Mu’adz D’Fahmi
Tafsir
klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi,
anti-konteks,status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan
tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama
menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial,
ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.
Saat
ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu
model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian
golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat
kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari
semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan
baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti
hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra,
pendekatan kontekstual, dan posmodernis.
Dengan
pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta
tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut-
marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan
relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang
mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika
sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan
tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam
al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna
atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak
tidak memuaskan atau dianggap superfisial. Pendekatan hermeneutika dalam tafsir
al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia
teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal
yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu
yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang
mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi
historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika
mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan
hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
Tokoh
utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913),
seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam
kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916),
Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda
atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya. Pada
perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran
intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab
tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam
dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin
keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan
strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan
tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti.
Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda
al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide
adalah baku dan
tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan
dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing
pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang
mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang
menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika
post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan
strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat
dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang
disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke
suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai
hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter.
Menurut Roland Barthes, pertanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens).
Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang
menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda
bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus
dari penandanya.
Jacques
Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada
perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua
naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural
bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada
banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan
apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa
menimbulkan “multiple-understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha
pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh
struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif.
Untuk
tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas
membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi
kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of
possibilities) yang terdapat pada teks. Condition of possibilities merupakan
kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang
sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika
memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian
lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih
paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
***
Berkaitan
dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan
multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti
ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya
entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model
definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda). Eco menunjukkan
adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam
linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan
tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah
Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa
terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan
penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai
dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar,
atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi
unsur-unsur baru.
Agar
bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan
munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang
terbuka dan mirip dengan ensiklopedia. Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan
ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan
menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan
status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat
ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan,
baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan
dampak positifnya secara langsung.[]
Mu’adz
D’Fahmi. Mahasiswa Tafsir-Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta . Pemimpin Redaksi Buletin INSIGHT,
IMM Cab. Ciputat
No comments:
Post a Comment