10/04/2012

Syahrur dan Teori Limit


Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang bersisi pesan hukum) dalam Alquran. Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.”
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fikih kontemporer adalah teori limit (nadzariyyat al-hudûd) yang diusung tokoh Islam liberal asal Syiria, Muhammad Syahrur. Menurut Wael B. Hallaq, teori limit Syahrur telah mengatasi kebuntuan epistemologi yang menimpa karya-karya pemikir sebelumnya (Wael B. Hallaq: 1997). Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang bersisi pesan hukum) dalam Alquran. Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.”

Paling tidak, teori limit memberikan empat kontribusi signifikan dalam pengayaan bidang fikih. Pertama, dengan teori limit, Syahrur telah berhasil melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat fundamental di bidang fikih. Selama ini, pengertian hudûd dipahami para ahli fikih secara rigid sebagai ayat-ayat dan hadis-hadis yang berisi sanksi hukum (al-`uqûbât) yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dari ketentuannya yang termaktub, seperti sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum berkeluarga, dan lain sebagainya. Berbeda dengan itu, teori limit (nadzariyyat al-hudûd) yang ditawarkan Syahrur cenderung bersifat dinamis-kontekstual, dan tidak hanya menyangkut masalah sanksi hukum (al-`uqûbât). Teori limit Syahrur juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti soal libâsul mar’ah (pakaian perempuan), ta`addud al-zawj (poligami), pembagian warisan, soal riba, dan lain sebagainya.

Kedua, teori limit Syahrur menawarkan ketentuan batas minimum (al-hadd al-adnâ) dan batas maksimum (al-hadd al-a`lâ) dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimum dan maksimum yang telah ditentukan. Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudûd-u-lLâh (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contohnya: ketentuan potong tangan bagi pencuri (Q.S. al-Mâ’idah: 38).

Menurut Syahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a`lâ) bagi seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan (Q.S. al-Mâ’idah: 34). Dari sini Syahrur berkesimpulan, seorang hakim dapat melakukan ijtihad dengan memperhatikan kondisi objektif si pencuri. Sang hakim tidak perlu serta merta harus memberi sanksi potong tangan dengan dalih menegakkan syariat, tapi dapat berijtihad di antara batasan maksimum dan minimum tadi, misalnya dengan sanksi penjara. Kalau kasus yang dihadapi adalah pejabat yang korup, sanksi dipecat dari jabatannya juga masih berada dalam dua batasan tadi. Syahrur beralasan, esensi sebuah sanksi hukum adalah membuat jera (kapok) si pelanggar hukum. Oleh sebab itu, negara atau pemerintahan yang tidak atau belum menerapkan sanksi potong tangan, rajam, qisas, dan beberapa sanksi hukum yang tertera di dalam Alquran maupun hadis, tidak bisa diklaim sebagai negara atau pemerintahan yang kafir sebagaimana tuduhan kalangan fundamentalis.

Dalam kasus pakaian perempuan (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd-u-lLâh (batasan-batasan Allah), karena melebihi batas maksimum yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya --dengan pendekatan ini-- malah sudah “tidak islami”.

Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrur telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudûd yang selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamât yang bersifat pasti dan hanya mengandung penafsiran tunggal. Bagi Syahrur, ayat-ayat muhkamât juga dapat dipahami secara dinamis dan memiliki alternatif penafsiran, sebab Alquran diturunkan untuk merespon persoalan manusia dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat Alquran tidak saja dapat dipahami, bahkan bagi Syahrur dapat dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun. Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamât secara produktif dan prospektif (qirâ’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qirâ’ah mutakarrirah).

Keempat, dengan teori limit, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqâmah) serta gerak dinamis dan lentur (hanîfiiyah). Nah, sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai the bounds or restrictions that God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyrî’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus. WalLâh a’lam! []



Abdul Mustaqim, MA, Koordinator Devisi Kajian LESPIM (Lembaga Studi dan Pengembangan Santri dan Masyarakat) Pesantren Krapyak Yogyakarta, Dosen Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tan Malaka : Pemikiran dan Aksi Politik-nya Dalam Masa Pergerakan Nasional di Indonesia



Seperti  “Spinx” yang dingin, dia seorang tokoh revolusioner yang brilian. Seorang tokoh yang telah menjadi dongeng dan penuh teka-teki. Warisan terhebatnya -- tentang konsep materialisme, dialektika, dan logika yang utuh -- merupakan hasil pemikiran dan gagasan besar yang dia cita-citakan bagi bangsa dan negaranya.
----
Pada masa orba (orde baru) putera Minangkabau ini telah direduksir sedemikian rupa akan peran dan aksi perjuangannya. Historiografi saat itu secara sengaja telah ‘menggelapkan’  tokoh revolusioner tersebut. Dia dicap sebagai seorang buronan politik – melalui stigma politiknya dia adalah sebagai komunis. Lewat usaha-usaha seperti menghilangkan fotonya pada  buku-buku sejarah atau melempar keluar karya-karyanya dari perpustakaan, melarang penerbitan ulang karyanya dan menyegel sumber-sumber untuk studi tentang pemikiran-pemikirannya. Nasib Tan Malaka  bisa disamakan dengan nasib para founding father yang lain, misalnya: Soekarno, Hatta, dan Syahrir. [1]
Menuduh Tan Malaka berhaluan Marxisme, mungkin tidaklah seratus persen benar. Tan Malaka sesungguhnya adalah salah satu pemikir dan pejuang besar Indonesia. Sebagai pejuang angkatan 1920-an -- seperti halnya tersebut diatas -- Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, adalah para pemikir yang mendalami ideologi-ideologi besar dunia, sehingga terlalu sempit untuk mengatakan Tan Malaka adalah seorang Marxis. Karya puncak pemikiran Tan Malaka dalam "Madilog", melukiskan bagaimana Tan Malaka menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.[2]
Tak ada yang mungkin membuat Tan Malaka demikian masygul sepanjang hidupnnya. Pemikiran-pemikiran pentingnya lahir pada waktu-waktu ia menemukan bangsanya berada dalam suasana yang rumit dan pelik. Sepak terjang perjuangan politiknya berjalin erat dengan pemikirannya. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa perjuangan politiknya  dikendalikan oleh hasil-hasil olah-pikirnya. Itulah sebabya bahwa Tan Malaka adalah “tuan” atas dirinya sendiri, baik dalam perjuangan politiknya maupun dalam mengembangkan pemikirannya.
Tan Malaka -- lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka -- menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-- Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut bertolak dari Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945,  ditulis oleh Harry A. Poeze ini memuat  riwayaat hidup, perjuangan poltik dan perkembngan pemikiran – dapat disimpulkan – bahwa ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan Malaka. Pertama, Tan Malaka sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses kehidupan yang penuh konflik dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktivis plitikyang berkembang menjadi seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga, intelektual-pemikir  yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.[3]
Demikian juga dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur pengalaman”  kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi  seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa  yang berlaku. Seorang personalitas politik yang mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi  yang sama dan sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.[4]
Menurut Mrazek, struktur pengalaman  Tan Malaka adalah tipe masyarakat minangkabau pada akhir abad yang lalu atau pemulaan abad abad ini (abad ke-20 — pen.) yang mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai cirri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau  mempunyai perspektif, yang sampai sekarang masih  kuat dipegang, bahwa adapt dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensi buat mencapai dan mempertahankan  perpaduan/integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika”  yang selalu mampu menemukan keserasian dalam  suasana kontradiksi. [5]
Disini Tan Malaka adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi  adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau tersebut. Juga proses  penyerapan unsure-unsur luar atau baru  terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat dikatakan bahwa pergi merantau akan memberkan pngalaman dan pengetahuan baru yang didapatkannya dari luar. Dan kemanapun jauh perginya dia merantaupun akan tetap kembali ke asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan tersebut diharapkan dapat memainkan peranan sosial di tengah masyarakat sehingga mereka bisa ikut apa yang baik dari rantau dan membuang  apa yang buruk.
Biografi tentang "Trostky" Indonesia itu memang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif dan datar saja. Berbeda sekali dengan Tan Malaka, bahwa sifat mengembara (perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai kehidupan politiknya. Sejak 1922 dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen, ke Jerman, pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam Komintern ke IV dan diangkat menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di Bangkok mendirikan PARI, 1937 di Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Baru setelah Belanda menyerah kepada Jepang, Tan Malaka kembali ke Tanah Air. Bahkan Tan Malaka  adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional yang  banyak bertandang ke berbagai negara.
---
Tan malaka adalah tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam lingkungan  keluarga-keluarga buruh yang  miskin di sana. Setelah ia kembali ke Indonesia ia menjadi guru di Deli dan disana ia melihat banyak ketidakadilan. Pengalaman-pengalamnnya yang pahit  mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan Semaun dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memmerlukan perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di PKI. Tahun 1924 ia diusir ke luar negeri. Kemudian  ia pergi ke Rusia dan bekerja sebagai agen Komintern untuk Timur Jauh (Asia Timur). Dalam Komintern ia juga tidak cocok dengan garis Stalin karena itu ia mengambil sikap “independent”. Ia menjadi “pacar merah” Indonesia, mengembara dari satu negara ke negara lain sambil bersembunyi karena dicari oleh polisi Belanda-Inggris-Amerika-Kuomintang dan Prancis..[6]
Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun kemudian terdapat friksi di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi pemberontakan Komunis 1926 (maupun 1948), Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi revolusioner di rakyat belum tercapai benar (matang), lagi pula anggota PKI basisnya relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
 Dapat dilihat bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks historisnya lebih dia tekankan. 
Kemudian dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat dan Trostky.[7] Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya MADILOG). Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir sekalipun.[8]
---
Sebagaimana diketahui kemudian, Tan Malaka berpisah dengan orang-orang
komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng. Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927.
Orang yang amat mengharagai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatis terhadap idelogi secara ketat. Orang seperti Tan Malaka akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya. Sungguh pun dia secara politik dan ekonomis menantang kapitalis dan imperialisme Barat. Namun, ia masih bisa melihat segi-segi positif dari
sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia , bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin
menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai
senjata Barat yang orisinil..." [9]
Pada waktu yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani dari segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai dan apriori terhadap kebudayaan kuno yang dianggap Tan Malaka penuh berisi kesesatan, dan tahayul yang menyebabkan mereka bersemangat budak.[10]
Dalam MADILOG, kebudayaan kuno yang dianggapnya menghalangi orang berpikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama berpengaruh di Pulau Jawa, menurut Tan Malaka telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana terlihat dari sisa-sisa feodalisme.
Di sini dia, apakah untuk keperluan pengontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian dari itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan. [11]
Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Soekarn, seperti yang terbit antara tahun 1926 dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil melahirkan ide-ide yang berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi membaca literatur-literatur Barat, Soekarno sebenarnya secara mental melakukan perantauan. Dia melakukan cara berfikir aktif dan dinamis, darimana lahir pula konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti "Marhanenisme".
Secara garis besarnya, cara berfikir Soekarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-ciri dimanis atau dialektisme jelas terlihat sebagaimana Tan Malaka, Soekarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas
hasil-hasil pemikirannya sendiri. [12]
Barangkali, setiap masyarakat dalam pertemuan dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang yang berani berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan syinthesis berupa pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena itu bisa dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul.
---
Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam suasana konflik, yaitu melihat hal atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau dipunyainya. Dia hampir selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut kepadanya untuk melahirkan Synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagaimana antara lain terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya
dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan pikirannya, ia tak pernah menyerah pada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektuilmenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah. [13]
Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat pada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan dratis dalam segala bidang meliputi : politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Canton, dia menerbitkan buku (1925) "Menuju Republik Indonesia" (title aslinya; Naar de Republik Indonesia). Dalam karyanya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan militer. Program-program ini sebenarnya dimaksud Tan Malaka sebagai pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke arah yang
dicita-citakannya.
Akan tetapi, hubungannya dengan tokoh-tokoh PKI, sebagaimana yang telah iungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya rusak sama sekali setelah terjadi pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya "Massa Aksi", di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/teroganisir. Di sini kembali tampak denhan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan revolusioner, tetapi syarat untuk sukesnya revolusi itu baginya tetap
dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persauan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap meupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. [14]
Bilamana kerjasama itu, kata Tan Malaka, sampai terputus, ia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudaan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa.[15]
Tetapi mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa itu lah yang terbaik untuk mengeyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga
mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing).
Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politi, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Setelah PKI praktis dihancurkan oleh pengusaha kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan "Partai Republik Indonesia" atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik perhatian, terutama dalam hubungan Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927 dan ketidaksesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut PAN Islamisme).  Sementara itu, Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan "hegemoni" internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. [16]
Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa warna nasionalime dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salahsatu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentu juga berkaitan erat dengan sistim pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika.
---
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. 
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. 
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. 
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”( mencapai Republik Indonesia).
Dan akhirnya, Bila sejarah adalah sebuah panggung pertunjukan, epilog dari hidup Tan Malaka adalah sebuah tragedy. Ia mati saat bersama gerilya proklamasi di Pethok, Jawa Timur tanpa pernah ditemukan jasadnya. Catatan sejarah memperkirakan 19 Februari 1949 sebagai hari mati Tan Malaka. Tapi untuk sekian lama  kematian itu terbungkus dalam kabut ketidakpastian Legenda sejarah yang misterius dan gemar merantau itu memang tersingkir dalam hidupnya. Tapi, ternyata ia tidak terasing dari masyarakat yang melahirkannya.
Bahan-bahan Rujukan:
Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000
Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.
Hatta, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku, Kolff Jakarta, 1953
Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,  No. 8, Jakarta: LP3ES
Peranan Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000
Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999
Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 2000






