman untuk memerangi ‘kekeringan’ itu, yang melahirkan ajaran tasawuf sebagai disiplin ilmu. Kajian ini kemudian diperkaya oleh sentuhan dengan agama lain, Kristen misalnya, yang telah lebih dahulu meminjam banyak unsur filsafat Yunani, diperkaya pula oleh unsur Budhisme yang ketika itu memang berpengaruh di Iran. Akan tetapi sebenarnya dimensi tasawuf mempunyai akar yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada orientasi hukum (Madjid 1985: 3—4). Yang terpenting dari pernyataan Madjid ini adalah bahwa tasawuf terlepas dari kemungkinan adanya pengaruh dari luar Islam, tasawuf jelas mempunyai rujukan pada sumber Islam.
Tentang kata tasawuf di antaranya ada yang berpendapat berasal dari kata shafa ‘bening’ , shaf ‘barisan’, ahlussuffah ‘sekelompok orang yang tinggal di sisi masjid Madinah’, suf ‘wol’. Beberapa pendapat ini dapat dilihat dari kesimpulan pembicaraan Hujwiri:

Beberapa beranggapan bahwa sufi disebut demikian karena ia mengenakan jubah wol (jama-i suf), yang lain mengatakan karena sufi berada di larik depan (saff-i awwal), yang lain lagi mengatakan karena para sufi itu menganggap diri mereka termasuk dalam ashab-i suffa (orang-orang yang duduk di bangku di sekeliling masjid Nabi). Dan yang lain beranggapan bahwa sufi berasal dari safa ‘kemurnian’ (Schimmel 1986:12).

Selanjutnya Schimmel menambahkan, bahwa definisi lain yang berasal dari Barat, yakni yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata Yunani sophos ‘arif’, tidak bias diterima secara filologis.

Pendapat yang banyak diterima ialah bahwa tasawuf itu berasal dari kata suf yang berarti ‘wol’, yang dimaksud adalah wol primitif yang kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang-orang miskin di Timur Tengah – di zaman itu pakaian kemewahan ialah sutera. Sufi ingin hidup sederhana menjauhi kemewahan dunia dan untuk itu mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar tersebut (Nasution 1979:71 – 72). Keterangan Nasution ini sejalan dengan penryataan Al-Taftazani (1985:21):

… Namun kajian ilmiah membuktikan bahwa semua pendapat di atas jauh dari tepat. Yang lebih tepat ialah kata sufi (shufi) berasal dari shuf atau bulu domba. Dikatakan, tashawwafa al-rajul, kalau memakai wol. Pada masa awal perkembangan asketisme, pakain bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para sufi sendiri banyak berpendapat seperti ini.

Junaid di dalam pernyataannya tidak memberikan definisi tasawuf. Junaid hanya memberikan petujuk tentang ajaran tasawuf. Dikatakan olehnya bahwa tasawuf di antaranya didasarkan pada kemelaratan Muhammad yang diangugerahi kunci segala harta yang ada di muka bumi oleh Tuhan dengan firman-Nya kepada Muhammad, “Jangan menyusahkan diri sendiri, tapi nikmati setiap kemewahan dengan harta ini,” namun jawab Muhammad, “Ya Allah, hamba tidak menghendakinya; biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar” (Schimmel 1986:13). Pernyataan Junaid ini memberikan petunjuk bahwa tasawuf juga bersumber pada perilaku Nabi Muhammad.

Dari uraian yang singkat itu, kita dapat menarik pengertian bahwa tasawuf tidak lain adalah upaya penghayatan Islam, karena Islam bukanlah agama yang hanya bersandar pada formalitas saja. Dalam tasawuf, moral Islam dipandang sebagai landasan syariat Islam. Dengan demikian, Islam pada esensinya adalah moral, yakni moral antara seorang hamba kepada Tuhannya, antara dia dengan dirinya, antara dia dengan lingkungannya. Quran pada dasarnya juga berisi ajaran bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhannya, berhubungan dengan dirinya, dan berhubungan dengan lingkungannya. Nabi Muhammad diutus Allah dengan tugas utama untuk menyempurnakan moral manusia; sedangkan Muhammad seniri diyatakan oleh Allah sebagai orang yang bermoral sempurna:

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S. 68:4)

Oleh karena itu jelas bahwa tasawuf mempunyai akar yang kuat pada sumber Islam sendiri.