Topik :
Tan  Malaka :  Pemikiran dan Aksi Politik-nya dalam Masa Pergerakan Nasional di Indonesia

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
 Sejarah Pergerakan Nasional 1908-1942

Dosen Pengampu: Dra. Sayekti MP.d


Disusun oleh :

Anton B. Prasetyo
C0501006

Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa

UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2003







[1] Kata Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
[2] Peranan Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000. Lihat Juga: Dr. Hamka, Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000, xii-xiv.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.

[4] Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977, hlm: 59.
[5]  Ibid., hlm. 59-60.
[6] Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999, 71-72.
[7]  Lihat: Hatta,  Trotzkiisme adalah dimana rezim Stalin mencap segala mereka yang tidak disukainya dan segala aliran yang menyimpang ke-kanan dan ke-kiri dari “generale linie” yang ditentukannya, dalam Budak Stalin Mencari Trotzky ke Indonesia, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku
Indonesia, Kolff Jakarta, 1953, hlm.137-140. Juga baca: Bab III pada catatan kakii no. 2, dalam Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999, hlm. 52.
[8] Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 187.
 
 
 
 

[9] Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999, hlm.117-131
[10] Ibid. Lihat juga: Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 2000, hlm. 142-147.
[11] Ibid., Hlm.320-333.
[12] Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,  No. 8, Jakarta: LP3ES, hlm. 3-14
[13] Alfian, Pengantar, dalam Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik, Cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1999, hlm.xxi-xxvi
[14] Tan Malaka, Massa Aksi, Op.cit.
[15] Ibid.
[16] Harry A. Poeze, Op.cit., hlm. 93-99. Baca: Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000, hlm. 25-33.


TERMINOLOGI


Penyusun: Yoyo Hambali[1]


[1] Penyusun saat ini adalah Ketua Umum Komunitas Studi Agama dan Filsafat ISLAMADINA dan Staff Peneliti pada International Institute of Islamic Thought-Indonesia (IIIT-I).


Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah "filsafat" dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
a. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab 'falsafah', yang berasal dari bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' = cinta,
suka (loving), dan 'sophia' = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi 'philosophia' berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut 'philosopher', dalam bahasa Arabnya 'failasuf".
Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti 'alam pikiran' atau 'alam berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa "setiap manusia adalah filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Kata Falsafah berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-kerja (mashdar) yang diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan gabungan dari philos dan sophia; yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti kebijkasanaan. Sehingga falsafah dapat diartikan; cinta kebijaksanaan. Plato menyebut Socrates sebagai Philoshopos (filosof) yakni sorang pecinta kebijaksanaan. Oleh karena itu, kata falsafah merupakan hasil arabisasi, suatu mashdar yang
berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Sebelum Socrates, ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sopist (kaum sopist) yang berarti para cendikiawan. Mereka menjadikan pepsepsi manusia sebagai ukuran realitas (kebenaran hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan-kesimpulan mereka. Secara bertahap kata ‘sopist’ (sopist, sopisthes) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang menggunakan hujah-hujah keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry (cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai kata yang sama dalam bahasa Arab dengan kata safsathah, dengan arti yang sama.
Socrates, karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan menghindarkan diri dengan kamu sophis, melarang orang menyebut dirinya seorang sophis, seorang cendikiawan.
Oleh karena itu, ia menyebut dirinya seorang filosof, (philosophos), pecinta kebijaksanaan, pecinta kebenaran, menggantikan sophistes yang berarti sarjana. Gelar yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi orang yang menggunakan penalaran yang salah. Filsafat (philosophia) kemudian menjadi sama artinya dengan kebijkasanaan (kearifan). Oleh karena itu, philosophos (folosof) sebagai suatu istilah Teknis tidak dipakaikan pada seorangpun sebelum socrates dan begitu juga sesudahnya.
Istlah philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu, bahkan Aristoteles pun tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philoshopos (filosof) semakin meluas.
Dikalangan muslim mengambil filsafat dari bahasa Yunani. Lalu mereka memberi sighat (bentuk) dan menggunakannya unutuk mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsafat menurut pemakaian para filosof muslim secara umum tidak merujuk kepada disiplin sains tertentu; ia meliputi semua sains rasional, bukan ilmu yang diwahyukan atau yang diriwayatkan seperti etimologi, retorika, sharaf, tafsir, hadis dan hukum Oleh katrena itu hanya orang yang menguasai semua sains rasional termasuk didalamnya matematika, ekonomi, etika, teologi, yang dapat disebut sebagai filosof.
Ketika Kaum muslim mengembangakan klasifikasi ilmu Aristoteles, mereka memasukkan kata falsafah atau hikmah. Mereka mengatakan; Filsafat yaitu sains rasional mempunyai dua bagian; teoritis dan praktis. Filsafat teoritis menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya sedangkan filsafat praktis menggambarkan perilaku manusia sebagaimana seharusnya.
Filsafat teroritis terdiri dari tiga bagian: teologi (filsafat tinggi), matematika (filsafat menengah), dan ilmu-ilmu kealaman (filsafat rendah). Filsafat tinggi mempunyai du adisiplin, fenomenologi umum dan teologi itu sendiri. Matematiiak terdiri dari empat bagian; aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Sedangkan ilmu alam mempunyai banyak bagian. Filsafat praktis dibagi menjadi etika, ekonomi domestik dan kewarganegaraan (civics). Filosof yang mumpuni menguasai seluruh sains tersebut. Menurut pandangan filosof, filsafat universal, teologi, metafisika, filsafat tinggi mempunyai kedudukan yang khusus dibanding sains yang lain, karena pertama, filsafat ini mempunyai demontrasi dan kepastian, kedua karena ketidakbergantungannya dengan sains yang lain dan ketiga bahwa filsafat lebih umum
dan universal dibanding dengan sains yang lain.
Para filosof di masa lalu mendefinisikan filsafat sebagai aktifitas filsafat sejati, filsafat pertama, sehingga mendifinisikan filsafat secara khas. Maka difinisi filsafat yakni meliputi sains tentang keadaan-keadaan wujud, dipandang dari segi bahwa ia adalah wujud, bukan dari segi bahwa ia memiliki individualisasi khusus seperti badan, kuantitas, kualitas, manusia, tetumbuhan, atau apa saja yang ada.
Pengetahuan kita tentang segala sesuatu terdiri atas dua macam; pertama, yang dapat dibatasi pada spesies atau genus tertentu, ia dapat berlaku pada ketentuan (ahkam) dan aksiden dari spesies dan aksiden tertentu, sebagaimana pengetahuan kita mengenai ketentuan bilangan (aritmatika), kuantitas (geometri), sifat tanaman, hewan, ilmu
kedokteran. Bentuk ini meliputi seluruh sains mineralogi, fisika, kimia, geologi , ilmu atom dll.
Kedua, pengetahuan yang tidak dapat dibatasi pada spesies tertentu. Pengetahuan tentang wujud ini bukan pada bagian-bagian dari dari spesies tertentu, akan tetapi pengetahuan yang hakiki tentang seluruh wujud. Misalnya pertanyaan pertanyaan tentang tubuh bukan pada kaki dan kepala akan tetapi misalnya; Jika tubuh mempunyai kepala, apakah kepala ini mempunyai jiwa yang dapat berpikir dan merasa, ataukah ia lemah dan kosong. Apakah keseluruhan tubuh mersakan kenikmatan kehidupan, atau apakah intelegensi dan persepsi tubuh ini dibatsai pada sejumlah entitas yang timbul secara kebetulan? Atau, apakah seluruhtubuh mengejar suatu tujuan, ataukah seluruh tubuh berjalan ke arah suatu kesempurnaanrealitas?.
Bagian studi yang menyangkut organologi alam makhluk adalah sains, sedangkan bagian yang membahas fisiologi alam semesta secara keseluruhan adalah filsafat.
Perubahan linguistik yang menyangkut konvensi penggunaan kata telah disalah artikan sebagai perubahan makna yang berkaitan dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam bahasa zaman kuno, kata-kata filsafat dan hikmah digunakan dalam pengetahuan rasional, bukan pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Jadi kata-kata tersebut melingkupi semua ide-ide intelektual dan rasional manusia. Pada zaman modern, kata ini menjadi terbats pada metafisika, logika, estetika dan yang sejenis. Hal hal berbeda dengan zaman sebelumnya dimana filsafat meliputi semua ilmu. Sains dulunya pernah terpadu dibawah nama filsafat tetapi kini nama tersebut hanya dinisbahkan pada sejenis sains.
Perubahan makna dalam nama ini tidak ada kaitannya dengan perpisahan antara sains dan filsafat. Sains tidak pernah merupakan bagian dari kata filsafat; sehingga tidak mungkin sains bisa terpisah dari filsafat. Memberkan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak bersama.
Baiklah kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya". Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris. Philosophy: Inquiry into the nature of things based on logical reasoning rather than empirical methods (The Grolier Int. Dict.).
Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan "ke mana". Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana terjadinya dan ke mana tujuannya. Maka, jika para filsuf ditanyai, "Mengapa A percaya akan Allah", mereka tidak akan menjawab, "Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di sekolahnya untuk percaya kepada Allah," atau "Karena A kebetulan sedang gelisah, dan ide tentang suatu figur bapak membuatnya tenteram." Dalam hal ini, para filsuf tidak berurusan dengan sebab-sebab, melainkan dengan dasar-dasar yang mendukung atau menyangkal pendapat tentang keberadaan Allah.
Tugas filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Sampai dengan kedua pengertian di atas, marilah kita simak apa kata Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi pengertian kita tentang "filsafat":
Filsafat adalah berpikir secara kritis.
Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
Filsafat adalah berpikir secara rasional.
Filsafat harus bersifat komprehensif.
Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, "Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks,Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk menutup pemahaman awal kitamengenai terminologi "filsafat", baiklah dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi" atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".
Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi5 kepentingan pencarian akan kebenaran itu sendiri.

Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran.
Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurutagama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai, ... secara damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akandiperlihatkan sebagai berikut:  Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial. Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
Aristoteles:
o Manusia adalah animal rationale.
Karena, menurutnya, ada tahap
perkembangan: Benda mati ->
tumbuhan -> binatang ->
manusia
.
Tumbuhan = benda mati
+ hidup ----> tumbuhan
memiliki jiwa hidup
. Binatang = benda mati
+ hidup + perasaan ---->
binatang memiliki jiwa
perasaan
.
Manusia = benda mati +
hidup + akal ---->
manusia memiliki jiwa
rasional
o Manusia adalah zoon poolitikon,
makhluk sosial.
o Manusia adalah "makhluk
hylemorfik", terdiri atas materi
dan bentuk-bentuk.
Ernest Cassirer: manusia adalah animal
simbolikum Manusia ialah binatang
yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat,
kepercayaan, bahasa. Inilah
kelebihan manusia jika dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Itulah
sebabnya manusia dapat
mengembangkan dirinya jauh lebih
hebat daripada binatang yang hanya
mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa
contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa
filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah
pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil
pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar
bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas
kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia
tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang
lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan
akalnya, manusia hanya mampu memberi
jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini
sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam
Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu
manusia hanya dapat mengenal fenomena
belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak
tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut
mengenai manusia adalah agama; misalnya,
tentang pengalaman apa yang akan dijalani
setelah seseorang meninggal dunia. Jadi,
sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi
agama. Filsafat tidak hendak menambahkan
suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel
mencatat August Comte pernah mencobanya,
namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib
demikian," demikian Russel.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga
dapat mempunyai hubungan yang baik dengan
agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu
menyampaikan lebih lanjut ajaran agama
kepada manusia. Filsafat membantu agama
dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks
sucinya. Filsafat membantu dalam
memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat
menyediakan metode-metode pemikiran untuk
teologi. Filsafat membantu agama dalam
menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya,
mengusahakan mendapat anak dengan in vitro
fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan
bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab
Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung.
Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat
merumuskan permasalahan etis sedemikian
rupa sehingga agama dapat menjawabnya
berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya
sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu
memberi jawaban terhadap problem yang tidak
dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan
filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti
bahwa agama adalah di luar rasio, agama
adalah tidak rasional. Agama bahkan
mendorong agar manusia memiliki sikap hidup
yang rasional: bagaimana manusia menjadi
manusia yang dinamis, yang senantiasa
bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan
yang sudah ada di tangannya, untuk lebih
mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai
kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah
kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada7
sesama sehingga bersama-sama manusia yang
lain mampu membangun dunia ini.
Dengan cara menyadari keadaan serta
kedudukan masing-masing, maka antara ilmu
dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan
yang harmonis dan saling mendukung. Karena,
semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan,
fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah
hal yang sama, namun dapat dijawab secara
berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki
masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu,
filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling
menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang
timbul dalam kehidupan.
Demikianlah pemahaman yang kita
miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat"
dan kedudukannya di antara ilmu dan agama.
SEJARAH FILSAFAT
Manusia, masyarakat, kebudayaan dan
alam sekitar memiliki hubungan yang erat.
Keempatnya-lah yang telah menyusun dan
mengisi sejarah filsafat dengan masing-masing
karakteristik yang dibawanya. Berdasar keempat
hal tersebut juga, pada umumnya para filsuf
sepakat untuk membagi sejarah filsafat menjadi
3 tradisi besar, yakni Sejarah Filsafat India,
Sejarah Filsafat Cina, dan Sejarah Filsafat Barat.
Dua pembahasan pertama diuraikan pada
submenu Sejarah I ini. Sedangkan, pembahasan
tentang Sejarah Filsafat Barat dapat ditemukan
dalam submenu Sejarah II.
Filsafat India
Filsafat India berpangkal pada
keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental
antara manusia dan alam, harmoni antara
individu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari
supaya dunia tidak dialami sebagai tempat
keterasingan, sebagai penjara. Seorang anak di
India harus belajar bahwa ia karib dengan semua
benda, dengan dunia sekelilingnya, bahwa ia
harus menyambut air yang mengalir dalam
sungai, tanah subur yang memberi makanan, dan
matahari yang terbit. Orang India tidak belajar
untuk menguasai dunia, melainkan untuk
berteman dengan dunia.
1. Jaman Weda (2000-600 S.M.)
Bangsa Arya masuk India dari utara,
sekitar 1500 S.M. Literatur suci mereka
disebut Weda. Bagian terpenting dari
Weda untuk filsafat India adalah
Upanisad, yang sepanjang sejarah India
akan merupakan sumber yang sangat
kaya untuk inspirasi dan pembaharuan.
Suatu tema yang menonjol dalam
Upanisad adalah ajaran tentang
hubungan Atman dan Brahman. Atman
adalah segi subyektif dari kenyataan,
diri manusia. Brahman adalah segi
obyektif, makro-kosmos, alam semesta.
Upanisad mengajar bahwa manusia
mencapai keselamatan (moksa, mukti)
kalau ia menyadari identitas Atman dan
Brahman.
2. Jaman Skeptisisme (200 S.M.-300 M.)
Sekitar tahun 600 S.M. mulai suatu
reaksi, baik terhadap ritualisme imam-imam
maupun terhadap spekulasi
berhubungan dengan korban para rahib.
Para imam mengajar ketaatan pada
huruf kitab suci, tetapi ketaatan ini
mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa.
Para rahib mengajar suatu
"metafisika" yang juga tidak sampai ke
hati orang biasa. Reaksi datang dalam
banyak bentuk. Yang terpenting adalah
Buddhisme, ajaran dari pangeran
Gautama Buddha, yang memberi
pedoman praktis untuk mencapai
keselamatan: bagaimana manusia
mengurangi penderitaannya, bagaimana
manusia mencapai terang budi.
Reaksi lain datang dari Jainisme dari
Mahawira Jina. Di samping itu mulai
juga kebaktian yang lebih eksklusif8
kepada Siwa dan Wisnu, dua bentuk
agama yang lebih menarik daripada
ritualisme dan spekulasi para imam dan
rahib.
Sebagai kontra-reformasi, muncul
dalam Hinduisme resmi enam sekolah
ortodoks (disebut "ortodoks", karena
Buddhisme dan Jainisme, yang tidak
berdasar Weda, dianggap bidaah). Yang
terpenting dari sekolah ini adalah
Samkhya dan Yoga. Yoga, dari kata
"juj", "menghubungkan", mengajar
suatu jalan ("marga") untuk mencapai
kesatuan dengan ilahi. Samkhya
(artinya: "jumlah", "hitungan")
mengajarkan tema terpenting hubungan
alam-jiwa, kesadaran materi, hubungan
Purusa-Prakriti. Berikutnya...
3. Jaman Puranis (300-1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai
lenyap dari India. Buddhisme sekarang
lebih penting di negara-negara tetangga
daripada di India sendiri. Pemikiran
India dalam "abad pertengahan"-nya
dikuasai oleh spekulasi teologis,
terutama mengenai inkarnasi-inkarnasi
dewa-dewa. Banyak contoh cerita
tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat
dalam dua epos besar, Mahabharata dan
Ramayana.
4. Jaman Muslim (1200-1757)
Dua nama menonjol dalam periode
muslim, yaitu nama pengarang sya'ir
Kabir, yang mencoba untuk
memperkembangkan suatu agama
universal, dan Guru Nanak (pendiri
aliran Sikh), yang mencoba
menyerasikan Islam dan Hinduisme.
5. Jaman Modern (setelah 1757)
Jaman modern, jaman pengaruh Inggris
di India, mulai tahun 1757. Periode ini
memperlihatkan perkembangan kembali
dari nilai-nilai klasik India, bersama
dengan pembaharuan sosial. Nama-nama
terpenting dalam periode ini
adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-
1833), yang mengajar suatu monoteisme
berdasarkan Upanisad dan suatu moral
berdasarkan khotbah di bukit dari Injil,
Vivekananda (1863-1902), yang
mengajar bahwa semua agama benar,
tapi bahwa agama Hindu paling cocok
untuk India; Gandhi (1869-1948), dan
Rabindranath Tagore (1861-1941),
pengarang syair dan pemikir religius
yang membuka pintu untuk ide-ide dari
luar.
Sejumlah pemikir India jaman sekarang
melihat banyak kemungkinan untuk dialog
antara filsafat Timur, yang dianggap terlalu
mistik dan filsafat Barat, yang dianggap terlalu
duniawi. Radhakrishnan (1888-1975)
mengusulkan pembongkaran batas-batas
ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme
hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola
berpikir masa depan seluruh dunia. Sementara
itu, filsafat India dapat belajar dari rasionalisme
dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat
belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan
dalam kosmos dan mengenai identitas
makrokosmos dan mikrokosmos.
Filsafat Cina
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat
cina, yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan. Selalu dicarikan
keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah
antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama,
antara manusia dan alam, antara manusia dan
surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan
untuk pendapat-pendapat yang sama sekali
berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu
sikap perdamaian yang memungkinkan
pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang9
agama. Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran
Cina lebih antroposentris daripada filsafat India
dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu
merupakan pusat filsafat Cina.
Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat
bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai
oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika
kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di
dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang
terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan
bahwa manusia sendiri dapat menentukan
nasibnya dan tujuannya. Filsafat Cina dibagi atas
empat periode besar:
Empat periode besar.
I. Jaman Klasik (600-200 S.M.)
Menurut tradisi, periode ini ditandai
oleh seratus sekolah filsafat: seratus
aliran yang semuanya mempunyai
ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan
juga sejumlah konsep yang dipentingkan
secara umum, misalnya "tao" ("jalan"),
"te" ("keutamaan" atau "seni hidup"),
"yen" ("perikemanusiaan"), "i"
("keadilan"), "t'ien" ("surga") dan "yin-yang"
(harmoni kedua prinsip induk,
prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan).
Sekolah-sekolah terpenting
dalam jaman klasik adalah:
1. Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari
nama Kong-Fu-Tse, "guru dari
suku Kung") hidup antara 551
dan 497 S.M. Ia mengajar
bahwa Tao ("jalan" sebagai
prinsip utama dari kenyataan)
adalah "jalan manusia". Artinya:
manusia sendirilah yang dapat
menjadikan Tao luhur dan
mulia, kalau ia hidup dengan
baik. Keutamaan merupakan
jalan yang dibutuhkan.
Kebaikan hidup dapat dicapai
melalui perikemanusiaan
("yen"), yang merupakan model
untuk semua orang. Secara
hakiki semua orang sama
walaupun tindakan mereka
berbeda.
2. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao
Tse ("guru tua") yang hidup
sekitar 550 S.M. Lao Tse
melawan Konfusius. Menurut
Lao Tse, bukan "jalan manusia"
melainkan "jalan alam"-lah
yang merupakan Tao. Tao
menurut Lao Tse adalah prinsip
kenyataan objektif, substansi
abadi yang bersifat tunggal,
mutlak dan tak-ternamai. Ajaran
Lao Tse lebih-lebih metafisika,
sedangkan ajaran Konfusius
lebih-lebih etika. Puncak
metafisika Taoisme adalah
kesadaran bahwa kita tidak tahu
apa-apa tentang Tao. Kesadaran
ini juga dipentingkan di India
(ajaran "neti", "na-itu": "tidak
begitu") dan dalam filsafat Barat
(di mana kesadaran ini disebut
"docta ignorantia",
"ketidaktahuan yang berilmu").
3. Yin-Yang
"Yin" dan "Yang" adalah dua
prinsip induk dari seluruh
kenyataan. Yin itu bersifat pasif,
prinsip ketenangan, surga,
bulan, air dan perempuan,
simbol untuk kematian dan
untuk yang dingin. Yang itu
prinsip aktif, prinsip gerak,
bumi, matahari, api, dan laki-laki,
simbol untuk hidup dan
untuk yang panas. Segala
sesuatu dalam kenyataan kita
merupakan sintesis harmonis
dari derajat Yin tertentu dan
derajat Yang tertentu. 10
4. Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh
Mo Tse, antara 500-400 S.M.
Mo Tse mengajarkan bahwa
yang terpenting adalah "cinta
universal", kemakmuran untuk
semua orang, dan perjuangan
bersama-sama untuk
memusnahkan kejahatan.
Filsafat Moisme sangat
pragmatis, langsung terarah
kepada yang berguna. Segala
sesuatu yang tidak berguna
dianggap jahat. Bahwa perang
itu jahat serta menghambat
kemakmuran umum tidak sukar
untuk dimengerti. Tetapi Mo
Tse juga melawan musik
sebagai sesuatu yang tidak
berguna, maka jelek. Etika Mo
Tse mengenal suatu prinsip
bahwa... Berikutnya...
5. Ming Chia
Ming Chia atau "sekolah nama-nama",
menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah
dan perkataan-perkataan. Ming
Chia, yang juga disebut "sekolah
dialektik", dapat dibandingkan dengan
aliran sofisme dalam filsafat Yunani.
Ajaran mereka penting sebagai analisis
dan kritik yang mempertajam perhatian
untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan
yang memperkembangkan logika dan
tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia
juga terdapat khayalan tentang hal-hal
seperti "eksistensi", "relativitas",
"kausalitas", "ruang" dan "waktu".
6. Fa Chia
Fa Chia atau "sekolah hukum", cukup
berbeda dari semua aliran klasik lain.
Sekolah hukum tidak berpikir tentang
manusia, surga atau dunia, melainkan
tentang soal-soal praktis dan politik. Fa
Chia mengajarkan bahwa kekuasaan
politik tidak harus mulai dari contoh baik
yang diberikan oleh kaisar atau
pembesar-pembesar lain, melainkan dari
suatu sistem undang-undang yang keras
sekali.
Tentang keenam sekolah klasik tersebut,
kadang-kadang dikatakan bahwa mereka
berasal dari keenam golongan dalam
masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum
ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3) okkultisme
(dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5)
para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.
III. Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200
S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan
Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat
arti baru. Tao sekarang dibandingkan
dengan "Nirwana" dari ajaran Buddha,
yaitu "transendensi di seberang segala
nama dan konsep", "di seberang adanya".
IV. Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik
kembali menjadi ajaran filsafat terpenting.
Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur
yang bertentangan dengan corak berpikir
Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan
hidup berkeluarga dan kemakmuran
material, yang merupakan nilai-nilai
tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan,
bahkan disangkal dalam Buddhisme,
sehingga ajaran ini oleh orang dianggap
sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
V. Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar
tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua
puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar.
Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat
diterjemahkan ke dalam bahasa Cina.
Aliran filsafat yang terpopuler adalah
pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di
Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat
ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan11
kembali ke tradisi pribumi. Terutama
sejak 1950, filsafat Cina dikuasai
pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse
Tung.
Demikian sejarah filsafat yang berlangsung
Timur: India dan Cina. Berikutnya, kita akan
melihat sejarah filsafat Barat, yang dimulai di
Asia Kecil dan memuat pemikir-pemikir dan
aliran-aliran dari Eropa, Asia, Afrika dan
Amerika. Termasuk filsafat Barat: filsafat
Yunani, filsafat Helenisme, "filsafat Kristiani",
filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman
modern dan masa kini.
Sejarah filsafat Barat dibagi dalam empat
periode besar:
I. Jaman Kuno
1. Permulaan: Filsafat Pra-Sokrates
di Yunani
Sejarah filsafat Barat mulai
Milete, di Asia kecil, sekitar
tahun 600 S.M. Pada waktu itu
Milete merupakan kota yang
penting, di mana banyak jalur
perdagangan bertemu di Mesir,
Itali, Yunani dan Asia. Juga
banyak ide bertemu di sini,
sehingga Milete juga menjadi
suatu pusat intelektual. Pemikir-pemikir
besar di Milete lebih-lebih
menyibukkan diri dengan
filsafat alam. Mereka mencari
suatu unsur induk ("archè")
yang dapat dianggap sebagai
asal segala sesuatu. Menurut
Thales (± 600 S.M.) air-lah
yang merupakan unsur induk
ini. Menurut Anaximander
610-540 S.M.), segala sesuatu
berasal dari "yang tak terbatas",
dan menurut Anaximenes
585-525 S.M.) udara-lah yang
merupakan unsur induk segala
sesuatu. Pythagoras (± 500
S.M.) yang mengajar di Itali
Selatan, adalah orang pertama
yang menamai diri "filsuf". Ia
memimpin suatu sekolah filsafat
yang kelihatannya sebagai suatu
biara di bawah perlindungan
dari dewa Apollo. Sekolah
Pythagoras sangat penting untuk
perkembangan matematika.
Ajaran falsafinya mengatakan
antara lain bahwa segala sesuatu
terdiri dari "bilangan-bilangan":
struktur dasar kenyataan itu
"ritme".
Dua nama lain yang penting
dari periode ini adalah
Herakleitos (± 500 S.M.) dan
Parmenides (515-440 S.M.).
Herakleitos mengajarkan bahwa
segala sesuatu "mengalir"
("panta rhei"): segala sesuatu
berubah terus-menerus seperti
air dalam sungai. Parmenides
mengatakan bahwa kenyataan
justru memang tidak berubah.
Segala sesuatu yang betul-betul
ada, itu kesatuan mutlak yang
abadi dan tak terbagikan.
2. Puncak Jaman Klasik: Sokrates,
Plato, Aristoteles
Puncak filsafat Yunani dicapai
pada Sokrates, Plato dan
Aristoteles. Sokrates (± 470-
400 S.M.), guru Plato, mengajar
bahwa akal budi harus menjadi
norma terpenting untuk tindakan
kita. Sokrates sendiri tidak
menulis apa-apa. Pikiran-pikirannya
hanya dapat
diketahui secara tidak langsung
melalui tulisan-tulisan dari
cukup banyak pemikir Yunani
lain, terutama melalui karya12
Plato. Plato (428-348 S.M.)
menggambarkan Sokrates
sebagai seorang alim yang
mengajar bagaimana manusia
dapat menjadi berbahagia berkat
pengetahuan tentang apa yang
baik.
Plato sendiri menentukan,
bersama Aristoteles, bagi
sebagian besar dari seluruh
sejarah filsafat Barat selama
lebih dari dua ribu tahun. Dunia
yang kelihatan, menurut Plato,
hanya merupakan bayangan dari
dunia yang sungguh-sungguh,
yaitu dunia ide-ide yang abadi.
Jiwa manusia berasal dari dunia
ide-ide. Jiwa di dunia ini
terkurung di dalam tubuh.
Keadaan ini berarti
keterasingan. Jiwa kita rindu
untuk kembali ke "surga ide-ide".
Kalau jiwa "mengetahui"
sesuatu, pengetahuan ini
memang bersifat "ingatan". Jiwa
pernah berdiam dalam
kebenaran dunia ide-ide, dan
oleh karena itu pengetahuan
mungkin sebagai hasil
"mengingat".
3. Filsafat Plato merupakan
perdamaian antara ajaran
Parmenides dan ajaran
Herakleitos.
Dalam dunia ide-ide segala
sesuatu abadi, dalam dunia yang
kelihatan, dunia kita yang tidak
sempurna, segala sesuatu
mengalami perubahan. Filsafat
Plato, yang lebih bersifat khayal
daripada suatu sistem
pengetahuan, sangat dalam dan
sangat luas dan meliputi logika,
epistemolgi, antropologi,
teologi, etika, politik, ontologi,
filsafat alam dan estetika.
Aristoteles (384-322 S.M.),
pendidik Iskandar Agung, adalah
murid Plato. Tetapi dalam banyak
hal ia tidak setuju dengan Plato.
Ide-ide menurut Aristoteles tidak
terletak dalam suatu "surga" di atas
dunia ini, melainkan di dalam
benda-benda sendiri. Setiap benda
terdiri dari dua unsur yang tak
terpisahkan, yaitu materi ("hylè")
dan bentuk ("morfè"). Bentuk-bentuk
dapat dibandingkan dengan
ide-ide dari Plato. Tetapi pada
Aristoteles ide-ide ini tidak dapat
dipikirkan lagi lepas dari materi.
Materi tanpa bentuk tidak ada.
Bentuk-bentuk "bertindak" di
dalam materi. Bentuk-bentuk
memberi kenyataan kepada materi
dan sekaligus merupakan tujuan
dari materi. Filsafat Aristoteles
sangat sistematis. Sumbangannya
kepada perkembangan ilmu
pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan
Aristoteles meliputi bidang
logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam.
4. Helenisme
Iskandar Agung mendirikan
kerajaan raksasa, dari India Barat
sampai Yunani dan Mesir.
Kebudayaan Yunani yang
membanjiri kerajaan ini disebut
Hellenisme (dari kata "Hellas",
"Yunani"). Helenisme yang masih
berlangsung juga selama kerajaan
Romawi, mempunyai pusat
intelektualnya di tiga kota besar:
Athena, Alexandria (di Mesir) dan
Antiochia (di Syria). Tiga aliran
filsafat yang menonjol dalam
jaman Helenisme, yaitu Stoisisme,
Epikurisme dan Neo-platonisme.
Stoisisme (diajar oleh a.l. Zeno
dari Kition, 333-262 S.M.)
terutama terkenal karena etikanya. 13
Etika Stoisisme mengajarkan
bahwa manusia menjadi
berbahagia kalau ia bertindak
sesuai dengan akal budinya.
Kebahagiaan itu sama dengan
keutamaan. Kalau manusia
bertindak secara rasional, kalau ia
tidak dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya,
maka ia bebas berkat
ketenangan batin yang oleh
Stoisisme disebut "apatheia".
Epikurisme (dari Epikuros, 341-
270 S.M) juga terkenal karena
etikanya. Epikurisme mengajar
bahwa manusia harus mencari
kesenangan sedapat mungkin.
Kesenangan itu baik, asal selalu
sekadarnya. Karena "kita harus
memiliki kesenangan, tetapi
kesenangan tidak boleh memiliki
kita". Manusia harus bijaksana.
Dengan cara ini ia akan
memperoleh kebebasan batin.
Neo-platonisme. Seorang filsuf
Mesir, Plotinos (205-270 M.),
mengajarkan suatu filsafat yang
sebagian besar berdasarkan Plato
dan yang kelihatan sebagai suatu
agama. Neo-platonisme ini
mengatakan bahwa seluruh
kenyataan merupakan suatu proses
"emanasi" ("pendleweran") yang
berasal dari Yang Esa dan yang
kembali ke Yang Esa, berkat