Kajian ilmiah tentang sumber taasawuf telah telah dilakukan oleh Louis Massignon. Dia menyimpulkan adanya empat sumber tasawuf (Al-Taftazani 1985:33):

Pertama Al-Quran, sebagai sumber yang terpenting.
Kedua: ilmu-ilmu Islam, seperti Hadis, Fiqh, Nahwu, dan lain-lain.
Ketiga: Terminologi-terminologi para ahli ilmu kalam angakatan pertama
Keempat Bahasa ilmiah yang terbentuk di Timur sampai enam abad permulaan Masehi adalah dari bahasa lainnya, seperti bahasa-bahasa Yunani dan Persia, yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam pada itu Al—Taftazani (1985:34 –53) menjelaskan sumber tasawuf dalam Islam adalah: (I) Al-Quran, (ii) kehidupan, moral, dan sabda Muhmmad, dan (III) kehidupan dan ucapan para sahabat Nabi Muhammad.

Umarie (1961:41) memberikan pentunjuk, bahwa tasawuf apabila dikaji di antaranya berisi masalah metafisika. Metafisika dalam tasawuf merupakan pembicaraan yang penting, sebab hal ini akan menyangkut eksistensi alam ini yang dikaitkan dengan keberadaan (wujud) Allah, yang merupakan titik sentral perhatian tasawuf. Sebagaimana disebutkan oleh Schimmel (1986:23), tasawuf merupakan usaha untuk mencapai pembebasan pribadi lewat tauhid sejati. Intisari sejarah panjang tasawuf adalah pengungkapan dari awal lagi, dengan perumusan yang berbeda-beda, tentang keberadaan mutlak bahwa “tak ada Tuhan melainkan Allah”’ serta kesadaran bahwa hanya Dia yang boleh dipuja.

Al-Ghazali dalam Misykatul Anwar (1985:57) memberikan penjelasan yang berporoskan Quran surah An-Nur ayat 35, bahwa alam ini terdiri dari dua bagian: alam rohani dan alam jasmani. Alam jasmani (yang diistilahkannya alam syahadah adalah alam yang dapat dilihat dengan mata lahiriah (baca:indera). Sedangkan alam rohani (yang diistilahkannya alam malakut) adalah alam yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan hati. Setiap orang bersuluk (berjalan menuju ke hadirat Allah) apabila telah berada di alam malakut ini pada hakikatnya ia berada di sisi Allah yang tangan-Nya tergenggam semua kunci, yakni semua penyebab adanya “sesuatu yang ada” (maujudat) di alam syahadah ini. Sebab, alam syahadah adalah “bekas” atau akibat dari alam malakut, seperti halnya bayang-bayang sesuatu benda adalah bekas dari benda itu yang terkena cahaya. Di dalam ayat 35 surah An-nur itu disebutkan bahwa Allah adalah cahaya di atas cahaya. Oleh karena itu dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa Allahlah yang merupakan hakikat dan yang sebenar-benarnya wujud, sedang selain-Nya maujud karena pancaran cahaya-Nya. Kemudian mengingat alam syahadah ini adalah “bakas” dari alam malakut, maka segala sesuatu di alam syahadah ini dapat menjadi “misal” untuk alam malakut.

Pembicaraan “wujud” ini juga merupakan tema pokok dari Ibn Arabi (Hadi 1985: 66). Pertama-tama harus dibedakan dulu antara wujud sebagai konsep, yaitu ide tentang wujud (eksistensi) dan wujud dalam arti sesuatu yang maujud (diadakan).

Tuhan menurut Arabi adalah wujud yang mutlak (wujud universal), hakikat yang merupakan pangkal dan akhir segala yang ada. Di luar Tuhan adalah wujud yang relatif. Menurut Arabi hanya yang Esa saja yang ada secara sungguh-sungguh. Ia merupakan hakikat yang dapat dilihat dari dua sudut pandang. Bila dipandangnya sebagai esensi segala kejadian maka disebut haq (hakikat). Bila dipandangnya sebagai kejadian (pengejawantahan esensi) maka disebut khalq. Haq adalah hakikat sesuatu dan khalq adalah penampakannya. Arabi membagi wujud sebagai berikut:


WUJUD




Mutlak Nisbi-Mungkin
Hakikat, zat Tuhan, Alam Kejadian
Tak bisa ditafsirkan
Dan diperikan


Bebas Tergantung
Substansi Sifat, kejadian,
Hubungan keruang-
an, kewaktuan, dll.



Material (maddi) Spiritual (rohani)


Hubungan antara haq dan khalq menurut Arabi hanya dapat diterangkan secara kias dan simbolik. Arabi mengungkapkan hubungan itu seperti “cermin” dan “bayangan”. Yang haq disebutnya sebagai objek yang bayang-bayangnya terpantul dalam cermin. Khalq adalah gambar dalam cermin; gambarnya muncul dalam bentuk yang berbeda-beda menurut kodrat sang cermin.

Seluruh dunia ini menurut Arabi bagaikan panggung wayang, dan Tuhanlah yang menggerakkan wayangnya. Arabi juga menggunakan kias “perahu” yang “pulang kembali”. Yang haq adalah asal segala sesuatu, dan kepada yang satu itulah semua akan pulang kembali, sebagaimana perahu akan pulang kembali ke pelabuhan.