"eros": kerinduan untuk kembali
ke asal ilahi dari segala sesuatu.
II. Jaman Patristik dan Skolastik
1.
.
Jaman Patristik, atau pemikiran para
Bapa Gereja
Patristik (dari kata Latin "Patres",
"Bapa-bapa Gereja") dibagi atas
Patristik Yunani (atau Patristik Timur)
dan Patristik Latin (atau Patristik
Barat). Tokoh-tokoh dari Patristik
Yunani antara lain Clemens dari
Aleksandria (150-215), Origenes (185-
254), Gregorius dari Nazianze (330-390),
Basillus (330-379), Gregorius
dari Nizza (335-394) dan Dionysios
Areopagita (± 500). Tokoh-tokoh dari
Patristik Latin terutama Hilarius (315-367),
Ambrosius (339-397),
Hieronymus (347-420) dan
Augustinus (354-430).
Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa
Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos.
Mereka berusaha untuk memperlihatkan
bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran
paling dalam dari manusia.
Mereka berhasil membela ajaran
Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir
kafir. Tulisan-tulisan Bapa-bapa
Gereja merupakan suatu sumber
yang kaya dan luas ynng sekarang
masih tetap memberi inspirasi baru.
2.. Jaman Skolastik
Sekitar tahun 1000 peranan Plotinos
diambil alih oleh Aristoteles. Aristoteles
menjadi terkenal kembali melalui
beberapa filsuf Islam dan Yahudi,
terutama melalui Avicena (Ibn sina,
980-1037), Averroes (Ibn Rushd, 1126-1198)
dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles lama-kelamaan
begitu besar sehingga ia disebut "Sang
Filsuf", sedangkan Averroes disebut
"Sang komentator". Pertemuan
pemikiran Aristoteles dengan iman
Kristiani menghasilkan banyak filsuf
penting. Mereka sebagian besar berasal
dari kedua ordo baru yang lahir dalam
Abad Pertengahan, yaitu para
Dominikan dan Fransiskan.
Filsafat mereka disebut Skolastik (dari
kata Latin, "scholasticus", "guru").
Karena, dalam periode ini filsafat
diajarkan dalam sekolah-sekolah biara
dan universitas-universitas menurut14
suatu kurikulum yang tetap dan yang
bersifat internasional. Tokoh-tokoh dari
Skolastik itu lebih-lebih Albertus
Magnus O.P. (1220-1280), Thomas
Aquinas O.P. (1225-1274),
Bonaventura O.F.M. (1217-1274) dan
Yohanes Duns Scotus O.F.M. (1266-
1308). Tema-tema pokok dari ajaran
mereka itu: hubungan iman-akal budi,
adanya dan hakikat Tuhan, antropologi,
etika dan politik. Ajaran skolastik
dengan sangat bagus diungkapkan
dalam pusisi Dante Alighieri (1265-
1321).
III. Jaman modern
1. Jaman Renaissance
Jembatan antara Abad
Pertengahan dan Jaman Modern,
periode antara sekitar 1400 dan
1600, disebut quot;renaissance"
(jaman "kelahiran kembali").
Dalam jaman renaissance,
kebudayaan klasik dihidupkan
kembali. Kesusasteraan, seni dan
filsafat mencapi inspirasi mereka
dalam warisan Yunani-Romawi.
Filsuf-filsuf terpenting dari
rainassance itu adalah Nicollo
Macchiavelli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1679),
Thomas More (1478-1535) dan
Francis Bacon (1561-1626).
Pembaharuan terpenting yang kelihatan
dalam filsafat renaissance itu
"antroposentris"-nya. Pusat perhatian
pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti
dalam jaman kuno, atau Tuhan, seperti
dalam Abad Pertengahan, melainkan
manusia. Mulai sekarang manusia-lah
yang dianggap sebagai titik fokus dari
kenyataan.
2
.
.
Jaman Barok
Filsuf-filsuf dari Jaman Barok: René
Descartes (1596-1650), Barukh de
3
.
Jaman Fajar Budi
Abad kedelapan belas memperlihatkan
perkembangan baru lagi. Setelah
reformasi, setelah renaissance dan setelah
rasionalisme dari Jaman Barok, manusia
sekarang dianggap "dewasa". Periode ini
dalam sejarah Barat disebut "Jaman
Pencerahan" atau "Fajar Budi" (dalam
bahasa Inggris, "Enlightenment", dalam
bahasa Jerman, "Aufkl&0228;rung").
Filsuf-filsuf besar dari jaman ini di Inggris
"empirikus-empirikus" seperti John
Locke (1632-1704), George Berkeley
(1684-1753) dan David Hume (1711-
1776). Di Perancis Jean Jacque
Rousseau (1712-1778) dan di Jerman
Immanuel Kant (1724-1804), yang
menciptakan suatu sintesis dari
rasionalisme dan empirisme dan yang
dianggap sebagai filsuf terpenting dari
jaman modern.
5
.
Jaman Romantik
Filsuf-filsuf besar dari Romantik lebih-lebih
berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte
(1762-1814), F. Schelling (1775-1854)
dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Aliran
yang diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut
"idealisme". Dengan idealisme di sini
dimaksudkan bahwa mereka
memprioritaskan ide-ide, berlawanan
dengan "materialisme" yang
memprioritaskan dunia material. Yang
terpenting dari para idealis kedua puluh
harus dianggap sebagai lanjutan dari
filsafat Hegel, atau justru sebagai reaksi
terhadap filsafat Hegel.
IV. Masa Kini15
Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan
belas sejarah filsafat Barat memperlihatkan
aliran-aliran yang besar, yang
mempertahankan diri lama dalam wilayah-wilayah
yang luas, yaitu rasionalisme,
empirisme dan idealisme. Dibandingkan
dengan itu, filsafat Barat dalam abad
kesembilan belas dan kedua puluh
kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam
aliran baru muncul, dan aliran-aliran ini
sering terikat pada hanya satu negara atau
satu lingkungan bahasa.
Aliran-aliran yang paling berpengaruh
yaitu positivisme, marxisme,
eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme,
neo-tomisme dan
fenomenologi. Tentang aliran-aliran dalam
filsafat dibahas secara khusus di dalam
submenu Aliran. Pada waktunya, ketujuh
aliran yang berpengaruh tadi juga akan kita
teliti satu persatu, karena rencananya
materi halaman ini akan senantiasa
diperbarui secara rutin. Sekarang ini hanya
disajikan suatu pengenalan saja.
Berikutnya...
Aliran-aliran paling baru
Pada sekarang ini ada dua aliran filsafat
yang mempunyai peranan besar, tetapi yang
belum dapat dianggap sebagai aliran yang
"membuat sejarah", karena mereka masih terlalu
baru. Kedua aliran ini adalah filsafat analitis dan
strukturalisme.
Filsafat analitis merupakan aliran
terpenting di Inggris dan Amerika
Serikat, sejak sekitar tahun 1950.
Filsafat analitis (yang juga disebut
analitic philosophy dan linguistic
philosophy) menyibukkan diri dengan
analisis bahasa dan analisis konsep-konsep.
Analisis ini dianggap sebagai
"terapi": menurut filsuf-filsuf analitis,
banyak soal falsafi (dan juga soal
teologis dan ilmiah) dapat "sembuh"
kalau, berkat analisis bahasa, bisa
ditunjukkan bahwa soal-soal ini hanya
diciptakan oleh pemakaian yang tidak
sehat dari bahasa. Filsafat analitis sangat
dipengaruhi oleh L. Wittgenstein
Strukturalisme berkembang di Perancis,
lebih-lebih sejak tahun 1960.
Strukturalisme merupakan suatu sekolah
dalam filsafat, linguistik, psikiatri,
fenomenologi agama, ekonomi dan
politikologi. Sturukturalisme
menyelidiki "patterns" (pola-pola dasar
yang tetap) dalam bahasa-bahasa,
agama-agama, sistem-sistem ekonomi
dan politik, dan dalam karya-karya
kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal
dari strukturalisme antara lain Cl. Lévi-Strauss,
J. Lacan dan Michel Foucault
Akhirnya, dalam sejarah filsafat kita
bertemu dengan hasil penyelidikan semua
cabang filsafat. Sejarah filsafat mengajarkan
jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir
besar, tema-tema yang dianggap paling
penting dalam periode-periode tertentu, dan
aliran-aliran besar yang menguasai pemikiran
selama suatu jaman atau di suatu bagian dunia
tertentu. Cara berpikir tentang manusia, tentang
asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian,
tentang kebebasan dan cinta, tentang yang baik
dan yang jahat, tentang materi dan jiwa, alam
dan sejarah. Tetapi ada banyak pertanyaan dan
jawaban yang selalu kembali, di segala jaman
dan di semua sudut dunia. Oleh karena itu
sejarah filsafat sesuatu yang sangat penting.
Karena dalam sejarah filsafat seakan-akan suatu
dialog antara orang dari semua jaman dan
kebudayaan tentang pertanyaan-pertanyaan yang
paling penting.
A L I R A N-ALIRAN FILSAFAT
Dalam perjalanannya, problem yang
dihadapi oleh manusia makin kompleks,
sehingga membutuhkan jawaban yang kompleks
pula. Jawaban yang diberikan terhadap suatu16
problem tidak selalu dapat tuntas, bahkan
kadang-kadang hanya sebagian kecil darinya
yang terjawab dengan baik. Karena latar
belakang yang berbeda-beda, baik dilihat dari
manusianya maupun tantangan atau problemnya,
maka berakibat juga pada beragamnya
bagaimana suatu jawaban diberikan.
Oleh karena itu, suatu problem yang
sama, karena dilihat dari berbagai sudut dan
arah, menimbulkan jawaban yang berbeda.
Timbullah bermacam-macam aliran dalam
filsafat.
Manusia memegang peranan yang
penting dalam munculnya aliran-aliran dalam
filsafat. Pada hakikatnya, karena ia mempunyai
unsur kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa, maka
setiap orang dapat menghasilkan filsafatnya
sendiri. Namun pada sisi yang lain, kenyataan
menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu
yang dapat mengemukakan pendapat serta ajaran
yang bernilai filsafati. Hambatan-hambatan yang
ditimbulkan oleh kata dan susunan kalimat
dalam suatu bahasa seringkali memaksa seorang
filsuf untuk menyusun kalimat atau rangkaian
kata baru semata-mata untuk bisa membuat
representasi yang mendekati apa yang
terkandung dalam pikirannya. Oleh karena
filsafat merupakan hasil permenungan jiwa
manusia yang terdalam, maka corak (sifat, khas)
dalam tiap-tiap aliran tidak terlepas dari unsur-unsur
yang menyusun manusia itu sendiri.
I. Corak yang sesuai dengan unsur jiwa
dan raga:
Manusia terdiri atas jiwa dan raga,
karenanya filsafat ada yang
menintikberatkan atau mengagungkan
jiwa atau memberi tempat yang tinggi
kepada jiwa atau unsur-unsur dalam.
Aliran yang termasuk jenis ini antara
lain adalah:
o Idealisme, yang memberi
tempat tertinggi pada idea.
o Spiritualisme, yang memberi
tempat tertinggi pada jiwa.
o Rasionalisme, yang memberi
tempat tertinggi pada akal.
Sebaliknya, ada yang menempatkan
unsur-unsur ragawi, unsur-unsur luar,
sebagai yang tertinggi. Termasuk dalam
aliran ini antara lain adalah:
o Materialisme, yang memberi
tempat tertinggi pada materi.
o Empirisme, yang memberi
tempat tertinggi pada
pengalaman.
o Sensisme, yang memberi tempat
tertinggi pada panca indera.
II. Corak yang sesuai dengan sifat individu
dan sosial:
Manusia memiliki sifat individu dan
sosial, karena itu pengejawantahan dari
sifat ini terlihat pula dalam corak aliran
filsafat. Ada yang mengagungkan sifat
individunya. Aliran yang termausk jenis
ini antara lain adalah:
o Individualisme, yang memberi
tempat tertinggi pada individu.
o Liberalisme, yang
mengagungkan hak mutlak
setiap individu.
Sebaliknya, ada yang mengagungkan
sifat sosialnya. Termasuk dalam aliran
ini adalah:
o Altruisme, yang mengutamakan
kepentingan orang lain semata-mata.
o Sosialisme, yang mengutamakan
kepentigan sosial lebih dari
kepentingan individu.
A L I R A N-ALIRAN FILSAFAT
I. Corak yang menyangkut hubungan
manusia dengan "Yang Mahakuasa":
Dalam hal ini, aliran di dalam filsafat
ada yang bercorak teistik, ada pula yang
ateistik. Misalnya, Tomisme memberi
tempat yang tinggi kepada Tuhan,
sedangkan Positivisme menolak teologi.
II. Corak perpaduan:
Karena ada aliran kefilsafatan yang17
menekankan atau mengagungkan salah
satu unsur, maka terjadi jurang pemisah
antara keduanya. Karena ada jurang
pemisah itu, timbullah usaha untuk
menghubungkan kedua sisinya yaitu
dengan membuat jembatan. Beberapa
contoh di antaranya adalah:
o Immanuel Kant (lahir 1724 di
Koningsbergen) berusaha
menjembatani antara
Rasionalisme dan Empirisme.
o G.W.F. Hegel (lahir 1770 di
Stuttgart) membuat jembatan
antara pendapat Fichte dengan
pendapat Friedrich Yoseph
Schelling.
Sistem fichte adalah idealisme
subjektif, sedang Schelling
adalah idealisme objektif.
Jembatan yang dibuat oleh
Hegel adalah idealisme absolut.
Inilah bentuk metode dialektik
Hegel yaitu Tesis-Antitesis-Sintesis.
Karena Sintesis pada
hakikatnya adalah suatu Tesis
Baru, maka dari padanya akan
timbul Antitesis baru, demikian
pula akan timbul Sintesis Baru,
dan seterusnya.
Pada bagian kali ini, kami akan
mengangkat satu aliran filsafat yang sangat
berpengaruh di Barat pada abad kedua puluh,
terutama setelah selesainya Perang Dunia
Kedua. Ialah "Eksistensialisme". Pembahasan
berikut ini akan menjadi model pembahasan
bagi aliran-aliran filsafat lainnya; di mana kami
secara rutin akan menambahkan materi-materi
baru dalam bagian ini, sehingga, mudah-mudahan,
seluruh aliran filsafat, utamanya
aliran-aliran yang besar, mendapat kesempatan
untuk disajikan ke hadapan pembaca.
Eksistensialisme
Dalam filsafat dibedakan antara esensia
dan eksistensia. Esensia membuat benda,
tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia,
sosok dari segala yang ada mendapatkan
bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi.
Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau
menjadi harimau. Manusia menjadi manusia.
Namun, dengan esensia saja, segala yang ada
belum tentu berada. Kita dapat membayangkan
kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia.
Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh
ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah
peran eksistensia.
Eksistensialis membuat yang ada dan
bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis.
Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat.
Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh,
berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai
hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti,
dan membentuk kelompok bersama manusia
lain. Selama masih bereksistensia, segala yang
ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun,
ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang
ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil,
tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga
menjadi kayu mangga. Harimau menjadi
bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting
peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat
nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Adapun
tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada,
apalagi hidup dan berperan.
o Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang menekankan
eksistensia. Para pengamat
eksistensialisme tidak
mempersoalkan esensia dari
segala yang ada. Karena
memang sudah ada dan tak ada
persoalan. Kursi adalah kursi.
Pohon mangga adalah pohon
mangga. Harimau adalah
harimau. Manusia adalah
manusia. Namun, mereka
mempersoalkan bagaimana
segala yang ada berada dan
untuk apa berada. Oleh karena
itu, mereka menyibukkan diri
dengan pemikiran tentang
eksistensia. 18
C A B A N G-CABANG FILSAFAT
Filsafat bertanya tentang seluruh
kenyataan, tetapi selalu salah satu segi dari
kenyataan yang sekaligus menjadi titik fokus
penyelidikan kita. Filsafat selalu bersifat
"filsafat tentang" sesuatu tertentu, misalnya:
filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat
kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat
bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat
pengetahuan, dan seterusnya.
Aristoteles mengadakan pengelompokan
sebagai berikut:
Sejarah logika, yaitu ajaran tentang
kategori, pengambilan kesimpulan dab
pembuktian serta topika yaitu dialektika,
Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi
antara lain tentang fisika, langit,
meteorologi, jiwa, binatang,
Etika,
Politik,
Bahasa dan seni.
Cassidorus menyebut tujuh macam seni liberal,
yaitu:
Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika,
Retorika, dan
Quadrivium yang terdiri atas Ilmu
hitung, Ilmu Ukur, Astronomi dan
Musik.
Kant (Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya
Terhadap Rasio Murni mengadakan pembagian
sebagai berikut:
Bagian pertama berisi ajaran elementer
yang transendental,
Bagian kedua berisi ajaran
transendental tentang metode.
Ajaran elementer tersebut dibagi lagi
menjadi estetika transendental, yang
membicarakan tentang kemampuan
inderawi dan logika transendental yang
membicarakan tentang kemampuan
berpikir. Logika dibagi lagi menjadi
analitika transendental dan dialektika
transendental. Selanjutnya dalam
Kritik-nya Terhadap Rasio Yang Praktik
ia banyak membicarakan tentang Etika
dan Religi.
Di dalam bukunya, Perspectives in Social
Philosophy (1967), Beck (1967) menyebut
lapangan filsafat, yaitu:
Epistemologi atau filsafat pengetahuan.
Yang dibicarakan antara lain adalah
sumber, kriteria, dan hakikat
pengetahuan.
Metafisika atau teori tentang realitas.
Yang dibicarakan antara lain segala
sesuatu yang ada, hekikat realita, prinsip
pemahaman kosmos.
Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri
atas etika, estetika dan filsafat
ketuhanan.
Demikian seterusnya terdapat jenis
penggolongan cabang-cabang filsafat. Katsoff
dalam bukunya Elements of Philosophy
mengadakan penggolongan sebagai berikut:
Logika, membicarakan tentang hukum-hukum
penyimpulan yang benar.
Metodologi, membicarakan tentang
teknik atau cara penelitian.
Metafisika, membicarakan tentang
segala sesuatu yang ada.
Ontologi, membicarakan tentang hakikat
segala sesuatu yang ada.
Kosmologi. membicarakan tentang
segala sesuatu yang ada yang teratur.
Epistemologi, membicarakan tentang
kebenaran.
Filsafat Biologi, membicarakan tentang
hidup.
Filsafat Psikologi, membicarakan
tentang jiwa.
Filsafat Antropologi, membicarakan
tentang manusia.
Filsafat Sosiologi, membicarakan
tentang masyarakat dan negara.
Etika, membicarakan tentang baik dan
buruk. 19
Estetika, membicarakan tentang indah.
Filsafat Agama, membicarakan tentang
agama.
Harry Hamersma di dalam bukunya Pintu
Masuk Ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981),
membicarakan sepuluh cabang filsafat, yang
masih dapat dikembalikan lagi kepada empat
bidang induk, sebagai berikut:
1. Filsafat tentang pengetahuan:
1. Epistemologi
2. Logika
3. Kritik ilmu-ilmu
2. Filsafat tentang keseluruhan
kenyataan:
1. Metafisika umum (atau,
ontologi)
2. Metafisika khusus, terdiri dari:
1. Teologi metafisik
(disebut juga "teodise"
dan "filsafat
ketuhanan")
2. Antropologi
3. Kosmologi (disebut juga
"filsafat alam")
3. Filsafat tentang tindakan:
1. Etika (disebut juga "filsafat
moral")
2. Estetika (disebut juga "filsafat
seni", "filsafat keindahan")
4. Sejarah filsafat
Berikut ini penjelasan masing-masing secara
lebih dalamnya:
Epsitemologi, merupakan "pengetahuan tentang
pengetahuan". Suatu studi tentang asal usul,
hakikat, dan jangkauan pengetahuan. Beberapa
pertanyaan yang mungkin diajukan dalam
espistemologi adalah: Apakah pengalaman
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan?
Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan
benar dan yang lain salah? Adakah soal-soal
penting yang tidak dapat dijawab oleh sains
(ilmu spesial)? Dapatkah kita mengetahui
pikiran perasaan orang lain?
Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus
diperhatikan supaya cara berpikir kita sehat.
Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai
untuk membedakan antara argumen yang masuk
akal dan argumen yang tidak masuk akal, serta
tentang berbagai bentuk argumentasi.
Contohnya: apa perbedaan antara pemikiran
induktif dan deduktif? Mengapa argumentasi
"Semua anjing adalah kucing. Sokrates adalah
anjing. Maka, Sokrates adalah kucing" dianggap
valid? Apa pebedaan antara logika penjelasan
ilmiah dan logika pertimbangan moral?
Kritik ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal,
metode, objek dari ilmu-ilmu ("filsafat ilmu").
Suatu studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas
ilmu pengetahuan. Adakah satu metode
yang khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah
perbedaan antara sebuah teori dan sebuah
hukum dalam ilmu pengetahuan? Apakah
hakikat penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan
manusia selaras dengan ilmu pengetahuan?
Berikutnya...
Ontologi, merupakan pengetahuan tentang
"semua pengada sejauh mereka ada". Suatu studi
yang membahas apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin ketahui, atau, dengan
perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang "ada".
Teologi metafisik, membicarakan tentang
pertanyaan apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama
ilahi. Suatu studi tentang hakikat, ragam
dan objek kepercayaan agama. Apa hubungan
antara akal dan iman? Apa sesungguhnya
agama? Dapatkah Allah diketahui lewat
pengalaman langsung? Dapatkah eksistensi
kejahatan didamaikan dengan iman akan suatu
Allah yang sempurna dan berpribadi? Apakah
istilah-istilah religius memiliki makna khusus?
Antropologi, membicarakan tentang manusia
("filsafat manusia"). Suatu studi yang
membicarakan manusia seluruhnya, dengan
segala sudutnya, namun dengan mementingkan
penggunaan metode filosofis dalam
penyelidikannya. 20
Kosmologi, membicarakan tentang alam,
kosmos. Suatu studi yang hendak mengetahui
"rahasia alam". Dari mana datangnya alam ini,
betapa terjadinya, bagaimana kemajuannya dan
ke mana sampainya?
Etika, membicarakan tentang tindakan manusia.
Suatu studi tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep
yang mendasari penilaian terhadap
perilaku manusia. Contohnya: Dengan patokan
apa kita membedakan antara tindakan yang
benar dan yang salah secara moral? Apakah
kesenangan merupakan satu-satunya ukuran
untuk menentukan sesuatu sebagai "baik"?
Apakah keputusasaan moral bersifat sewenang-wenang
atau sekehendak hati?
Estetika, mencoba menyelidiki mengapa sesuatu
dialami sebagai indah. Suatu studi tentang
prinsip-prinsip yang mendasari penilaian kita
atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni?
Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis?
Apa yang ditangkap, dialami, dirasakan dan
dihayati sebagai indah?
Sejarah filsafat dunia, mengajar apa jawaban
pemikir-pemikir jaman atas pertanyaan-pertanyaan
manusia.
Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian
seperti diuraikan di atas. Ada filsuf yang
menyangkal kemungkinan ontologi atau
kemungkinan seluruh metafisika. Namun,
pembagian seperti di atas ini merupakan sekma
yang paling klasik dan paling umum diterima.
Tentang keseluruhan cabang akan kita lihat satu
persatu secara mendalam pada waktu
mendatang, dalam bagian Cabang ini juga.
Demikian, materi halaman ini akan secara rutin
mengalami pembaruan ataupun penambahan.
FILSUF, HIDUP DAN KARYANYA
Filsuf (atau, filosof) atau disebut juga ahli pikir
ialah mereka yang gemar menilik sesuatu
realitas dengan kemerdekaan berpikir yang ada
padanya sampai sesuatu itu '"terbongkar"
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Apa yang
dilakukan oleh para filsuf tetap kembali pada
suatu usaha menemukan kebenaran, meskipun
jalan, metode yang dipakai berbeda-beda antara
satu filsuf dengan filsuf yang lain. Oleh
karenanya, tak heran bila muncul istilah-istilah
seperti "filsafat Plato", "filsafat Thomas",
"filsafat Kant", "filsafat Habermas", dan
seterusnya, di sampingnya "filsafat Yunani",
"filsafat India", "filsafat eksistensialisme", dsb.
Itu karena memang produk pemikiran masing-masing
filsuf tersebut adalah khas, tiada duanya,
baik dari segi: pola pemikirannya, titik tolak di
mana bermula, bahasa yang digunakannya, cara
penyampaiannya dan posisi (berpikir)nya,
meskipun para filsuf sendiri hidup dalam
konteks sejarah dengan segala suasana batin dan
pemikiran yang melingkupinya.
Apa yang diberikan oleh para filsuf kepada
masyarakat dunia, kalau boleh disebut demikian,
selalu menarik untuk ditinjau. Bagaimana suatu
persoalan dirumuskan, ditelaah, bagaimana
jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan
selalu diformulasi kembali sepanjang jaman,
hanya dalam rangka mencari kebenaran untuk
kemaslahatan kehidupan manusia, menurut visi
masing-masing. Masalah apakah kemudian suatu
pemikiran disepakati sebagai keliru bahkan
salah, karena telah dicapai pemikiran lain yang
lebih baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah
sejarah yang tidak mungkin dihapus. Adanya
sesuatu hari ini mau tak mau, suka tak suka
adalah sebagai akibat dari kontak dengan masa
lalu. Di sinilah dialektika terjadi, saling
berdebat, saling menanggapi.
Pemikiran para filsuf, apalagi filsuf besar,
adalah merupakan harta dunia yang tiada
terbilang nilainya. Jelas ia memberi sumbangan
bagi kemajuan berpikir berikutnya.
Sumbangannya bagi sejarah peradaban dunia
patut untuk disampaikan senantiasa oleh kita
yang hidup di jaman yang katanya modern ini;
minimal sebagai ungkapan terima kasih kita
kepada mereka, yang pemikirannya langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi
kehidupan kita hari ini. Untuk itulah adanya21
"Filsuf, Hidup dan Karyanya" ini. Kita mau
mengenal filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya.
Insya Allah, bagian ini secara periodik
akan membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran
dan kehidupannya, sejak filsafat
Yunani Klasik hingga filsafat yang berkembang
akhir-akhir ini.
BUKU-BUKU FILSAFAT
A. Bahasa Asing
Voltaire's Philosophical Dictionary
(1924 edition of selected entries) by
Voltaire, trans. by H. I. Woolf (HTML
at Hanover)
The Gift of Fire by Richard Mitchell
HTML at sourcetext.com
multiple formats in Australia
Beyond Modernization: Chinese Roots
for Global Awareness, ed. by Wang
Miaoyang, Yu Xuanmeng, and George
F. McLean (HTML at crvp.org)
The Human Person and Society, ed. by
Zhu Dasheng, Jin Xiping, and George F.
McLean (HTML at crvp.org)
Tradition, Harmony, and Transcendence
by George F. McLean (HTML at
crvp.org)
The Philosophy of Religion by Swami
Krishnananda (HTML at Divine Life
Society)
The Philosophy of Religion by Swami
Krishnananda and Swami Krishnananda
(HTML at Divine Life Society)
The Philosophy of the Panchadasi by
Swami Krishnananda (HTML at Divine
Life Society)
The Philosophy of the Panchadasi by
Swami Krishnananda (HTML at Divine
Life Society)
The Realisation of the Absolute by
Swami Krishnananda (HTML at Divine
Life Society)
The Realisation of the Absolute by
Swami Krishnananda (HTML at Divine
Life Society)
An Introduction to the Philosophy of
Yoga by Swami Krishnananda (HTML
at Divine Life Society)
An Introduction to the Philosophy of
Yoga by Swami Krishnananda (HTML
at Divine Life Society)
The Struggle for Perfection by Swami
Krishnananda (HTML at Divine Life
Society)
Resurgent Culture by Swami
Krishnananda (HTML at Divine Life
Society)
Resurgent Culture by Swami
Krishnananda (HTML at Divine Life
Society)
The Yoga Sutras of Patanjali: The Book
of the Spiritual Man by Patanjali, trans.
by Charles Johnston (Gutenberg text)
The Light of the Soul, Its Science and
Effect: A Paraphrase of the Yoga Sutras
of Patanjali, ed. by Alice Bailey
(HTML at netnews.org)
The Yoga Aphorisms of Patanjali by
Patanjali, trans. by William Quan Judge
and James Henderson Connelly (HTML
at TUP)
Brahma Sutras by Swami Sivananda
(HTML at Divine Life Society)
Authentic Human Destiny: The Paths of
Shankara and Heidegger by Vensus A.
George (HTML at crvp.org)
A History of Greek Philosophy, from the
Earliest Period to the Time of Socrates
(London: Longmans, Green, and Co.,
1881) by Eduard Zeller, trans. by Sarah
Frances Alleyne
volume 1: framed PDF at cwru.edu; 58
MB
volume 2: framed PDF at cwru.edu; 53
MB
Early Greek Philosophy (based on the
3rd edition, 1920) by John Burnet
(HTML at Evansville)
Laws by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Laws by Plato, trans. by Robert Gregg
Bury (HTML at Perseus)
Charmides by Plato, trans. by Walter
Rangeley Maitland Lamb (HTML at
Perseus) 22
Charmides by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Cratylus by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Cratylus by Plato, trans. by Harold
North Fowler (HTML at Perseus)
Crito by Plato, trans. by Harold North
Fowler (HTML at Perseus)
Crito by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML with commentary at uoregon.edu
HTML at Bartleby
Gutenberg text
Euthydemus by Plato, trans. by
Benjamin Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Euthydemus by Plato, trans. by Walter
Rangeley Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
Euthyphro by Plato, trans. by Harold
North Fowler (HTML at Perseus)
Euthyphro by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Gorgias by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Gorgias by Plato, trans. by Walter
Rangeley Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
Laches by Plato, trans. by Walter
Rangeley Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
Laches by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Meno by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Meno by Plato, trans. by Walter
Rangeley Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
Parmenides by Plato, trans. by
Benjamin Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Phaedo by Plato, trans. by Harold North
Fowler (HTML at Perseus)
Phaedo by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
HTML at Bartleby
Gutenberg text
Phaedrus by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Philebus by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Protagoras by Plato, trans. by Walter
Rangeley Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
Protagoras by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
The Republic by Plato, trans. by Paul
Shorey (HTML at Perseus)
The Republic of Plato (1901 Collier
edition) by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Virginia
text at Wiretap
The Republic (based on the 1892
edition; includes translator's full
commentary) by Plato, trans. by
Benjamin Jowett (Gutenberg text)
The Republic (based on the 1892
edition) by Plato, trans. by Benjamin
Jowett (HTML with commentary at
Internet Classics)
Sophist by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Sophist by Plato, trans. by Harold North
Fowler (HTML at Perseus) 23
Symposium by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Theaetetus by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Theaetetus by Plato, trans. by Harold
North Fowler (HTML at Perseus)
Timaeus by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
HTML at Internet Classics
Gutenberg text
Plato and Platonism by Walter Pater
(Golden Gale archive format)
On the Soul by Aristotle, trans. by J. A.
Smith (HTML at Internet Classics)
On Youth and Old Age, On Life and
Death, On Breathing by Aristotle, trans.
by G. R. T. Ross (HTML at Internet
Classics)
On Generation and Corruption by
Aristotle, trans. by H. H. Joachim
(HTML at Internet Classics)
Eudemian Ethics by Aristotle (HTML at
Perseus)
Nicomachean Ethics by Aristotle, trans.
by W. D. Ross
HTML at Internet Classics
HTML with chapter headings at
nothingistic.org
PDF at McMaster
Nicomachean Ethics by Aristotle, trans.
by Harris Rackham (HTML at Perseus)
Metaphysics by Aristotle, trans. by W.
D. Ross (HTML at Internet Classics)
Metaphysics by Aristotle, trans. by
Hugh Tredennick (HTML at Perseus)
Prior Analytics by Aristotle, trans. by A.
J. Jenkinson (HTML at Internet
Classics)
Posterior Analytics by Aristotle, trans.
by G. R. G. Mure (HTML at Internet
Classics)
Rhetoric by Aristotle, trans. by John
Henry Freese (HTML at Perseus)
Rhetoric by Aristotle, trans. by W. Rhys
Roberts (HTML at Internet Classics)
The Golden Sayings of Epictetus by
Epictetus, trans. by Hastings Crossley
(HTML at Bartleby)
The Golden Sayings of Epictetus, with
the Hymn of Cleanthes by Epictetus
(Gutenberg text)
The Discourses by Epictetus (HTML at
Internet Classics)
The Enchiridion by Epictetus (HTML at
utm.edu)
The Meditations of Marcus Aurelius
Antoninus by Marcus Aurelius
Antoninus, trans. by George Long
HTML at Internet Classics
HTML at Bartleby
Meditations of Marcus Aurelius by
Marcus Aurelius Antoninus, trans. by
Meric Casaubon, contrib. by W. H. D.
Rouse (Gutenberg text)
Alexandria and Her Schools by Charles
Kingsley (Gutenberg text)
New Platonism and Alchemy by
Alexander Wilder (HTML at theosophy-nw.
org)
De Dialectica by Saint Augustine, trans.
by Jim Marchand (HTML with
commentary here at Penn)
The Theological Tractates (English
versions of the Tractates only) by
Boethius, trans. by Hugh Fraser Stewart
and Edward Kennard Rand (page
images and partial HTML at CCEL)
The Consolation of Philosophy by
Boethius, trans. by W. V. Cooper
(HTML at Virginia)
The Six Enneads by Plotinus, trans. by
Stephen MacKenna and B. S. Page
(HTML at Internet Classics)
Medieval Western Philosophy: The
European Emergence (1999) by Patrick
J. Aspell (HTML at crvp.org)
Confessions (modernized, with
commentary) by Abu Hamid al-Ghazali,
trans. by Claud Field (HTML at
Fordham)
Historia Calamitatum: The Story of My
Misfortunes by Peter Abelard, trans. by
Henry Adams Bellows (HTML at
Fordham) 24
Basic Writings: Proslogium;
Monologium; Gaunilon's on Behalf of
the Fool; Cur Deus Homo by Saint
Anselm, trans. by Sidney Norton Deane
and James Gardiner Vose (HTML at
CCEL)
Ethical Implications of Unity and the
Divine in Nicholas of Cusa (1998) by
David J. De Leonardis (HTML at
crvp.org)
A Little Book of Eternal Wisdom by
Henry Suso (HTML at CCEL)
On Being and Essence by Saint Thomas
Aquinas, trans. by Robert T. Miller
(HTML at Fordham)
On the Principles of Nature by Saint
Thomas Aquinas, trans. by Jerry
Campbell (HTML at niagara.edu)
St. Thomas Aquinas and Medieval
Philosophy by Daniel Joseph Kennedy
(HTML at Notre Dame)
Ethica Thomistica: The Moral
Philosophy of Thomas Aquinas (revised
edition) by Ralph M. McInerny (HTML
at Notre Dame)
Giordano Bruno: The Forgotten
Philosopher by John J Kessler (HTML
at infidels.org)
Erasmus of the Low Countries
(Berkeley: University of California
Press, 1997) by James D. Tracy (HTML
at UC Press)
Oration on the Dignity of Man by
Giovanni Pico della Mirandola (HTML
at Santa Fe)
The Spirit of Modern Philosophy
(Boston: Houghton, Mifflin, 1892) by
Josiah Royce (HTML at Brock)
On Practice by Mao Tse-Tung (HTML
at marxists.org)
On Contradiction by Mao Tse-Tung
(HTML at marxists.org)
The Lowell Lectures on the Ascent of
Man by Henry Drummond (HTML at
CCEL)
Existentialism and Human Emotions by
Jean-Paul Sartre (HTML at BiblioBytes)
The Philosophy of Humanism (eighth
edition, 1997) by Corliss Lamont (PDF
at corliss-lamont.org)
The Genesis of a Humanist Manifesto by
Edwin H. Wilson (HTML at
infidels.org)
Pragmatism: A New Name For Some
Old Ways of Thinking by William James
(HTML at Brock)
The Revival of Scholastic Philosophy in
the Nineteenth Century by Joseph Louis
Perrier (HTML at Notre Dame)
Scholasticism by Joseph Rickaby
(HTML at Notre Dame)
Philosophy as Absolute Science by
Ephraim Langdon Frothingham (page
images at MOA)
The Human Intellect: With an
Introduction Upon Psychology and the
Soul by Noah Porter (page images at
MOA)
The Sciences of Nature Versus the
Science of Man by Noah Porter (page
images at MOA)
Elements of Intellectual Philosophy by
Hubbard Winslow (page images at
MOA)
The Unseen World and Other Essays by
John Fiske
HTML at Virginia
Gutenberg text
Essays in Radical Empiricism by
William James (text at Wiretap)
The Advancement of Learning by
Francis Bacon, ed. by Hartmut Krech
HTML at Renascence Editions
text in Germany
Valerius Terminus: On the
Interpretation of Nature (annotated
version) by Francis Bacon, ed. by
Robert Stephens and James Spedding,
contrib. by Gisela Engel and Robert
Leslie Ellis (Gutenberg text; unofficial
until 30 Jun 2002)
Valerius Terminus: On the
Interpretation of Nature by Francis
Bacon, ed. by Robert Stephens and
James Spedding, contrib. by Robert
Leslie Ellis (Gutenberg text; unofficial
until 30 Jun 2002)
Characters of Virtues and Vices by
Joseph Hall (HTML at Renascence
Editions) 25
Of the Conduct of the Understanding by
John Locke (HTML at Columbia)
An Essay Concerning Human
Understanding (6th edition) by John
Locke (HTML at Columbia)
An Essay Concerning Human
Understanding by John Locke (HTML
at McMaster)
A Letter Concerning Toleration by John
Locke, trans. by William Popple
(HTML at utm.edu)
Geometry No Friend to Infidelity by
James Jurin (in Ireland)
Three Dialogues Between Hylas and
Philonous by George Berkeley, ed. by
James Fieser (HTML at utm.edu)
A Treatise Concerning the Principles of
Human Knowledge by George Berkeley
(text at English Server)
The Analyst: A Discourse Addressed to
an Infidel Mathematician by George
Berkeley (in Ireland)
A Defence of Free-Thinking in
Mathematics by George Berkeley (in
Ireland)
An Essay Towards a New Theory of
Vision (4th edition) by George Berkeley
(HTML at York)
Disquisitions Relating to Matter and
Spirit by Joseph Priestly (page images
here at Penn)
The Scottish Philosophy by James
McCosh (HTML at utm.edu)
An Enquiry Concerning Human
Understanding by David Hume
HTML in Australia
HTML at Bartleby
text at Wiretap
Selected Works and Commentary. by
David Hume (HTML Hume Archives)
A Treatise of Human Nature by David
Hume (HTML at McMaster)
A Letter from a Gentleman to His
Friend in Edinburgh by David Hume
(HTML at utm.edu)
Adam Smith by James Anson Farrer
(HTML at McMaster)
The English Utilitarians by Leslie
Stephen
volume 1: HTML at McMaster
volume 2: HTML at McMaster
volume 3: HTML at McMaster
An Introduction to the Principles of
Morals and Legislation by Jeremy
Bentham
HTML at Texas
PDF at McMaster
The Rationale of Reward by Jeremy
Bentham (HTML at Texas)
Characteristics by Thomas Carlyle
HTML at Bartleby
HTML at BiblioBytes
Autobiography by John Stuart Mill
text at McMaster
HTML in Australia
HTML at Bartleby
Appearance and Reality: A
Metaphysical Essay (second edition) by
F. H. Bradley (Golden Gale archive
format)
A Free Man's Worship by Bertrand
Russell (HTML at Drew)
First Principles by Herbert Spencer
(HTML at McMaster; 1 MB)
What Is Thought? by James Hutchinson
Stirling (Golden Gale archive format)
Discourse on the Method of Rightly
Conducting the Reason by René
Descartes, trans. by John Veitch (text at
Wiretap)
Discourse on the Method by René
Descartes, trans. by Elizabeth Haldane
(HTML at utm.edu)
Meditations on the First Philosophy by
René Descartes, trans. by John Veitch
(HTML at wright.edu)
Meditations on First Philosophy by
René Descartes, trans. by Elizabeth
Haldane (HTML at utm.edu)
Thoughts by Blaise Pascal, trans. by W.
F. Trotter
HTML at Fordham
HTML at Bartleby
Pensées by Blaise Pascal, trans. by W.
F. Trotter
HTML at CCEL
text in Canada
The System of Nature: or, Laws of the
Moral and Physical World by Paul-26
Henri Holbach, trans. by H. D.
Robinson (PDF files at McMaster)
Man a Machine by Julien Offray de La
Mettrie, trans. by Gertrude Carman
Bussey (HTML with notes at Santa Fe
Institute)
Theosphic Correspondence Between
Louis Claude de Saint-Martin (The
"Unknown Philosopher") and
Kirchberger, Baron de Liebistorf by
Louis Claude de Saint-Martin and
Nicolas Antoine Kirchberger, trans. by
Edward Burton Penny (HTML at TUP)
The Positive Philosophy of Auguste
Comte by Auguste Comte, ed. by
Harriet Martineau
volume 1: PDF at McMaster
volume 2: PDF at McMaster
volume 3: PDF at McMaster
A New Philosophy: Henri Bergson by
Edouard Le Roy, trans. by Vincent
Benson (Gutenberg text)
The Range of Reason by Jacques
Maritain (HTML at Notre Dame)
The Monadology by Gottfried Wilhelm
Leibniz, trans. by George Montgomery
(HTML at utm.edu)
The Monadology by Gottfried Wilhelm
Leibniz, trans. by Robert Latta (text in
Sweden)
Fundamental Principles of the
Metaphysic of Morals by Immanuel
Kant, trans. by Thomas Abbott (test in
Sweden)
The Philosophy of Law: An Exposition
of the Fundamental Principles of
Jurisprudence as the Science of Right by
Immanuel Kant (text files in Sweden)
The Critique of Practical Reason by
Immanuel Kant, trans. by Thomas
Abbott (text in Sweden)
The Critique of Pure Reason by
Immanuel Kant, trans. by J. M. D.
Meiklejohn (text in Sweden)
The Critique of Judgement by Immanuel
Kant (text in Sweden)
The Role of the Sublime in Kant's Moral
Metaphysics by John R. Goodreau
(HTML at crvp.org)
Prolegomena to Any Future
Metaphysics by Immanuel Kant, trans.
by Paul Carus (HTML at utm.edu)
Kant's System of Perspectives by
Stephen Palmquist (HTML in Hong
Kong)
Philosophy of Right by Georg Wilhelm
Friedrich Hegel, trans. by S. W. Dyde
(PDF at McMaster)
The Phenomenology of Mind by Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, trans. by J. B.
Baillie (HTML at Idaho)
The Logic of Hegel (or, the "Shorter
Logic") by Georg Wilhelm Friedrich
Hegel, trans. by William Wallace
(HTML at marxists.org)
Studies in the Hegelian Dialectic by
John McTaggart Ellis McTaggart
PDF at McMaster
Golden Gale archive format
Studies in Hegelian Cosmology by John
McTaggart Ellis McTaggart (PDF at
McMaster)
Hegel's Logic: An Essay in
Interpretation by John Grier Hibben
(PDF at McMaster)
The Origin and Significance of Hegel's
Logic: A General Introduction to
Hegel's System by J. B. Baillie (PDF at
McMaster)
Ludwig Feuerbach and the End of
Classical German Philosophy by
Friedrich Engels (text files at Colorado)
Letters Upon the Aesthetic Education of
Man by Friedrich Schiller (HTML at
Fordham)
Thus Spake Zarathustra by Friedrich
Nietzsche, trans. by Thomas Common
text at eserver.org
Gutenberg text
The Antichrist by Friedrich Nietzsche,
trans. by H. L. Mencken (HTML at
Friedrich Nietzsche Society)
The Quintessence of Nietzsche by James
M. Kennedy (Golden Gale archive
format)
The Philosophy of Friedrich Nietzsche
by H. L. Mencken (HTML at
undergroundmind.com) 27
Nietzsche by Paul Elmer More (HTML
at execpc.com)
The Hidden Life: Hagiographic Essays,
Meditations, Spiritual Texts by Edith
Stein (HTML in Austria)
Truth and Knowledge by Rudolf Steiner
(HTML at elib.com)
Wittgenstein and Kierkegaard: Religion,
Individuality and Philosophical Method
by Charles L. Creegan (HTML in New
Zealand)
A Theologico-Political Treatise by
Benedict de Spinoza, trans. by R. H. M.
Elwes (HTML with commentary at
erols.com)
The Ethics by Benedict de Spinoza,
trans. by R. H. M. Elwes (HTML with
commentary at erols.com)
On the Improvement of the
Understanding by Benedict de Spinoza,
trans. by R. H. M. Elwes
HTML at Santa Fe Institute
HTML with commentary at erols.com
Gutenberg text
Czech Philosophy in the XXth Century,
ed. by Lubomir Novy, Ji Gabriel, and
Jaroslav Hroch (HTML at crvp.org)
Philosophy in Pakistan, ed. by Naeem
Ahmad (HTML at crvp.org)
U.G. Krishnamurti: A Life by Mahesh
Bhatt (HTML at well.com)
The Filipino Mind by Leonardo N.
Mercado (HTML at crvp.org)
Chinese Cultural Traditions and
Modernization, ed. by Wang Miaoyang,
Yu Xuanmeng, and George F. McLean
(HTML at crvp.org)
Economic Ethics and Chinese Culture,
ed. by Yu Xuanmeng, Lu Xiaohe, Liu
Fangtong, Zhang Rulun, and Georges
Enderle (HTML at crvp.org)
Philosophy and Modernization in China,
ed. by Liu Fangtong, Huang Songjie,
and George F. McLean (HTML at
crvp.org)
Confucianism, Buddhism, Daoism,
Christianity, and Chinese Culture by
Tang Yi-Jie (HTML at crvp.org)
The Foundations of Social Life:
Ugandan Philosophical Studies I by A.
T. Dalfovo, P. Kaboha, J. K. Kigongo,
S. A. Mwanahewa, and Zubairi 'b.
Nasseem (HTML at crvp.org)
Identity and Change: Nigerian
Philosophical Studies, I, ed. by
Theophilus Okere (HTML at crvp.org)
Person and Community: Ghanaian
Philosophical Studies, I, ed. by Kwasi
Wiredu and Kwame Gyekye (HTML at
crvp.org)
The First Principles of Knowledge by
John Rickaby (HTML at Notre Dame)
A New Logic (Chicago: Open Court
Publishing Company, 1912) by Charles
Arthur Mercier (illustrated HTML at
GeoCities)
Logic Primer by Colin Allen and
Michael Hand (frame-dependent HTML
at TAMU)
Elements of Logic by Henry Philip
Tappan (page images at MOA)
The Logic of Chance: An Essay on the
Foundations and Province of the Theory
of Probability, With Especial Reference
to its Logical Bearings and its
Application to Moral and Social Science
(second edition; London: Macmillan and
Co., 1876) by John Venn (page images
in Germany)
The Tree of Philosophy (third edition)
by Stephen Palmquist (HTML in Hong Kong)
The Problems of Philosophy by Bertrand
Russell (HTML at voyageronline.net)
Scientific Fact and Metaphysical Reality
by Robert Brandon Arnold (Golden
Gale archive format)
The Revealing Word: A Dictionary of
Metaphysical Terms by Charles
Fillmore (HTML at websyte.com)
The Nature of Metaphysical Knowledge,
ed. by George F. McLean and Hugo
Meynell (HTML at crvp.org)
Epistemology: Theory of Knowledge
(delisted: author's web site appears to be
gone) by Archie J. Bahm
National Identity as an Issue of
Knowledge and Morality, ed. by N. V.
Chavchavadze, Ghia Nodia, and Paul
Peachey (HTML at crvp.org) 28
The Intuitions of the Mind Inductively
Investigated by James McCosh (page
images at MOA)
The Bases of Values in a Time of
Change: Chinese and Western, ed. by
Kirti Bunchua, Liu Fangtong, Yu
Xuanmeng, and Yu Xujin (HTML at
crvp.org)
The Social Context and Values:
Perspectives of the Americas, ed. by
George F. McLean and Olinto Pegoraro
(HTML at crvp.org)
The Evolving Mind by Ben Goertzel
(HTML at goertzel.org)
Do It! Let's Get Off Our Buts (revised
edition) by Peter McWilliams (HTML at
mcwilliams.com)
Life 101: Everything We Wish We Had
Learned About Life in School -- But
Didn't by Peter McWilliams (HTML at
mcwilliams.com)
Essays in Life and Eternity by Swami
Krishnananda (HTML at Divine Life
Society)
The Philosophy of Life: A Critical
Exposition of the Fundamental
Principles in Eastern and Western
Philosophy in the Light of the Doctrines
of Swami Sivananda by Swami
Krishnananda (HTML at Divine Life
Society)
By the Late John Brockman by John
Brockman (HTML at edge.org)
Man Into Superman by Robert C. W.
Ettinger (illustrated HTML at
cryonics.org)
Man and Nature: The Chinese Tradition
and the Future, ed. by Tang Yi-Jie, Li
Zhen, and George Mclean (HTML at
crvp.org)
Person and Society, ed. by George F.
McLean and Hugo Meynell (HTML at
crvp.org)
The Philosophy of Person: Solidarity
and Cultural Creativity: Polish
Philosophical Studies, I, ed. by Józef
Tischner, J. M. Yciski, and George F.
McLean (HTML at crvp.org)
I Learn by Gora (HTML at aracnet.com)
On the Eternity of the World by Saint
Thomas Aquinas, trans. by Robert T.
Miller (HTML at Fordham)
Rational Cosmology by Laurens P.
Hickok (page images at MOA)
The Problem of Human Destiny: or, The
End of Providence in the World and
Man by Orville Dewey (page images at
MOA)
On Causation, With a Chapter on Belief
(London: Longman's Green and Co.,
1916) by Charles Arthur Mercier
(HTML at GeoCities)
Person and Nature, ed. by George F.
McLean and Hugo Meynell (HTML at
crvp.org)