Di samping masalah metafisika, Umarie juga memberikan petunjuk bahwa tawawuf juga menyangkut masalah etika (Umarie 1961:41). Pokok persoalan tasawuf berkisar antara hubungan makhluk dengan Khalik. Hubungannya didasarkan pada cinta dan keindahan, bukannya hubungan seperti budak yang secara terpaksa harus melakukan perintah tuannya.

Menurut Arabi (Hadi 198:75), cinta adalah prinsip utama penciptaan. Melalui cinta-Nya Dia memanifestasikan dalam penciptaan yang maujud ini. Tuhan mencintai keindahan, karena yang indah itu hakikatnya adalah pancaran keindahan-Nya dan pancaran wujud–Nya . Kerinduan sufi pada Tuhan diumpamakan seperti kerinduan sang asyik yang merindukan maksyuknya, dan sering diungkapkan lewat lambang-lambang cinta manusia. Sebagaimana dikemukakan Schimmel (1986:3), “…dan akhirnya, kerinduan insan yang bercinta dan damba untuk berpadu diungkapkan lewat lambang-lambang yang diambil dari cinta manusia; gabungan cinta manusia dan Ilahi sering merembes ke dalam sajak-sajak ahli mistik”. Dengan demikian jelas bahwa tasawuf tidak akan lepas dari estetika. Lebih jelas kalau dikaitkan denagan pernyataan Al-Ghazali, bahwa taswuf tidaklah mengandalkan penalaran akal karena di balik akal masih ada kondisi yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal; kondisi itu bisa ditangkap dengan dzauq, yakni perasaan_perasaan halus yang timbul dari hati nurani (Al Ghazali 1985:85).

Tentang citraan dan simbol dalam kaitannya dengan tasawuf ini Schimmel (1986:2) menjelaskan:

…Para ahli mistik dalam pelbagai agama telah mencoba melambangkan pengalaman-pengalaman mereka dalam tiga kelompok citraan yang berlain-lainan: Usaha yang tak ada habisnya untuk mencari dan menemukan Tuhan dilambangkan dengan “Jalan”, dan si pejalan harus tetap melangkah seperti yang digambarkan dalam sejumlah cerita kiasan tentang Perjalanan Peziarah atau perjalanan ke Sorga. Perubahan jiwa melalui kesengsaraan dan pemurnian yang menyakitkan sering diungkapkan dalam gambaran alkimia atau proses serupa dalam alam dan ilmu prailmiah; impian kuno tentang pembuatan emas dari logam rencahan menjelma kenyataan dalam taraf rohani. Dan akhirnya, kerinduhan insan yang bercinta dan damba untuk berpadu diungkapkan lewat lambang-lambang yang diambil dari cinta manusia; gabungan cinta manusia dan ilahi sering merembes ke dalam sajak-sajak ahli mistik.

Dr. Abdul Tawwab Abdul Hadi (1986:35), setelah mempelajari penafsiran Al-Quran oleh kaum sufi, menyimpulkan adanya empat metode perlembagaan dalam tasawuf:
1. Perpadanan antara “yang lahir” dengan ” yang batin”
2. Separasi (pemisahan)
3. Penyesuaian tanda-tanda inderawi yang ada pada lahir dengan makna batin
4. Prinsip-prinsip bahasa dalam pegertian umum yang mencangkup nahwu, balaghah, prononsiasi, dan bentuk penulisan

Tasawuf pada intinya adalah upaya seseorang untuk dekat dengan Allah. Upaya pendekatan diri dengan Allah ini menuntut pula adanya keyakinan bahwa keberadaan Allah itu dekat dengan manusia. Dengan demikian pembicaran tentang keberadaan Allah menjadi penting kedudukannya dalam tasawuf. Bahkan dalam tawuf filosofis (yang membawa paham hulul dan penyatuan wujud) tema keberadaan Allah ini merupakan tema pembicaraan yang menonjol.

Jalan untuk sampai kepada Allah berisi beberapa tahapan (al-maqamat). Al-maqamat yang disepakati oleh semua tasawuf adalah tobat, zuhud (anti berlebihan masalah duniawi), sabar, tawakal, dan mahabbah (cinta kepada Allah) (Nasution 1979:78-79). Dengan sampainya pada tahapan mahabbah ini berarti sufi telah sampai pada makrifah (mengetahui Allah dengan hati sanubari). Sufi meyakini bahwa mahabbah akan menimbulkan cinta timbal balik antara Allah dengan makhluk-Nya (cinta ilahi). Dengan demikian mahabbah adalah hal yang penting (tahapan yang tinggi dalam tasawuf).


Penulis: Gus Hamka

No comments: