Penyusun: Yoyo
Hambali[1]
[1] Penyusun
saat ini adalah Ketua Umum Komunitas Studi Agama dan Filsafat ISLAMADINA dan
Staff Peneliti pada International Institute of Islamic Thought-Indonesia
(IIIT-I).
Apakah
filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama yang kita
hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah "filsafat"
dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
a.
Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab 'falsafah', yang
berasal dari bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' = cinta,
suka
(loving), dan 'sophia' = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi 'philosophia'
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya,
setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada
pengetahuan disebut 'philosopher', dalam bahasa Arabnya 'failasuf".
Pecinta
pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya,
atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b.
Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti 'alam
pikiran' atau 'alam berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua
berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa "setiap manusia adalah
filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan
tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang
berpikir adalah filsuf.
Filsuf
hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh
dan mendalam.
Tegasnya:
Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Kata
Falsafah berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata
benda-kerja (mashdar) yang diturunkan dari kata philosophia,
yang merupakan gabungan dari philos
dan sophia; yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti
kebijkasanaan. Sehingga falsafah dapat diartikan; cinta kebijaksanaan. Plato
menyebut Socrates sebagai Philoshopos
(filosof) yakni sorang pecinta kebijaksanaan.
Oleh karena itu, kata falsafah merupakan hasil arabisasi, suatu mashdar yang
berarti
kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Sebelum
Socrates, ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sopist (kaum sopist)
yang berarti para cendikiawan. Mereka menjadikan pepsepsi manusia sebagai
ukuran realitas (kebenaran hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru
dalam kesimpulan-kesimpulan mereka. Secara bertahap kata ‘sopist’ (sopist,
sopisthes) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang
menggunakan hujah-hujah keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry
(cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai kata yang sama dalam bahasa
Arab dengan kata safsathah, dengan arti yang sama.
Socrates,
karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan menghindarkan diri dengan
kamu sophis, melarang orang menyebut dirinya seorang sophis, seorang
cendikiawan.
Oleh
karena itu, ia menyebut dirinya seorang filosof, (philosophos), pecinta kebijaksanaan,
pecinta kebenaran, menggantikan sophistes yang berarti sarjana. Gelar yang terakhir
ini merosot derajatnya menjadi orang yang menggunakan penalaran yang salah. Filsafat
(philosophia) kemudian menjadi sama artinya dengan kebijkasanaan (kearifan).
Oleh karena itu, philosophos (folosof) sebagai suatu istilah Teknis tidak
dipakaikan pada seorangpun sebelum socrates dan begitu juga sesudahnya.
Istlah
philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu, bahkan Aristoteles
pun tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat)
dan philoshopos (filosof) semakin meluas.
Dikalangan
muslim mengambil filsafat dari bahasa Yunani. Lalu mereka memberi sighat (bentuk)
dan menggunakannya unutuk mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsafat
menurut pemakaian para filosof muslim secara umum tidak merujuk kepada disiplin
sains tertentu; ia meliputi semua sains rasional, bukan ilmu yang diwahyukan
atau yang diriwayatkan seperti etimologi, retorika, sharaf, tafsir, hadis dan
hukum Oleh katrena itu hanya orang yang menguasai semua sains rasional termasuk
didalamnya matematika, ekonomi, etika, teologi, yang dapat disebut sebagai
filosof.
Ketika
Kaum muslim mengembangakan klasifikasi ilmu Aristoteles, mereka memasukkan kata
falsafah atau hikmah. Mereka mengatakan; Filsafat yaitu sains rasional mempunyai
dua bagian; teoritis dan praktis. Filsafat teoritis menggambarkan sesuatu sebagaimana
adanya sedangkan filsafat praktis menggambarkan perilaku manusia sebagaimana seharusnya.
Filsafat
teroritis terdiri dari tiga bagian: teologi (filsafat tinggi), matematika
(filsafat menengah), dan ilmu-ilmu kealaman (filsafat rendah). Filsafat tinggi
mempunyai du adisiplin, fenomenologi umum dan teologi itu sendiri. Matematiiak
terdiri dari empat bagian; aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Sedangkan
ilmu alam mempunyai banyak bagian. Filsafat praktis dibagi menjadi etika, ekonomi
domestik dan kewarganegaraan (civics).
Filosof yang mumpuni menguasai seluruh
sains tersebut. Menurut pandangan filosof, filsafat universal, teologi,
metafisika, filsafat tinggi mempunyai kedudukan yang khusus dibanding sains
yang lain, karena pertama, filsafat ini mempunyai demontrasi dan kepastian,
kedua karena ketidakbergantungannya dengan sains yang lain dan ketiga bahwa
filsafat lebih umum
dan
universal dibanding dengan sains yang lain.
Pengetahuan
kita tentang segala sesuatu terdiri atas dua macam; pertama, yang dapat dibatasi
pada spesies atau genus tertentu, ia dapat berlaku pada ketentuan (ahkam) dan aksiden
dari spesies dan aksiden tertentu, sebagaimana pengetahuan kita mengenai ketentuan
bilangan (aritmatika), kuantitas (geometri), sifat tanaman, hewan, ilmu
kedokteran.
Bentuk ini meliputi seluruh sains mineralogi, fisika, kimia, geologi , ilmu
atom dll.
Kedua,
pengetahuan yang tidak dapat dibatasi pada spesies tertentu. Pengetahuan tentang
wujud ini bukan pada bagian-bagian dari dari spesies tertentu, akan tetapi
pengetahuan yang hakiki tentang seluruh wujud. Misalnya pertanyaan pertanyaan
tentang tubuh bukan pada kaki dan kepala akan tetapi misalnya; Jika tubuh mempunyai
kepala, apakah kepala ini mempunyai jiwa yang dapat berpikir dan merasa,
ataukah ia lemah dan kosong. Apakah keseluruhan tubuh mersakan kenikmatan kehidupan,
atau apakah intelegensi dan persepsi tubuh ini dibatsai pada sejumlah entitas
yang timbul secara kebetulan? Atau, apakah seluruhtubuh mengejar suatu tujuan,
ataukah seluruh tubuh berjalan ke arah suatu kesempurnaanrealitas?.
Bagian
studi yang menyangkut organologi alam makhluk adalah sains, sedangkan bagian
yang membahas fisiologi alam semesta secara keseluruhan adalah filsafat.
Perubahan
linguistik yang menyangkut konvensi penggunaan kata telah disalah artikan sebagai
perubahan makna yang berkaitan dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam bahasa
zaman kuno, kata-kata filsafat dan hikmah digunakan dalam pengetahuan rasional,
bukan pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Jadi kata-kata tersebut melingkupi
semua ide-ide intelektual dan rasional manusia. Pada zaman modern, kata ini
menjadi terbats pada metafisika, logika, estetika dan yang sejenis. Hal hal
berbeda dengan zaman sebelumnya dimana filsafat meliputi semua ilmu. Sains
dulunya pernah terpadu dibawah nama filsafat tetapi kini nama tersebut hanya dinisbahkan
pada sejenis sains.
Perubahan
makna dalam nama ini tidak ada kaitannya dengan perpisahan antara sains dan
filsafat. Sains tidak pernah merupakan bagian dari kata filsafat; sehingga
tidak mungkin sains bisa terpisah dari filsafat. Memberkan rumusan yang pasti
tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong!
Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit
mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun
mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya
beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing
filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas
agar kita tidak tersesat arah di dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud
ini, maka pengertian tersebut haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak
orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak bersama.
Baiklah
kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana
kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya
cinta, mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta
akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang
berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran
sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan
yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.
Dari
arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum. Filsafat
adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki
hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut
sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir
yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada
suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang
tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang
hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar antara
"filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains".
Ilmu membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau
alam empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana"
dan "apa sebabnya". Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna,
kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan
konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris. Philosophy: Inquiry into the nature of things based
on logical reasoning rather than empirical methods (The Grolier Int. Dict.).
Filsafat
meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan
"ke mana". Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat
dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang mencari tahu
tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana terjadinya dan ke
mana tujuannya. Maka, jika para filsuf
ditanyai, "Mengapa A percaya akan Allah", mereka tidak akan menjawab,
"Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di sekolahnya untuk percaya
kepada Allah," atau "Karena A kebetulan sedang gelisah, dan ide tentang
suatu figur bapak membuatnya tenteram." Dalam hal ini, para filsuf tidak berurusan
dengan sebab-sebab, melainkan dengan dasar-dasar yang mendukung atau menyangkal
pendapat tentang keberadaan Allah.
Tugas
filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul
dalam kehidupan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Sampai dengan
kedua pengertian di atas, marilah kita simak apa kata Kattsoff (1963)
di dalam bukunya Elements of
Philosophy untuk melengkapi
pengertian kita tentang "filsafat":
• Filsafat adalah berpikir secara kritis.
• Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
• Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
• Filsafat adalah berpikir secara rasional.
• Filsafat harus bersifat komprehensif.
Kemudian
Windelband, seperti dikutip Hatta
dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani,
"Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu
keadaan atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis,
"Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya
diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak
hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh
pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai,
mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman
sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar
mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai
penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat,
filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya
mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya
rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai
prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan
itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa
bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada
kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan
hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap ideologi kemajuan akan
dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan
kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada
fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan
Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja.
Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan
negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun
yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan
oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno,
Berfilsafat Dari Konteks,Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk
menutup pemahaman awal kitamengenai terminologi "filsafat", baiklah
dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang
hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai
filsafat hidup" yang sering
kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian
kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi"
atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah
filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir
dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang
muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik.
Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa
memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah
karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak
melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan
gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan,
"mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali
dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan
mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu.
Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".
Sekarang
kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu
dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering
dipersoalkan. Ada
yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama,
demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara ketiganya,
yang tak jarang merugikan bagi5 kepentingan pencarian akan kebenaran itu sendiri.
Relasi
Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah
diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran.
Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran.
Kebenaran
dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran
menurutagama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha
mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan
melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai, ... secara
damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu
sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang
diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat
dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam
ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan
kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama
akandiperlihatkan sebagai berikut: Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat
sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah
mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di
dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu
adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika
ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya:
dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan
diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik
beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan
pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu
manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan
pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya
akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi
sosial. Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi
lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu.
Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya
terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya
akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan
lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia,
akan tetapi hakikat manusia yang ada di
balik tubuh, kebudayaan dan hubungan
tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan
istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam
filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
• Monisme,
yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam,
misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran
spiritualisme, materialisme, atomisme.
• Dualisme,
yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak
berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak
terdapat hubungan.
• Triadisme,
yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan
roh.
• Pluralisme,
yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara,
air dan tanah.
Di
samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai
bernilai filsafati. Misalnya:
• Aristoteles:
o Manusia adalah animal
rationale.
Karena,
menurutnya, ada tahap
perkembangan:
Benda mati ->
tumbuhan
-> binatang ->
manusia
.
Tumbuhan
= benda mati
+
hidup ----> tumbuhan
memiliki
jiwa hidup
. Binatang = benda mati
+
hidup + perasaan ---->
binatang
memiliki jiwa
perasaan
.
Manusia
= benda mati +
hidup
+ akal ---->
manusia
memiliki jiwa
rasional
o Manusia adalah zoon
poolitikon,
makhluk
sosial.
o Manusia adalah "makhluk
hylemorfik", terdiri atas materi
dan
bentuk-bentuk.
• Ernest Cassirer: manusia adalah animal
simbolikum
Manusia ialah binatang
yang
mengenal simbol, misalnya adat-istiadat,
kepercayaan,
bahasa. Inilah
kelebihan
manusia jika dibandingkan
dengan
makhluk lainnya. Itulah
sebabnya
manusia dapat
mengembangkan
dirinya jauh lebih
hebat
daripada binatang yang hanya
mengenal
tanda dan bukan simbol.
Demikianlah
disebutkan beberapa
contoh
mengenai bentuk jawaban yang berupa
filsafat.
Dari contoh tersebut, filsafat adalah
pendalaman
lebih lanjut dari ilmu (Hasil
pengkajian
filsafat selanjutnya menjadi dasar
bagi
eksistensi ilmu). Di sinilah batas
kemampuan
akal manusia. Dengan akalnya ia
tidak
akan dapat menjawab pertanyaan yang
lebih
dalam lagi mengenai manusia. Dengan
akalnya,
manusia hanya mampu memberi
jawaban
dalam batas-batas tertentu. Hal ini
sesuai
dengan pendapat Immanuel Kant dalam
Kritiknya
terhadap rasio yang murni, yaitu
manusia
hanya dapat mengenal fenomena
belaka,
sedang bagaimana nomena-nya ia tidak
tahu.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
yang
dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut
mengenai
manusia adalah agama; misalnya,
tentang
pengalaman apa yang akan dijalani
setelah
seseorang meninggal dunia. Jadi,
sesungguhnya
filsafat tidak hendak menyaingi
agama.
Filsafat tidak hendak menambahkan
suatu
kepercayaan baru. Bertrand Russel
mencatat
August Comte pernah mencobanya,
namun
ia gagal. "Dan ia patut bernasib
demikian,"
demikian Russel.
Selanjutnya,
filsafat dan ilmu juga
dapat
mempunyai hubungan yang baik dengan
agama.
Filsafat dan ilmu dapat membantu
menyampaikan
lebih lanjut ajaran agama
kepada
manusia. Filsafat membantu agama
dalam
mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks
sucinya.
Filsafat membantu dalam
memastikan
arti objektif tulisan wahyu. Filsafat
menyediakan
metode-metode pemikiran untuk
teologi.
Filsafat membantu agama dalam
menghadapi
masalah-masalah baru. Misalnya,
mengusahakan
mendapat anak dengan in vitro
fertilization
("bayi tabung") dapat dibenarkan
bagi
orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab
Suci
diam seribu bahasa tentang bayi tabung.
Filsafatlah,
dalam hal ini etika, yang dapat
merumuskan
permasalahan etis sedemikian
rupa
sehingga agama dapat menjawabnya
berdasarkan
prinsip-prinsip moralitasnya
sendiri.
Sebaliknya,
agama dapat membantu
memberi
jawaban terhadap problem yang tidak
dapat
dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan
filsafat.
Meskipun demikian, tidak juga berarti
bahwa agama adalah di luar rasio, agama
adalah
tidak rasional. Agama bahkan
mendorong
agar manusia memiliki sikap hidup
yang
rasional: bagaimana manusia menjadi
manusia
yang dinamis, yang senantiasa
bergerak,
yang tak cepat puas dengan perolehan
yang
sudah ada di tangannya, untuk lebih
mengerti
kebenaran, untuk lebih mencintai
kebaikan,
dan lebih berusaha agar cinta Allah
kepadanya
dapat menjadi dasar cintanya kepada7
sesama
sehingga bersama-sama manusia yang
lain
mampu membangun dunia ini.
Dengan
cara menyadari keadaan serta
kedudukan
masing-masing, maka antara ilmu
dan
filsafat serta agama dapat terjalin hubungan
yang
harmonis dan saling mendukung. Karena,
semakin
jelas pula bahwa seringkali pertanyaan,
fakta
atau realita yang dihadapi seseorang adalah
hal
yang sama, namun dapat dijawab secara
berbeda
sesuai dengan proporsi yang dimiliki
masing-masing
bidang kajian, baik itu ilmu,
filsafat
maupun agama. Ketiganya dapat saling
menunjang
dalam menyelesaikan persoalan yang
timbul
dalam kehidupan.
Demikianlah
pemahaman yang kita
miliki
sekarang mengenai terminologi "filsafat"
dan
kedudukannya di antara ilmu dan agama.
SEJARAH
FILSAFAT
Manusia,
masyarakat, kebudayaan dan
alam
sekitar memiliki hubungan yang erat.
Keempatnya-lah
yang telah menyusun dan
mengisi
sejarah filsafat dengan masing-masing
karakteristik
yang dibawanya. Berdasar keempat
hal
tersebut juga, pada umumnya para filsuf
sepakat
untuk membagi sejarah filsafat menjadi
3
tradisi besar, yakni Sejarah Filsafat India ,
Sejarah
Filsafat Cina, dan Sejarah Filsafat Barat.
Dua
pembahasan pertama diuraikan pada
submenu
Sejarah I ini. Sedangkan, pembahasan
tentang
Sejarah Filsafat Barat dapat ditemukan
dalam
submenu Sejarah II.
Filsafat
India
Filsafat
India
berpangkal pada
keyakinan
bahwa ada kesatuan fundamental
antara
manusia dan alam, harmoni antara
individu
dan kosmos. Harmoni ini harus disadari
supaya
dunia tidak dialami sebagai tempat
keterasingan,
sebagai penjara. Seorang anak di
benda,
dengan dunia sekelilingnya, bahwa ia
harus
menyambut air yang mengalir dalam
sungai,
tanah subur yang memberi makanan, dan
matahari
yang terbit. Orang India
tidak belajar
untuk menguasai dunia,
melainkan untuk
berteman
dengan dunia.
1.
Jaman Weda (2000-600 S.M.)
Bangsa
Arya masuk India
dari utara,
sekitar
1500 S.M. Literatur suci mereka
disebut
Weda. Bagian terpenting dari
Weda
untuk filsafat India
adalah
Upanisad, yang sepanjang sejarah India
akan
merupakan sumber yang sangat
kaya
untuk inspirasi dan pembaharuan.
Suatu
tema yang menonjol dalam
Upanisad
adalah ajaran tentang
hubungan
Atman dan Brahman. Atman
adalah
segi subyektif dari kenyataan,
diri
manusia. Brahman adalah segi
obyektif,
makro-kosmos, alam semesta.
Upanisad
mengajar bahwa manusia
mencapai
keselamatan (moksa, mukti)
kalau
ia menyadari identitas Atman dan
Brahman.
2.
Jaman Skeptisisme (200 S.M.-300 M.)
Sekitar
tahun 600 S.M. mulai suatu
reaksi,
baik terhadap ritualisme imam-imam
maupun
terhadap spekulasi
berhubungan
dengan korban para rahib.
huruf
kitab suci, tetapi ketaatan ini
mengganggu
kebaktian kepada dewa-dewa.
"metafisika"
yang juga tidak sampai ke
hati
orang biasa. Reaksi datang dalam
banyak
bentuk. Yang terpenting adalah
Buddhisme, ajaran dari pangeran
Gautama
Buddha, yang memberi
pedoman
praktis untuk mencapai
keselamatan:
bagaimana manusia
mengurangi
penderitaannya, bagaimana
manusia
mencapai terang budi.
Reaksi
lain datang dari Jainisme dari
Mahawira
Jina. Di samping itu mulai
juga
kebaktian yang lebih eksklusif8
kepada
Siwa dan Wisnu, dua bentuk
agama
yang lebih menarik daripada
ritualisme
dan spekulasi para imam dan
rahib.
Sebagai
kontra-reformasi, muncul
dalam
Hinduisme resmi enam sekolah
ortodoks
(disebut "ortodoks", karena
Buddhisme
dan Jainisme, yang tidak
berdasar
Weda, dianggap bidaah). Yang
terpenting
dari sekolah ini adalah
Samkhya
dan Yoga. Yoga, dari kata
"juj", "menghubungkan", mengajar
suatu
jalan ("marga") untuk mencapai
kesatuan
dengan ilahi. Samkhya
(artinya:
"jumlah", "hitungan")
mengajarkan
tema terpenting hubungan
alam-jiwa,
kesadaran materi, hubungan
Purusa-Prakriti. Berikutnya...
3.
Jaman Puranis (300-1200)
Setelah
tahun 300, Buddhisme mulai
lenyap
dari India .
Buddhisme sekarang
lebih
penting di negara-negara tetangga
daripada
di India
sendiri. Pemikiran
dikuasai
oleh spekulasi teologis,
terutama
mengenai inkarnasi-inkarnasi
dewa-dewa.
Banyak contoh cerita
tentang
inkarnasi dewa-dewa terdapat
dalam
dua epos besar, Mahabharata dan
Ramayana.
4.
Jaman Muslim (1200-1757)
Dua
nama menonjol dalam periode
muslim,
yaitu nama pengarang sya'ir
Kabir, yang mencoba untuk
memperkembangkan
suatu agama
universal,
dan Guru Nanak (pendiri
aliran
Sikh), yang mencoba
menyerasikan
Islam dan Hinduisme.
5.
Jaman Modern (setelah 1757)
Jaman
modern, jaman pengaruh Inggris
di
India, mulai tahun 1757. Periode ini
memperlihatkan
perkembangan kembali
dari
nilai-nilai klasik India ,
bersama
dengan
pembaharuan sosial. Nama-nama
terpenting
dalam periode ini
adalah
Raja Ram Mohan Roy (1772-
1833),
yang mengajar suatu monoteisme
berdasarkan
Upanisad dan suatu moral
berdasarkan
khotbah di bukit dari Injil,
Vivekananda
(1863-1902), yang
mengajar
bahwa semua agama benar,
tapi
bahwa agama Hindu paling cocok
untuk India ; Gandhi (1869-1948),
dan
Rabindranath
Tagore (1861-1941),
pengarang
syair dan pemikir religius
yang
membuka pintu untuk ide-ide dari
luar.
Sejumlah
pemikir India
jaman sekarang
melihat
banyak kemungkinan untuk dialog
antara
filsafat Timur, yang dianggap terlalu
mistik
dan filsafat Barat, yang dianggap terlalu
duniawi.
Radhakrishnan (1888-1975)
mengusulkan
pembongkaran batas-batas
ideologis
untuk mencapai suatu sinkretisme
hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola
berpikir
masa depan seluruh dunia. Sementara
itu,
filsafat India dapat belajar dari rasionalisme
dan
positivisme Barat. Filsafat Barat dapat
belajar
dari intuisi Timur mengenai kesatuan
dalam
kosmos dan mengenai identitas
makrokosmos
dan mikrokosmos.
Filsafat
Cina
Ada
tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat
cina,
yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan. Selalu dicarikan
keseimbangan,
harmoni, suatu jalan tengah
antara
dua ekstrem: antara manusia dan sesama,
antara
manusia dan alam, antara manusia dan
surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan
untuk
pendapat-pendapat yang sama sekali
berbeda
dari pendapat-pendapat pribadi, suatu
sikap
perdamaian yang memungkinkan
pluralitas
yang luar biasa, juga dalam bidang9
agama.
Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran
Cina
lebih antroposentris daripada filsafat India
dan
filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu
merupakan
pusat filsafat Cina.
Ketika
kebudayaan Yunani masih berpendapat
bahwa
manusia dan dewa-dewa semua dikuasai
oleh
suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika
kebudayaan
India masih mengajar bahwa kita di
dunia
ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang
terus-menerus,
maka di Cina sudah diajarkan
bahwa
manusia sendiri dapat menentukan
nasibnya
dan tujuannya. Filsafat Cina dibagi atas
empat
periode besar:
Empat
periode besar.
I.
Jaman Klasik (600-200 S.M.)
Menurut
tradisi, periode ini ditandai
oleh
seratus sekolah filsafat: seratus
aliran
yang semuanya mempunyai
ajaran
yang berbeda. Namun, kelihatan
juga
sejumlah konsep yang dipentingkan
secara
umum, misalnya "tao" ("jalan"),
"te" ("keutamaan" atau "seni hidup"),
"yen" ("perikemanusiaan"), "i"
("keadilan"),
"t'ien" ("surga") dan "yin-yang"
(harmoni
kedua prinsip induk,
prinsip
aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan).
Sekolah-sekolah
terpenting
dalam
jaman klasik adalah:
1.
Konfusianisme
Konfusius
(bentuk Latin dari
nama Kong-Fu-Tse,
"guru dari
suku
Kung") hidup antara 551
dan
497 S.M. Ia mengajar
bahwa Tao ("jalan"
sebagai
prinsip
utama dari kenyataan)
adalah
"jalan manusia". Artinya:
manusia
sendirilah yang dapat
menjadikan
Tao luhur dan
mulia,
kalau ia hidup dengan
baik.
Keutamaan merupakan
jalan
yang dibutuhkan.
Kebaikan
hidup dapat dicapai
melalui
perikemanusiaan
("yen"), yang
merupakan model
untuk
semua orang. Secara
hakiki
semua orang sama
walaupun
tindakan mereka
berbeda.
2.
Taoisme
Taoisme
diajarkan oleh Lao
Tse
("guru tua") yang hidup
sekitar
550 S.M. Lao Tse
melawan
Konfusius. Menurut
Lao
Tse, bukan "jalan manusia"
melainkan
"jalan alam"-lah
yang
merupakan Tao. Tao
menurut
Lao Tse adalah prinsip
kenyataan
objektif, substansi
abadi
yang bersifat tunggal,
mutlak
dan tak-ternamai. Ajaran
Lao
Tse lebih-lebih metafisika,
sedangkan
ajaran Konfusius
lebih-lebih
etika. Puncak
metafisika
Taoisme adalah
kesadaran
bahwa kita tidak tahu
apa-apa
tentang Tao. Kesadaran
ini juga
dipentingkan di India
(ajaran
"neti", "na-itu": "tidak
begitu")
dan dalam filsafat Barat
(di
mana kesadaran ini disebut
"docta
ignorantia",
"ketidaktahuan
yang berilmu").
3.
Yin-Yang
"Yin" dan "Yang" adalah dua
prinsip
induk dari seluruh
kenyataan.
Yin itu bersifat pasif,
prinsip
ketenangan, surga,
bulan,
air dan perempuan,
simbol
untuk kematian dan
untuk
yang dingin. Yang itu
prinsip
aktif, prinsip gerak,
bumi,
matahari, api, dan laki-laki,
simbol
untuk hidup dan
untuk
yang panas. Segala
sesuatu
dalam kenyataan kita
merupakan
sintesis harmonis
dari
derajat Yin tertentu dan
derajat
Yang tertentu. 10
4.
Moisme
Aliran
Moisme didirikan oleh
Mo
Tse, antara 500-400 S.M.
Mo Tse
mengajarkan bahwa
yang
terpenting adalah "cinta
universal",
kemakmuran untuk
semua orang,
dan perjuangan
bersama-sama
untuk
memusnahkan
kejahatan.
Filsafat
Moisme sangat
pragmatis, langsung terarah
kepada
yang berguna. Segala
sesuatu
yang tidak berguna
dianggap
jahat. Bahwa perang
itu
jahat serta menghambat
kemakmuran
umum tidak sukar
untuk
dimengerti. Tetapi Mo
Tse
juga melawan musik
sebagai
sesuatu yang tidak
berguna,
maka jelek. Etika Mo
Tse
mengenal suatu prinsip
bahwa...
Berikutnya...
5.
Ming Chia
Ming
Chia atau "sekolah nama-nama",
menyibukkan
diri dengan analisis istilah-istilah
dan
perkataan-perkataan. Ming
Chia,
yang juga disebut "sekolah
dialektik",
dapat dibandingkan dengan
aliran
sofisme dalam filsafat Yunani.
Ajaran
mereka penting sebagai analisis
dan
kritik yang mempertajam perhatian
untuk
pemakaian bahasa yang tepat, dan
yang
memperkembangkan logika dan
tatabahasa.
Selain itu dalam Ming Chia
juga
terdapat khayalan tentang hal-hal
seperti
"eksistensi", "relativitas",
"kausalitas",
"ruang" dan "waktu".
6. Fa
Chia
Fa
Chia atau "sekolah hukum",
cukup
berbeda
dari semua aliran klasik lain.
Sekolah
hukum tidak berpikir tentang
manusia,
surga atau dunia, melainkan
tentang
soal-soal praktis dan politik. Fa
Chia
mengajarkan bahwa kekuasaan
politik
tidak harus mulai dari contoh baik
yang
diberikan oleh kaisar atau
pembesar-pembesar
lain, melainkan dari
suatu
sistem undang-undang yang keras
sekali.
Tentang
keenam sekolah klasik tersebut,
kadang-kadang
dikatakan bahwa mereka
berasal
dari keenam golongan dalam
masyarakat
Cina. Berturut-turut: (1) kaum
ilmuwan,
(2) rahib-rahib, (3) okkultisme
(dari
ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5)
para
pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.
III.
Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200
S.M.-1000
M.)
Bersama
dengan perkembangan
Buddhisme
di Cina, konsep Tao mendapat
arti
baru. Tao sekarang dibandingkan
dengan
"Nirwana" dari ajaran Buddha,
yaitu
"transendensi di seberang segala
nama
dan konsep", "di seberang adanya".
IV.
Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari
tahun 1000 M. Konfusianisme klasik
kembali
menjadi ajaran filsafat terpenting.
Buddhisme
ternyata memuat unsur-unsur
yang
bertentangan dengan corak berpikir
Cina.
Kepentingan dunia ini, kepentingan
hidup
berkeluarga dan kemakmuran
material,
yang merupakan nilai-nilai
tradisional
di Cina, sema sekali dilalaikan,
bahkan
disangkal dalam Buddhisme,
sehingga
ajaran ini oleh orang dianggap
sebagai
sesuatu yang sama sekali asing.
V.
Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah
modern mulai di Cina sekitar
tahun
1900. Pada permulaaan abad kedua
puluh
pengaruh filsafat Barat cukup besar.
Banyak
tulisan pemikir-pemikir Barat
diterjemahkan
ke dalam bahasa Cina.
Aliran
filsafat yang terpopuler adalah
pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di
Amerika
Serikat. Setelah pengaruh Barat
ini
mulailah suatu reaksi, kecenderungan11
kembali
ke tradisi pribumi. Terutama
sejak
1950, filsafat Cina dikuasai
pemikiran
Marx, Lenin dan Mao Tse
Tung.
Demikian
sejarah filsafat yang berlangsung
Timur:
India dan Cina. Berikutnya, kita akan
melihat
sejarah filsafat Barat, yang dimulai di
Asia
Kecil dan memuat pemikir-pemikir dan
aliran-aliran
dari Eropa, Asia, Afrika dan
Amerika.
Termasuk filsafat Barat: filsafat
Yunani,
filsafat Helenisme, "filsafat Kristiani",
filsafat
Islam, filsafat jaman renaissance, jaman
modern
dan masa kini.
Sejarah
filsafat Barat dibagi dalam empat
periode
besar:
I.
Jaman Kuno
1.
Permulaan: Filsafat Pra-Sokrates
di
Yunani
Sejarah
filsafat Barat mulai
Milete,
di Asia kecil, sekitar
tahun
600 S.M. Pada waktu itu
Milete
merupakan kota yang
penting,
di mana banyak jalur
perdagangan
bertemu di Mesir,
Itali,
Yunani dan Asia. Juga
banyak
ide bertemu di sini,
sehingga
Milete juga menjadi
suatu
pusat intelektual. Pemikir-pemikir
besar
di Milete lebih-lebih
menyibukkan
diri dengan
filsafat
alam. Mereka mencari
suatu
unsur induk ("archè")
yang
dapat dianggap sebagai
asal
segala sesuatu. Menurut
Thales
(± 600 S.M.) air-lah
yang
merupakan unsur induk
ini.
Menurut Anaximander (±
610-540
S.M.), segala sesuatu
berasal
dari "yang tak terbatas",
dan
menurut Anaximenes (±
585-525
S.M.) udara-lah yang
merupakan
unsur induk segala
sesuatu.
Pythagoras (± 500
S.M.)
yang mengajar di Itali
Selatan,
adalah orang pertama
yang
menamai diri "filsuf". Ia
memimpin
suatu sekolah filsafat
yang
kelihatannya sebagai suatu
biara
di bawah perlindungan
dari
dewa Apollo. Sekolah
Pythagoras
sangat penting untuk
perkembangan
matematika.
Ajaran
falsafinya mengatakan
antara
lain bahwa segala sesuatu
terdiri
dari "bilangan-bilangan":
struktur
dasar kenyataan itu
"ritme".
Dua
nama lain yang penting
dari
periode ini adalah
Herakleitos
(± 500 S.M.) dan
Parmenides
(515-440 S.M.).
Herakleitos
mengajarkan bahwa
segala
sesuatu "mengalir"
("panta rhei"):
segala sesuatu
berubah
terus-menerus seperti
air
dalam sungai. Parmenides
mengatakan
bahwa kenyataan
justru
memang tidak berubah.
Segala
sesuatu yang betul-betul
ada,
itu kesatuan mutlak yang
abadi
dan tak terbagikan.
2.
Puncak Jaman Klasik: Sokrates,
Plato,
Aristoteles
Puncak
filsafat Yunani dicapai
pada
Sokrates, Plato dan
Aristoteles.
Sokrates (± 470-
400
S.M.), guru Plato, mengajar
bahwa
akal budi harus menjadi
norma
terpenting untuk tindakan
kita.
Sokrates sendiri tidak
menulis
apa-apa. Pikiran-pikirannya
hanya
dapat
diketahui
secara tidak langsung
melalui
tulisan-tulisan dari
cukup
banyak pemikir Yunani
lain,
terutama melalui karya12
Plato. Plato (428-348 S.M.)
menggambarkan
Sokrates
sebagai
seorang alim yang
mengajar
bagaimana manusia
dapat
menjadi berbahagia berkat
pengetahuan
tentang apa yang
baik.
Plato
sendiri menentukan,
bersama
Aristoteles, bagi
sebagian
besar dari seluruh
sejarah
filsafat Barat selama
lebih
dari dua ribu tahun. Dunia
yang
kelihatan, menurut Plato,
hanya
merupakan bayangan dari
dunia
yang sungguh-sungguh,
yaitu
dunia ide-ide yang abadi.
Jiwa
manusia berasal dari dunia
ide-ide.
Jiwa di dunia ini
terkurung
di dalam tubuh.
Keadaan
ini berarti
keterasingan.
Jiwa kita rindu
untuk
kembali ke "surga ide-ide".
Kalau
jiwa "mengetahui"
sesuatu,
pengetahuan ini
memang
bersifat "ingatan". Jiwa
pernah
berdiam dalam
kebenaran
dunia ide-ide, dan
oleh
karena itu pengetahuan
mungkin
sebagai hasil
"mengingat".
3.
Filsafat Plato merupakan
perdamaian
antara ajaran
Parmenides
dan ajaran
Herakleitos.
Dalam
dunia ide-ide segala
sesuatu
abadi, dalam dunia yang
kelihatan,
dunia kita yang tidak
sempurna,
segala sesuatu
mengalami
perubahan. Filsafat
Plato,
yang lebih bersifat khayal
daripada
suatu sistem
pengetahuan,
sangat dalam dan
sangat
luas dan meliputi logika,
epistemolgi,
antropologi,
teologi,
etika, politik, ontologi,
filsafat
alam dan estetika.
Aristoteles
(384-322 S.M.),
pendidik
Iskandar Agung, adalah
murid
Plato. Tetapi dalam banyak
hal ia
tidak setuju dengan Plato.
Ide-ide
menurut Aristoteles tidak
terletak
dalam suatu "surga" di atas
dunia
ini, melainkan di dalam
benda-benda
sendiri. Setiap benda
terdiri
dari dua unsur yang tak
terpisahkan,
yaitu materi ("hylè")
dan
bentuk ("morfè"). Bentuk-bentuk
dapat
dibandingkan dengan
ide-ide
dari Plato. Tetapi pada
Aristoteles
ide-ide ini tidak dapat
dipikirkan
lagi lepas dari materi.
Materi
tanpa bentuk tidak ada.
Bentuk-bentuk
"bertindak" di
dalam
materi. Bentuk-bentuk
memberi
kenyataan kepada materi
dan
sekaligus merupakan tujuan
dari
materi. Filsafat Aristoteles
sangat
sistematis. Sumbangannya
kepada
perkembangan ilmu
pengetahuan
besar sekali. Tulisan-tulisan
Aristoteles
meliputi bidang
logika,
etika, politik, metafisika,
psikologi
dan ilmu alam.
4.
Helenisme
Iskandar
Agung mendirikan
kerajaan
raksasa, dari India Barat
sampai
Yunani dan Mesir.
Kebudayaan
Yunani yang
membanjiri
kerajaan ini disebut
Hellenisme
(dari kata "Hellas",
"Yunani").
Helenisme yang masih
berlangsung
juga selama kerajaan
Romawi,
mempunyai pusat
intelektualnya
di tiga kota besar:
Athena,
Alexandria (di Mesir) dan
Antiochia
(di Syria). Tiga aliran
filsafat
yang menonjol dalam
jaman
Helenisme, yaitu Stoisisme,
Epikurisme
dan Neo-platonisme.
Stoisisme
(diajar oleh a.l. Zeno
dari
Kition, 333-262 S.M.)
terutama
terkenal karena etikanya. 13
Etika
Stoisisme mengajarkan
bahwa
manusia menjadi
berbahagia
kalau ia bertindak
sesuai
dengan akal budinya.
Kebahagiaan
itu sama dengan
keutamaan.
Kalau manusia
bertindak
secara rasional, kalau ia
tidak
dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya,
maka
ia bebas berkat
ketenangan
batin yang oleh
Stoisisme
disebut "apatheia".
Epikurisme
(dari Epikuros, 341-
270
S.M) juga terkenal karena
etikanya.
Epikurisme mengajar
bahwa
manusia harus mencari
kesenangan
sedapat mungkin.
Kesenangan
itu baik, asal selalu
sekadarnya.
Karena "kita harus
memiliki
kesenangan, tetapi
kesenangan
tidak boleh memiliki
kita".
Manusia harus bijaksana.
Dengan
cara ini ia akan
memperoleh
kebebasan batin.
Neo-platonisme. Seorang filsuf
Mesir,
Plotinos (205-270 M.),
mengajarkan
suatu filsafat yang
sebagian
besar berdasarkan Plato
dan
yang kelihatan sebagai suatu
agama.
Neo-platonisme ini
mengatakan
bahwa seluruh
kenyataan
merupakan suatu proses
"emanasi" ("pendleweran") yang
berasal
dari Yang Esa dan yang
kembali
ke Yang Esa, berkat
"eros": kerinduan untuk kembali
ke
asal ilahi dari segala sesuatu.
II.
Jaman Patristik dan Skolastik
1.
.
Jaman
Patristik, atau pemikiran para
Bapa
Gereja
Patristik
(dari kata Latin "Patres",
"Bapa-bapa
Gereja") dibagi atas
Patristik
Yunani (atau Patristik Timur)
dan Patristik Latin (atau
Patristik
Barat).
Tokoh-tokoh dari Patristik
Yunani
antara lain Clemens dari
Aleksandria
(150-215), Origenes (185-
254), Gregorius dari
Nazianze (330-390),
Basillus
(330-379), Gregorius
dari
Nizza (335-394) dan Dionysios
Areopagita
(± 500). Tokoh-tokoh dari
Patristik
Latin terutama Hilarius (315-367),
Ambrosius
(339-397),
Hieronymus
(347-420) dan
Augustinus
(354-430).
Ajaran
falsafi-teologis dari Bapa-bapa
Gereja
menunjukkan pengaruh Plotinos.
Mereka
berusaha untuk memperlihatkan
bahwa
iman sesuai dengan pikiran-pikiran
paling
dalam dari manusia.
Mereka
berhasil membela ajaran
Kristiani
terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir
kafir.
Tulisan-tulisan Bapa-bapa
Gereja
merupakan suatu sumber
yang
kaya dan luas ynng sekarang
masih
tetap memberi inspirasi baru.
2..
Jaman Skolastik
Sekitar
tahun 1000 peranan Plotinos
diambil
alih oleh Aristoteles. Aristoteles
menjadi
terkenal kembali melalui
beberapa
filsuf Islam dan Yahudi,
terutama
melalui Avicena (Ibn sina,
980-1037),
Averroes (Ibn Rushd, 1126-1198)
dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh
Aristoteles lama-kelamaan
begitu
besar sehingga ia disebut "Sang
Filsuf",
sedangkan Averroes disebut
"Sang
komentator". Pertemuan
pemikiran
Aristoteles dengan iman
Kristiani
menghasilkan banyak filsuf
penting.
Mereka sebagian besar berasal
dari
kedua ordo baru yang lahir dalam
Abad
Pertengahan, yaitu para
Dominikan
dan Fransiskan.
Filsafat
mereka disebut Skolastik (dari
kata
Latin, "scholasticus", "guru").
Karena,
dalam periode ini filsafat
diajarkan
dalam sekolah-sekolah biara
dan
universitas-universitas menurut14
suatu
kurikulum yang tetap dan yang
bersifat
internasional. Tokoh-tokoh dari
Skolastik
itu lebih-lebih Albertus
Magnus
O.P. (1220-1280), Thomas
Aquinas
O.P. (1225-1274),
Bonaventura
O.F.M. (1217-1274) dan
Yohanes
Duns Scotus O.F.M. (1266-
1308).
Tema-tema pokok dari ajaran
mereka
itu: hubungan iman-akal budi,
adanya
dan hakikat Tuhan, antropologi,
etika
dan politik. Ajaran skolastik
dengan
sangat bagus diungkapkan
dalam
pusisi Dante Alighieri (1265-
1321).
III.
Jaman modern
1.
Jaman Renaissance
Jembatan
antara Abad
Pertengahan
dan Jaman Modern,
periode
antara sekitar 1400 dan
1600,
disebut quot;renaissance"
(jaman
"kelahiran kembali").
Dalam
jaman renaissance,
kebudayaan
klasik dihidupkan
kembali.
Kesusasteraan, seni dan
filsafat
mencapi inspirasi mereka
dalam
warisan Yunani-Romawi.
Filsuf-filsuf
terpenting dari
rainassance
itu adalah Nicollo
Macchiavelli
(1469-1527),
Thomas
Hobbes (1588-1679),
Thomas
More (1478-1535) dan
Francis
Bacon (1561-1626).
Pembaharuan
terpenting yang kelihatan
dalam
filsafat renaissance itu
"antroposentris"-nya.
Pusat perhatian
pemikiran
itu tidak lagi kosmos, seperti
dalam
jaman kuno, atau Tuhan, seperti
dalam Abad
Pertengahan, melainkan
manusia.
Mulai sekarang manusia-lah
yang
dianggap sebagai titik fokus dari
kenyataan.
2
.
.
Jaman
Barok
Filsuf-filsuf
dari Jaman Barok: René
Descartes
(1596-1650), Barukh de
3
.
Jaman
Fajar Budi
Abad
kedelapan belas memperlihatkan
perkembangan
baru lagi. Setelah
reformasi, setelah renaissance
dan setelah
rasionalisme
dari Jaman Barok, manusia
sekarang
dianggap "dewasa". Periode ini
dalam
sejarah Barat disebut "Jaman
Pencerahan"
atau "Fajar Budi" (dalam
bahasa
Inggris, "Enlightenment", dalam
bahasa
Jerman, "Aufkl&0228;rung").
Filsuf-filsuf
besar dari jaman ini di Inggris
"empirikus-empirikus"
seperti John
Locke
(1632-1704), George Berkeley
(1684-1753)
dan David Hume (1711-
1776).
Di Perancis Jean Jacque
Rousseau
(1712-1778) dan di Jerman
Immanuel
Kant (1724-1804), yang
menciptakan
suatu sintesis dari
rasionalisme
dan empirisme dan yang
dianggap
sebagai filsuf terpenting dari
jaman
modern.
5
.
Jaman
Romantik
Filsuf-filsuf
besar dari Romantik lebih-lebih
berasal
dari Jerman, yaitu J. Fichte
(1762-1814),
F. Schelling (1775-1854)
dan G.W.F. Hegel (1770-1831).
Aliran
yang
diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut
"idealisme". Dengan idealisme di sini
dimaksudkan
bahwa mereka
memprioritaskan
ide-ide, berlawanan
dengan
"materialisme" yang
memprioritaskan
dunia material. Yang
terpenting
dari para idealis kedua puluh
harus
dianggap sebagai lanjutan dari
filsafat
Hegel, atau justru sebagai reaksi
terhadap
filsafat Hegel.
IV.
Masa Kini15
Dalam
abad ketujuh belas dan kedelapan
belas
sejarah filsafat Barat memperlihatkan
aliran-aliran
yang besar, yang
mempertahankan
diri lama dalam wilayah-wilayah
yang
luas, yaitu rasionalisme,
empirisme
dan idealisme. Dibandingkan
dengan
itu, filsafat Barat dalam abad
kesembilan
belas dan kedua puluh
kelihatan
terpecah-pecah. Macam-macam
aliran
baru muncul, dan aliran-aliran ini
sering
terikat pada hanya satu negara atau
satu
lingkungan bahasa.
Aliran-aliran
yang paling berpengaruh
yaitu positivisme, marxisme,
eksistensialisme,
pragmatisme, neo-kantianisme,
neo-tomisme
dan
fenomenologi. Tentang aliran-aliran dalam
filsafat
dibahas secara khusus di dalam
submenu
Aliran. Pada waktunya, ketujuh
aliran
yang berpengaruh tadi juga akan kita
teliti
satu persatu, karena rencananya
materi
halaman ini akan senantiasa
diperbarui
secara rutin. Sekarang ini hanya
disajikan
suatu pengenalan saja.
Berikutnya...
Aliran-aliran
paling baru
Pada
sekarang ini ada dua aliran filsafat
yang
mempunyai peranan besar, tetapi yang
belum
dapat dianggap sebagai aliran yang
"membuat
sejarah", karena mereka masih terlalu
baru.
Kedua aliran ini adalah filsafat analitis dan
strukturalisme.
•
Filsafat
analitis merupakan aliran
terpenting
di Inggris dan Amerika
Serikat,
sejak sekitar tahun 1950.
Filsafat
analitis (yang juga disebut
analitic
philosophy dan linguistic
philosophy) menyibukkan diri dengan
analisis
bahasa dan analisis konsep-konsep.
Analisis
ini dianggap sebagai
"terapi":
menurut filsuf-filsuf analitis,
banyak
soal falsafi (dan juga soal
teologis
dan ilmiah) dapat "sembuh"
kalau,
berkat analisis bahasa, bisa
ditunjukkan
bahwa soal-soal ini hanya
diciptakan
oleh pemakaian yang tidak
sehat
dari bahasa. Filsafat analitis sangat
dipengaruhi
oleh L. Wittgenstein
• Strukturalisme berkembang
di Perancis,
lebih-lebih
sejak tahun 1960.
Strukturalisme
merupakan suatu sekolah
dalam
filsafat, linguistik, psikiatri,
fenomenologi
agama, ekonomi dan
politikologi.
Sturukturalisme
menyelidiki
"patterns" (pola-pola dasar
yang
tetap) dalam bahasa-bahasa,
agama-agama,
sistem-sistem ekonomi
dan
politik, dan dalam karya-karya
kesusasteraan.
Tokoh-tokoh terkenal
dari
strukturalisme antara lain Cl.
Lévi-Strauss,
J.
Lacan dan Michel Foucault
Akhirnya,
dalam sejarah filsafat kita
bertemu
dengan hasil penyelidikan semua
cabang
filsafat. Sejarah filsafat mengajarkan
jawaban-jawaban
yang diberikan oleh pemikir-pemikir
besar,
tema-tema yang dianggap paling
penting
dalam periode-periode tertentu, dan
aliran-aliran
besar yang menguasai pemikiran
selama
suatu jaman atau di suatu bagian dunia
tertentu.
Cara berpikir tentang manusia, tentang
asal
dan tujuan, tentang hidup dan kematian,
tentang
kebebasan dan cinta, tentang yang baik
dan
yang jahat, tentang materi dan jiwa, alam
dan
sejarah. Tetapi ada banyak pertanyaan dan
jawaban
yang selalu kembali, di segala jaman
dan di
semua sudut dunia. Oleh karena itu
sejarah
filsafat sesuatu yang sangat penting.
Karena
dalam sejarah filsafat seakan-akan suatu
dialog
antara orang dari semua jaman dan
kebudayaan
tentang pertanyaan-pertanyaan yang
paling
penting.
A
L I R A N-ALIRAN FILSAFAT
Dalam
perjalanannya, problem yang
dihadapi
oleh manusia makin kompleks,
sehingga
membutuhkan jawaban yang kompleks
pula.
Jawaban yang diberikan terhadap suatu16
problem
tidak selalu dapat tuntas, bahkan
kadang-kadang
hanya sebagian kecil darinya
yang
terjawab dengan baik. Karena latar
belakang
yang berbeda-beda, baik dilihat dari
manusianya
maupun tantangan atau problemnya,
maka
berakibat juga pada beragamnya
bagaimana
suatu jawaban diberikan.
Oleh
karena itu, suatu problem yang
sama,
karena dilihat dari berbagai sudut dan
arah,
menimbulkan jawaban yang berbeda.
Timbullah
bermacam-macam aliran dalam
filsafat.
Manusia
memegang peranan yang
penting
dalam munculnya aliran-aliran dalam
filsafat.
Pada hakikatnya, karena ia mempunyai
unsur
kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa, maka
setiap
orang dapat menghasilkan filsafatnya
sendiri.
Namun pada sisi yang lain, kenyataan
menunjukkan
bahwa hanya orang-orang tertentu
yang
dapat mengemukakan pendapat serta ajaran
yang
bernilai filsafati. Hambatan-hambatan yang
ditimbulkan
oleh kata dan susunan kalimat
dalam
suatu bahasa seringkali memaksa seorang
filsuf
untuk menyusun kalimat atau rangkaian
kata
baru semata-mata untuk bisa membuat
representasi
yang mendekati apa yang
terkandung
dalam pikirannya. Oleh karena
filsafat
merupakan hasil permenungan jiwa
manusia
yang terdalam, maka corak (sifat, khas)
dalam
tiap-tiap aliran tidak terlepas dari unsur-unsur
yang
menyusun manusia itu sendiri.
I.
Corak yang sesuai dengan unsur jiwa
dan
raga:
Manusia
terdiri atas jiwa dan raga,
karenanya
filsafat ada yang
menintikberatkan
atau mengagungkan
jiwa
atau memberi tempat yang tinggi
kepada
jiwa atau unsur-unsur dalam.
Aliran
yang termasuk jenis ini antara
lain
adalah:
o Idealisme,
yang memberi
tempat
tertinggi pada idea.
o Spiritualisme,
yang memberi
tempat
tertinggi pada jiwa.
o Rasionalisme,
yang memberi
tempat
tertinggi pada akal.
Sebaliknya,
ada yang menempatkan
unsur-unsur
ragawi, unsur-unsur luar,
sebagai
yang tertinggi. Termasuk dalam
aliran
ini antara lain adalah:
o Materialisme,
yang memberi
tempat
tertinggi pada materi.
o Empirisme,
yang memberi
tempat
tertinggi pada
pengalaman.
o Sensisme,
yang memberi tempat
tertinggi
pada panca indera.
II.
Corak yang sesuai dengan sifat individu
dan
sosial:
Manusia
memiliki sifat individu dan
sosial,
karena itu pengejawantahan dari
sifat
ini terlihat pula dalam corak aliran
filsafat.
Ada yang mengagungkan sifat
individunya.
Aliran yang termausk jenis
ini
antara lain adalah:
o Individualisme,
yang memberi
tempat
tertinggi pada individu.
o Liberalisme,
yang
mengagungkan
hak mutlak
setiap
individu.
Sebaliknya,
ada yang mengagungkan
sifat
sosialnya. Termasuk dalam aliran
ini
adalah:
o Altruisme,
yang mengutamakan
kepentingan
orang lain semata-mata.
o Sosialisme,
yang mengutamakan
kepentigan
sosial lebih dari
kepentingan
individu.
A
L I R A N-ALIRAN FILSAFAT
I.
Corak yang menyangkut hubungan
manusia
dengan "Yang Mahakuasa":
Dalam
hal ini, aliran di dalam filsafat
ada
yang bercorak teistik, ada pula yang
ateistik.
Misalnya, Tomisme memberi
tempat
yang tinggi kepada Tuhan,
sedangkan
Positivisme menolak teologi.
II.
Corak perpaduan:
Karena
ada aliran kefilsafatan yang17
menekankan
atau mengagungkan salah
satu
unsur, maka terjadi jurang pemisah
antara
keduanya. Karena ada jurang
pemisah
itu, timbullah usaha untuk
menghubungkan
kedua sisinya yaitu
dengan
membuat jembatan. Beberapa
contoh
di antaranya adalah:
o Immanuel Kant (lahir
1724 di
Koningsbergen)
berusaha
menjembatani
antara
Rasionalisme
dan Empirisme.
o G.W.F. Hegel (lahir
1770 di
Stuttgart)
membuat jembatan
antara
pendapat Fichte dengan
pendapat
Friedrich Yoseph
Schelling.
Sistem
fichte adalah idealisme
subjektif, sedang Schelling
adalah
idealisme objektif.
Jembatan
yang dibuat oleh
Hegel
adalah idealisme absolut.
Inilah
bentuk metode dialektik
Hegel
yaitu Tesis-Antitesis-Sintesis.
Karena
Sintesis pada
hakikatnya
adalah suatu Tesis
Baru,
maka dari padanya akan
timbul
Antitesis baru, demikian
pula
akan timbul Sintesis Baru,
dan
seterusnya.
Pada
bagian kali ini, kami akan
mengangkat
satu aliran filsafat yang sangat
berpengaruh
di Barat pada abad kedua puluh,
terutama
setelah selesainya Perang Dunia
Kedua.
Ialah "Eksistensialisme". Pembahasan
berikut
ini akan menjadi model pembahasan
bagi
aliran-aliran filsafat lainnya; di mana kami
secara
rutin akan menambahkan materi-materi
baru
dalam bagian ini, sehingga, mudah-mudahan,
seluruh
aliran filsafat, utamanya
aliran-aliran
yang besar, mendapat kesempatan
untuk
disajikan ke hadapan pembaca.
Eksistensialisme
Dalam
filsafat dibedakan antara esensia
dan eksistensia. Esensia
membuat benda,
tumbuhan,
binatang dan manusia. Oleh esensia,
sosok
dari segala yang ada mendapatkan
bentuknya.
Oleh esensia, kursi menjadi kursi.
Pohon
mangga menjadi pohon mangga. Harimau
menjadi
harimau. Manusia menjadi manusia.
Namun,
dengan esensia saja, segala yang ada
belum
tentu berada. Kita dapat membayangkan
kursi,
pohon mangga, harimau, atau manusia.
Namun,
belum pasti apakah semua itu sungguh
ada,
sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah
peran
eksistensia.
Eksistensialis
membuat yang ada dan
bersosok
jelas bentuknya, mampu berada, eksis.
Oleh
eksistensia kursi dapat berada di tempat.
Pohon
mangga dapat tertanam, tumbuh,
berkembang.
Harimau dapat hidup dan merajai
hutan.
Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti,
dan
membentuk kelompok bersama manusia
lain.
Selama masih bereksistensia, segala yang
ada
dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun,
ketika
eksistensia meninggalkannya, segala yang
ada
menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil,
tidak
hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga
menjadi
kayu mangga. Harimau menjadi
bangkai.
Manusia mati. Demikianlah penting
peranan
eksistensia. Olehnya, segalanya dapat
nyata
ada, hidup, tampil, dan berperan. Adapun
tanpa
eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada,
apalagi
hidup dan berperan.
o Eksistensialisme adalah aliran
filsafat
yang menekankan
eksistensia.
Para pengamat
eksistensialisme
tidak
mempersoalkan
esensia dari
segala
yang ada. Karena
memang
sudah ada dan tak ada
persoalan.
Kursi adalah kursi.
Pohon
mangga adalah pohon
mangga.
Harimau adalah
harimau.
Manusia adalah
manusia.
Namun, mereka
mempersoalkan
bagaimana
segala
yang ada berada dan
untuk
apa berada. Oleh karena
itu,
mereka menyibukkan diri
dengan
pemikiran tentang
eksistensia.
18
C
A B A N G-CABANG FILSAFAT
Filsafat
bertanya tentang seluruh
kenyataan,
tetapi selalu salah satu segi dari
kenyataan
yang sekaligus menjadi titik fokus
penyelidikan
kita. Filsafat selalu bersifat
"filsafat
tentang" sesuatu tertentu, misalnya:
filsafat
tentang manusia, filsafat alam, filsafat
kebudayaan,
filsafat seni, filsafat agama, filsafat
bahasa,
filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat
pengetahuan,
dan seterusnya.
Aristoteles
mengadakan pengelompokan
sebagai
berikut:
• Sejarah logika, yaitu ajaran tentang
kategori,
pengambilan kesimpulan dab
pembuktian
serta topika yaitu dialektika,
• Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi
antara
lain tentang fisika, langit,
meteorologi,
jiwa, binatang,
• Etika,
• Politik,
• Bahasa dan seni.
Cassidorus
menyebut tujuh macam seni liberal,
yaitu:
•
Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika,
Retorika,
dan
• Quadrivium yang
terdiri atas Ilmu
hitung,
Ilmu Ukur, Astronomi dan
Musik.
Kant
(Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya
Terhadap
Rasio Murni mengadakan pembagian
sebagai
berikut:
• Bagian pertama berisi ajaran
elementer
yang
transendental,
• Bagian kedua berisi ajaran
transendental
tentang metode.
• Ajaran elementer tersebut
dibagi lagi
menjadi
estetika transendental, yang
membicarakan
tentang kemampuan
inderawi
dan logika transendental yang
membicarakan
tentang kemampuan
berpikir.
Logika dibagi lagi menjadi
analitika
transendental dan dialektika
transendental. Selanjutnya dalam
Kritik-nya
Terhadap Rasio Yang Praktik
ia
banyak membicarakan tentang Etika
dan Religi.
Di
dalam bukunya, Perspectives
in Social
Philosophy
(1967), Beck
(1967) menyebut
lapangan
filsafat, yaitu:
• Epistemologi atau
filsafat pengetahuan.
Yang
dibicarakan antara lain adalah
sumber,
kriteria, dan hakikat
pengetahuan.
•
Metafisika
atau teori tentang realitas.
Yang
dibicarakan antara lain segala
sesuatu
yang ada, hekikat realita, prinsip
pemahaman
kosmos.
• Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri
atas
etika, estetika dan filsafat
ketuhanan.
Demikian
seterusnya terdapat jenis
penggolongan
cabang-cabang filsafat. Katsoff
dalam
bukunya Elements of Philosophy
mengadakan
penggolongan sebagai berikut:
• Logika,
membicarakan tentang hukum-hukum
penyimpulan
yang benar.
• Metodologi,
membicarakan tentang
teknik
atau cara penelitian.
• Metafisika,
membicarakan tentang
segala
sesuatu yang ada.
• Ontologi,
membicarakan tentang hakikat
segala
sesuatu yang ada.
• Kosmologi.
membicarakan tentang
segala
sesuatu yang ada yang teratur.
• Epistemologi,
membicarakan tentang
kebenaran.
•
Filsafat
Biologi, membicarakan tentang
hidup.
•
Filsafat
Psikologi, membicarakan
tentang
jiwa.
• Filsafat Antropologi,
membicarakan
tentang
manusia.
• Filsafat Sosiologi,
membicarakan
tentang
masyarakat dan negara.
• Etika,
membicarakan tentang baik dan
buruk.
19
• Estetika,
membicarakan tentang indah.
• Filsafat Agama,
membicarakan tentang
agama.
Harry
Hamersma di dalam bukunya Pintu
Masuk
Ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981),
membicarakan
sepuluh cabang filsafat, yang
masih
dapat dikembalikan lagi kepada empat
bidang
induk, sebagai berikut:
1. Filsafat tentang pengetahuan:
1. Epistemologi
2. Logika
3. Kritik ilmu-ilmu
2. Filsafat tentang keseluruhan
kenyataan:
1.
Metafisika umum (atau,
ontologi)
2.
Metafisika khusus, terdiri dari:
1. Teologi metafisik
(disebut
juga "teodise"
dan
"filsafat
ketuhanan")
2. Antropologi
3. Kosmologi (disebut
juga
"filsafat
alam")
3. Filsafat tentang tindakan:
1. Etika (disebut
juga "filsafat
moral")
2. Estetika (disebut
juga "filsafat
seni",
"filsafat keindahan")
4. Sejarah filsafat
Berikut
ini penjelasan masing-masing secara
lebih
dalamnya:
Epsitemologi, merupakan "pengetahuan tentang
pengetahuan".
Suatu studi tentang asal usul,
hakikat,
dan jangkauan pengetahuan. Beberapa
pertanyaan
yang mungkin diajukan dalam
espistemologi
adalah: Apakah pengalaman
merupakan
satu-satunya sumber pengetahuan?
Apakah
yang menyebabkan suatu keyakinan
benar
dan yang lain salah? Adakah soal-soal
penting
yang tidak dapat dijawab oleh sains
(ilmu
spesial)? Dapatkah kita mengetahui
pikiran
perasaan orang lain?
Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus
diperhatikan
supaya cara berpikir kita sehat.
Suatu
studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai
untuk
membedakan antara argumen yang masuk
akal
dan argumen yang tidak masuk akal, serta
tentang
berbagai bentuk argumentasi.
Contohnya:
apa perbedaan antara pemikiran
induktif
dan deduktif? Mengapa argumentasi
"Semua
anjing adalah kucing. Sokrates adalah
anjing.
Maka, Sokrates adalah kucing" dianggap
valid?
Apa pebedaan antara logika penjelasan
ilmiah
dan logika pertimbangan moral?
Kritik
ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal,
metode,
objek dari ilmu-ilmu ("filsafat ilmu").
Suatu
studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas
ilmu
pengetahuan. Adakah satu metode
yang
khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah
perbedaan
antara sebuah teori dan sebuah
hukum
dalam ilmu pengetahuan? Apakah
hakikat
penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan
manusia
selaras dengan ilmu pengetahuan?
Berikutnya...
Ontologi, merupakan pengetahuan tentang
"semua
pengada sejauh mereka ada". Suatu studi
yang
membahas apa yang ingin kita ketahui,
seberapa
jauh kita ingin ketahui, atau, dengan
perkataan
lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang
"ada".
Teologi
metafisik, membicarakan tentang
pertanyaan
apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama
ilahi.
Suatu studi tentang hakikat, ragam
dan
objek kepercayaan agama. Apa hubungan
antara
akal dan iman? Apa sesungguhnya
agama?
Dapatkah Allah diketahui lewat
pengalaman
langsung? Dapatkah eksistensi
kejahatan
didamaikan dengan iman akan suatu
Allah
yang sempurna dan berpribadi? Apakah
istilah-istilah
religius memiliki makna khusus?
Antropologi, membicarakan tentang manusia
("filsafat
manusia"). Suatu studi yang
membicarakan
manusia seluruhnya, dengan
segala
sudutnya, namun dengan mementingkan
penggunaan
metode filosofis dalam
penyelidikannya.
20
Kosmologi, membicarakan tentang alam,
kosmos.
Suatu studi yang hendak mengetahui
"rahasia
alam". Dari mana datangnya alam ini,
betapa
terjadinya, bagaimana kemajuannya dan
ke
mana sampainya?
Etika, membicarakan tentang tindakan manusia.
Suatu
studi tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep
yang
mendasari penilaian terhadap
perilaku
manusia. Contohnya: Dengan patokan
apa
kita membedakan antara tindakan yang
benar
dan yang salah secara moral? Apakah
kesenangan
merupakan satu-satunya ukuran
untuk
menentukan sesuatu sebagai "baik"?
Apakah
keputusasaan moral bersifat sewenang-wenang
atau
sekehendak hati?
Estetika, mencoba menyelidiki mengapa sesuatu
dialami
sebagai indah. Suatu studi tentang
prinsip-prinsip
yang mendasari penilaian kita
atas
berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni?
Apa
peranan rasa dalam pertimbangan estetis?
Apa
yang ditangkap, dialami, dirasakan dan
dihayati
sebagai indah?
Sejarah
filsafat dunia, mengajar apa jawaban
pemikir-pemikir
jaman atas pertanyaan-pertanyaan
manusia.
Tidak
semua filsuf setuju dengan pembagian
seperti
diuraikan di atas. Ada filsuf yang
menyangkal
kemungkinan ontologi atau
kemungkinan
seluruh metafisika. Namun,
pembagian
seperti di atas ini merupakan sekma
yang
paling klasik dan paling umum diterima.
Tentang
keseluruhan cabang akan kita lihat satu
persatu
secara mendalam pada waktu
mendatang,
dalam bagian Cabang ini juga.
Demikian,
materi halaman ini akan secara rutin
mengalami
pembaruan ataupun penambahan.
FILSUF,
HIDUP DAN KARYANYA
Filsuf
(atau, filosof) atau disebut juga ahli
pikir
ialah
mereka yang gemar menilik sesuatu
realitas
dengan kemerdekaan berpikir yang ada
padanya
sampai sesuatu itu '"terbongkar"
sedalam-dalamnya
dan seluas-luasnya. Apa yang
dilakukan
oleh para filsuf tetap kembali pada
suatu
usaha menemukan kebenaran, meskipun
jalan,
metode yang dipakai berbeda-beda antara
satu
filsuf dengan filsuf yang lain. Oleh
karenanya,
tak heran bila muncul istilah-istilah
seperti
"filsafat Plato", "filsafat Thomas",
"filsafat
Kant", "filsafat Habermas", dan
seterusnya,
di sampingnya "filsafat Yunani",
"filsafat
India", "filsafat eksistensialisme", dsb.
Itu
karena memang produk pemikiran masing-masing
filsuf
tersebut adalah khas, tiada duanya,
baik
dari segi: pola pemikirannya, titik tolak di
mana
bermula, bahasa yang digunakannya, cara
penyampaiannya
dan posisi (berpikir)nya,
meskipun
para filsuf sendiri hidup dalam
konteks
sejarah dengan segala suasana batin dan
pemikiran
yang melingkupinya.
Apa
yang diberikan oleh para filsuf kepada
masyarakat
dunia, kalau boleh disebut demikian,
selalu
menarik untuk ditinjau. Bagaimana suatu
persoalan
dirumuskan, ditelaah, bagaimana
jawaban-jawaban
dan pertanyaan-pertanyaan
selalu
diformulasi kembali sepanjang jaman,
hanya
dalam rangka mencari kebenaran untuk
kemaslahatan
kehidupan manusia, menurut visi
masing-masing.
Masalah apakah kemudian suatu
pemikiran
disepakati sebagai keliru bahkan
salah,
karena telah dicapai pemikiran lain yang
lebih
baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah
sejarah
yang tidak mungkin dihapus. Adanya
sesuatu
hari ini mau tak mau, suka tak suka
adalah
sebagai akibat dari kontak dengan masa
lalu.
Di sinilah dialektika terjadi, saling
berdebat,
saling menanggapi.
Pemikiran
para filsuf, apalagi filsuf besar,
adalah
merupakan harta dunia yang tiada
terbilang
nilainya. Jelas ia memberi sumbangan
bagi
kemajuan berpikir berikutnya.
Sumbangannya
bagi sejarah peradaban dunia
patut
untuk disampaikan senantiasa oleh kita
yang
hidup di jaman yang katanya modern ini;
minimal
sebagai ungkapan terima kasih kita
kepada
mereka, yang pemikirannya langsung
maupun
tidak langsung mempengaruhi
kehidupan
kita hari ini. Untuk itulah adanya21
"Filsuf,
Hidup dan Karyanya" ini. Kita mau
mengenal
filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya.
Insya
Allah, bagian ini secara periodik
akan
membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran
dan
kehidupannya, sejak filsafat
Yunani
Klasik hingga filsafat yang berkembang
akhir-akhir
ini.
BUKU-BUKU
FILSAFAT
A.
Bahasa Asing
• Voltaire's Philosophical Dictionary
(1924
edition of selected entries) by
Voltaire,
trans. by H. I. Woolf (HTML
at
Hanover)
• The Gift of Fire by
Richard Mitchell
• HTML at sourcetext.com
• multiple formats in Australia
• Beyond Modernization: Chinese Roots
for
Global Awareness, ed. by Wang
Miaoyang,
Yu Xuanmeng, and George
F.
McLean (HTML at crvp.org)
• The Human Person and Society, ed. by
Zhu
Dasheng, Jin Xiping, and George F.
McLean
(HTML at crvp.org)
• Tradition, Harmony, and Transcendence
by
George F. McLean (HTML at
crvp.org)
• The Philosophy of Religion by Swami
Krishnananda
(HTML at Divine Life
Society)
•
The
Philosophy of Religion by Swami
Krishnananda
and Swami Krishnananda
(HTML at
Divine Life Society)
• The Philosophy of the Panchadasi by
Swami
Krishnananda (HTML at Divine
Life
Society)
• The Philosophy of the Panchadasi by
Swami
Krishnananda (HTML at Divine
Life
Society)
• The Realisation of the Absolute by
Swami
Krishnananda (HTML at Divine
Life
Society)
• The Realisation of the Absolute by
Swami
Krishnananda (HTML at Divine
Life
Society)
• An Introduction to the Philosophy of
Yoga
by Swami Krishnananda (HTML
at
Divine Life Society)
• An Introduction to the Philosophy of
Yoga
by Swami Krishnananda (HTML
at
Divine Life Society)
• The Struggle for Perfection by Swami
Krishnananda
(HTML at Divine Life
Society)
•
Resurgent
Culture by Swami
Krishnananda
(HTML at Divine Life
Society)
•
Resurgent
Culture by Swami
Krishnananda
(HTML at Divine Life
Society)
•
The
Yoga Sutras of Patanjali: The Book
of
the Spiritual Man by Patanjali, trans.
by
Charles Johnston (Gutenberg text)
• The Light of the Soul, Its Science and
Effect:
A Paraphrase of the Yoga Sutras
of
Patanjali, ed. by Alice Bailey
(HTML
at netnews.org)
• The Yoga Aphorisms of Patanjali by
Patanjali,
trans. by William Quan Judge
and
James Henderson Connelly (HTML
at
TUP)
• Brahma Sutras by
Swami Sivananda
(HTML
at Divine Life Society)
• Authentic Human Destiny: The Paths of
Shankara
and Heidegger by Vensus A.
George
(HTML at crvp.org)
• A History of Greek Philosophy, from the
Earliest
Period to the Time of Socrates
(London:
Longmans, Green, and Co.,
1881)
by Eduard Zeller, trans. by Sarah
Frances
Alleyne
• volume 1: framed PDF at cwru.edu; 58
MB
•
volume
2: framed PDF at cwru.edu; 53
MB
•
Early
Greek Philosophy (based on the
3rd
edition, 1920) by John Burnet
(HTML
at Evansville)
• Laws by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Laws by
Plato, trans. by Robert Gregg
Bury
(HTML at Perseus)
• Charmides by
Plato, trans. by Walter
Rangeley
Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
22
• Charmides by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Cratylus by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Cratylus by
Plato, trans. by Harold
North
Fowler (HTML at Perseus)
• Crito by
Plato, trans. by Harold North
Fowler
(HTML at Perseus)
• Crito by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
with commentary at uoregon.edu
• HTML at Bartleby
• Gutenberg text
• Euthydemus by
Plato, trans. by
Benjamin
Jowett
• HTML at Internet Classics
• Gutenberg text
• Euthydemus by
Plato, trans. by Walter
Rangeley
Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
•
Euthyphro
by Plato, trans. by Harold
North
Fowler (HTML at Perseus)
• Euthyphro by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Gorgias by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Gorgias by
Plato, trans. by Walter
Rangeley
Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
•
Laches
by Plato, trans. by Walter
Rangeley
Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
•
Laches
by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Meno by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Meno by
Plato, trans. by Walter
Rangeley
Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
•
Parmenides
by Plato, trans. by
Benjamin
Jowett
• HTML at Internet Classics
• Gutenberg text
• Phaedo by
Plato, trans. by Harold North
Fowler
(HTML at Perseus)
• Phaedo by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• HTML at Bartleby
• Gutenberg text
• Phaedrus by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Philebus by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Protagoras by
Plato, trans. by Walter
Rangeley
Maitland Lamb (HTML at
Perseus)
•
Protagoras
by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• The Republic by Plato,
trans. by Paul
Shorey
(HTML at Perseus)
• The Republic of Plato (1901 Collier
edition)
by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Virginia
• text at Wiretap
• The Republic (based
on the 1892
edition;
includes translator's full
commentary)
by Plato, trans. by
Benjamin
Jowett (Gutenberg text)
• The Republic (based
on the 1892
edition)
by Plato, trans. by Benjamin
Jowett
(HTML with commentary at
Internet
Classics)
• Sophist by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Sophist by
Plato, trans. by Harold North
Fowler
(HTML at Perseus) 23
• Symposium by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Theaetetus by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Theaetetus by
Plato, trans. by Harold
North
Fowler (HTML at Perseus)
• Timaeus by
Plato, trans. by Benjamin
Jowett
•
HTML
at Internet Classics
• Gutenberg text
• Plato and Platonism by
Walter Pater
(Golden
Gale archive format)
• On the Soul by
Aristotle, trans. by J. A.
Smith
(HTML at Internet Classics)
• On Youth and Old Age, On Life and
Death,
On Breathing by Aristotle, trans.
by G.
R. T. Ross (HTML at Internet
Classics)
•
On
Generation and Corruption by
Aristotle,
trans. by H. H. Joachim
(HTML
at Internet Classics)
• Eudemian Ethics by
Aristotle (HTML at
Perseus)
•
Nicomachean
Ethics by Aristotle, trans.
by W.
D. Ross
• HTML at Internet Classics
• HTML with chapter headings at
nothingistic.org
• PDF at McMaster
• Nicomachean Ethics by
Aristotle, trans.
by
Harris Rackham (HTML at Perseus)
• Metaphysics by
Aristotle, trans. by W.
D.
Ross (HTML at Internet Classics)
• Metaphysics by
Aristotle, trans. by
Hugh
Tredennick (HTML at Perseus)
• Prior Analytics by
Aristotle, trans. by A.
J.
Jenkinson (HTML at Internet
Classics)
•
Posterior
Analytics by Aristotle, trans.
by G.
R. G. Mure (HTML at Internet
Classics)
•
Rhetoric
by Aristotle, trans. by John
Henry
Freese (HTML at Perseus)
• Rhetoric by
Aristotle, trans. by W. Rhys
Roberts
(HTML at Internet Classics)
• The Golden Sayings of Epictetus by
Epictetus,
trans. by Hastings Crossley
(HTML
at Bartleby)
• The Golden Sayings of Epictetus, with
the
Hymn of Cleanthes by Epictetus
(Gutenberg
text)
• The Discourses by
Epictetus (HTML at
Internet
Classics)
• The Enchiridion by
Epictetus (HTML at
utm.edu)
• The Meditations of Marcus Aurelius
Antoninus
by Marcus Aurelius
Antoninus,
trans. by George Long
• HTML at Internet Classics
• HTML at Bartleby
• Meditations of Marcus Aurelius by
Marcus
Aurelius Antoninus, trans. by
Meric
Casaubon, contrib. by W. H. D.
Rouse
(Gutenberg text)
• Alexandria and Her Schools by Charles
Kingsley
(Gutenberg text)
• New Platonism and Alchemy by
Alexander
Wilder (HTML at theosophy-nw.
org)
• De Dialectica by
Saint Augustine, trans.
by Jim
Marchand (HTML with
commentary
here at Penn)
• The Theological Tractates (English
versions
of the Tractates only) by
Boethius,
trans. by Hugh Fraser Stewart
and
Edward Kennard Rand (page
images
and partial HTML at CCEL)
• The Consolation of Philosophy by
Boethius,
trans. by W. V. Cooper
(HTML
at Virginia)
• The Six Enneads by
Plotinus, trans. by
Stephen
MacKenna and B. S. Page
(HTML
at Internet Classics)
• Medieval Western Philosophy: The
European
Emergence (1999) by Patrick
J.
Aspell (HTML at crvp.org)
• Confessions (modernized,
with
commentary)
by Abu Hamid al-Ghazali,
trans.
by Claud Field (HTML at
Fordham)
•
Historia
Calamitatum: The Story of My
Misfortunes
by Peter Abelard, trans. by
Henry
Adams Bellows (HTML at
Fordham)
24
• Basic Writings: Proslogium;
Monologium;
Gaunilon's on Behalf of
the
Fool; Cur Deus Homo by Saint
Anselm,
trans. by Sidney Norton Deane
and
James Gardiner Vose (HTML at
CCEL)
•
Ethical
Implications of Unity and the
Divine
in Nicholas of Cusa (1998) by
David
J. De Leonardis (HTML at
crvp.org)
• A Little Book of Eternal Wisdom by
Henry
Suso (HTML at CCEL)
• On Being and Essence by Saint Thomas
Aquinas,
trans. by Robert T. Miller
(HTML
at Fordham)
• On the Principles of Nature by Saint
Thomas
Aquinas, trans. by Jerry
Campbell
(HTML at niagara.edu)
• St. Thomas Aquinas and Medieval
Philosophy
by Daniel Joseph Kennedy
(HTML
at Notre Dame)
• Ethica Thomistica: The Moral
Philosophy
of Thomas Aquinas (revised
edition)
by Ralph M. McInerny (HTML
at
Notre Dame)
• Giordano Bruno: The Forgotten
Philosopher
by John J Kessler (HTML
at
infidels.org)
• Erasmus of the Low Countries
(Berkeley:
University of California
Press,
1997) by James D. Tracy (HTML
at UC
Press)
• Oration on the Dignity of Man by
Giovanni
Pico della Mirandola (HTML
at
Santa Fe)
• The Spirit of Modern Philosophy
(Boston:
Houghton, Mifflin, 1892) by
Josiah
Royce (HTML at Brock)
• On Practice by Mao
Tse-Tung (HTML
at
marxists.org)
• On Contradiction by
Mao Tse-Tung
(HTML
at marxists.org)
• The Lowell Lectures on the Ascent of
Man
by Henry Drummond (HTML at
CCEL)
•
Existentialism
and Human Emotions by
Jean-Paul
Sartre (HTML at BiblioBytes)
• The Philosophy of Humanism (eighth
edition,
1997) by Corliss Lamont (PDF
at
corliss-lamont.org)
• The Genesis of a Humanist Manifesto by
Edwin
H. Wilson (HTML at
infidels.org)
• Pragmatism: A New Name For Some
Old
Ways of Thinking by William James
(HTML
at Brock)
• The Revival of Scholastic Philosophy in
the
Nineteenth Century by Joseph Louis
Perrier
(HTML at Notre Dame)
• Scholasticism by
Joseph Rickaby
(HTML
at Notre Dame)
• Philosophy as Absolute Science by
Ephraim
Langdon Frothingham (page
images
at MOA)
• The Human Intellect: With an
Introduction
Upon Psychology and the
Soul
by Noah Porter (page images at
MOA)
•
The
Sciences of Nature Versus the
Science
of Man by Noah Porter (page
images
at MOA)
• Elements of Intellectual Philosophy by
Hubbard
Winslow (page images at
MOA)
•
The
Unseen World and Other Essays by
John
Fiske
• HTML at Virginia
• Gutenberg text
• Essays in Radical Empiricism by
William
James (text at Wiretap)
• The Advancement of Learning by
Francis
Bacon, ed. by Hartmut Krech
• HTML at Renascence Editions
• text in Germany
• Valerius Terminus: On the
Interpretation
of Nature (annotated
version)
by Francis Bacon, ed. by
Robert
Stephens and James Spedding,
contrib.
by Gisela Engel and Robert
Leslie
Ellis (Gutenberg text; unofficial
until
30 Jun 2002)
• Valerius Terminus: On the
Interpretation
of Nature by Francis
Bacon,
ed. by Robert Stephens and
James
Spedding, contrib. by Robert
Leslie
Ellis (Gutenberg text; unofficial
until
30 Jun 2002)
• Characters of Virtues and Vices by
Joseph
Hall (HTML at Renascence
Editions)
25
• Of the Conduct of the Understanding by
John
Locke (HTML at Columbia)
• An Essay Concerning Human
Understanding
(6th edition) by John
Locke
(HTML at Columbia)
• An Essay Concerning Human
Understanding
by John Locke (HTML
at
McMaster)
• A Letter Concerning Toleration by John
Locke,
trans. by William Popple
(HTML
at utm.edu)
• Geometry No Friend to Infidelity by
James
Jurin (in Ireland)
• Three Dialogues Between Hylas and
Philonous
by George Berkeley, ed. by
James
Fieser (HTML at utm.edu)
• A Treatise Concerning the Principles of
Human
Knowledge by George Berkeley
(text
at English Server)
• The Analyst: A Discourse Addressed to
an
Infidel Mathematician by George
Berkeley
(in Ireland)
• A Defence of Free-Thinking in
Mathematics
by George Berkeley (in
Ireland)
•
An
Essay Towards a New Theory of
Vision
(4th edition) by George Berkeley
(HTML
at York)
• Disquisitions Relating to Matter and
Spirit
by Joseph Priestly (page images
here
at Penn)
• The Scottish Philosophy by James
McCosh
(HTML at utm.edu)
• An Enquiry Concerning Human
Understanding
by David Hume
• HTML in Australia
• HTML at Bartleby
• text at Wiretap
• Selected Works and Commentary. by
David
Hume (HTML Hume Archives)
• A Treatise of Human Nature by David
Hume
(HTML at McMaster)
• A Letter from a Gentleman to His
Friend
in Edinburgh by David Hume
(HTML
at utm.edu)
• Adam Smith by
James Anson Farrer
(HTML
at McMaster)
• The English Utilitarians by Leslie
Stephen
•
volume
1: HTML at McMaster
• volume 2: HTML at McMaster
• volume 3: HTML at McMaster
• An Introduction to the Principles of
Morals
and Legislation by Jeremy
Bentham
•
HTML
at Texas
• PDF at McMaster
• The Rationale of Reward by Jeremy
Bentham
(HTML at Texas)
• Characteristics by
Thomas Carlyle
• HTML at Bartleby
• HTML at BiblioBytes
• Autobiography by
John Stuart Mill
• text at McMaster
• HTML in Australia
• HTML at Bartleby
• Appearance and Reality: A
Metaphysical
Essay (second edition) by
F. H.
Bradley (Golden Gale archive
format)
•
A
Free Man's Worship by Bertrand
Russell
(HTML at Drew)
• First Principles by
Herbert Spencer
(HTML
at McMaster; 1 MB)
• What Is Thought? by
James Hutchinson
Stirling
(Golden Gale archive format)
• Discourse on the Method of Rightly
Conducting
the Reason by René
Descartes,
trans. by John Veitch (text at
Wiretap)
•
Discourse
on the Method by René
Descartes,
trans. by Elizabeth Haldane
(HTML
at utm.edu)
• Meditations on the First Philosophy by
René
Descartes, trans. by John Veitch
(HTML
at wright.edu)
• Meditations on First Philosophy by
René
Descartes, trans. by Elizabeth
Haldane
(HTML at utm.edu)
• Thoughts by
Blaise Pascal, trans. by W.
F.
Trotter
• HTML at Fordham
• HTML at Bartleby
• Pensées by
Blaise Pascal, trans. by W.
F.
Trotter
• HTML at CCEL
• text in Canada
• The System of Nature: or, Laws of the
Moral
and Physical World by Paul-26
Henri
Holbach, trans. by H. D.
Robinson
(PDF files at McMaster)
• Man a Machine by
Julien Offray de La
Mettrie,
trans. by Gertrude Carman
Bussey
(HTML with notes at Santa Fe
Institute)
•
Theosphic
Correspondence Between
Louis
Claude de Saint-Martin (The
"Unknown
Philosopher") and
Kirchberger,
Baron de Liebistorf by
Louis
Claude de Saint-Martin and
Nicolas
Antoine Kirchberger, trans. by
Edward
Burton Penny (HTML at TUP)
• The Positive Philosophy of Auguste
Comte
by Auguste Comte, ed. by
Harriet
Martineau
• volume 1: PDF at McMaster
• volume 2: PDF at McMaster
• volume 3: PDF at McMaster
• A New Philosophy: Henri Bergson by
Edouard
Le Roy, trans. by Vincent
Benson
(Gutenberg text)
• The Range of Reason by
Jacques
Maritain
(HTML at Notre Dame)
• The Monadology by
Gottfried Wilhelm
Leibniz,
trans. by George Montgomery
(HTML
at utm.edu)
• The Monadology by
Gottfried Wilhelm
Leibniz,
trans. by Robert Latta (text in
Sweden)
•
Fundamental
Principles of the
Metaphysic
of Morals by Immanuel
Kant,
trans. by Thomas Abbott (test in
Sweden)
•
The
Philosophy of Law: An Exposition
of
the Fundamental Principles of
Jurisprudence
as the Science of Right by
Immanuel
Kant (text files in Sweden)
• The Critique of Practical Reason by
Immanuel
Kant, trans. by Thomas
Abbott
(text in Sweden)
• The Critique of Pure Reason by
Immanuel
Kant, trans. by J. M. D.
Meiklejohn
(text in Sweden)
• The Critique of Judgement by Immanuel
Kant
(text in Sweden)
• The Role of the Sublime in Kant's Moral
Metaphysics
by John R. Goodreau
(HTML
at crvp.org)
• Prolegomena to Any Future
Metaphysics
by Immanuel Kant, trans.
by
Paul Carus (HTML at utm.edu)
• Kant's System of Perspectives by
Stephen
Palmquist (HTML in Hong
Kong)
•
Philosophy
of Right by Georg Wilhelm
Friedrich
Hegel, trans. by S. W. Dyde
(PDF
at McMaster)
• The Phenomenology of Mind by Georg
Wilhelm
Friedrich Hegel, trans. by J. B.
Baillie
(HTML at Idaho)
• The Logic of Hegel (or,
the "Shorter
Logic")
by Georg Wilhelm Friedrich
Hegel,
trans. by William Wallace
(HTML
at marxists.org)
• Studies in the Hegelian Dialectic by
John
McTaggart Ellis McTaggart
• PDF at McMaster
• Golden Gale archive format
• Studies in Hegelian Cosmology by John
McTaggart
Ellis McTaggart (PDF at
McMaster)
•
Hegel's
Logic: An Essay in
Interpretation
by John Grier Hibben
(PDF
at McMaster)
• The Origin and Significance of Hegel's
Logic:
A General Introduction to
Hegel's
System by J. B. Baillie (PDF at
McMaster)
•
Ludwig
Feuerbach and the End of
Classical
German Philosophy by
Friedrich
Engels (text files at Colorado)
• Letters Upon the Aesthetic Education of
Man
by Friedrich Schiller (HTML at
Fordham)
•
Thus
Spake Zarathustra by Friedrich
Nietzsche,
trans. by Thomas Common
• text at eserver.org
• Gutenberg text
• The Antichrist by
Friedrich Nietzsche,
trans.
by H. L. Mencken (HTML at
Friedrich
Nietzsche Society)
• The Quintessence of Nietzsche by James
M.
Kennedy (Golden Gale archive
format)
•
The
Philosophy of Friedrich Nietzsche
by H.
L. Mencken (HTML at
undergroundmind.com)
27
• Nietzsche by
Paul Elmer More (HTML
at
execpc.com)
• The Hidden Life: Hagiographic Essays,
Meditations,
Spiritual Texts by Edith
Stein
(HTML in Austria)
• Truth and Knowledge by
Rudolf Steiner
(HTML
at elib.com)
• Wittgenstein and Kierkegaard: Religion,
Individuality
and Philosophical Method
by
Charles L. Creegan (HTML in New
Zealand)
•
A
Theologico-Political Treatise by
Benedict
de Spinoza, trans. by R. H. M.
Elwes
(HTML with commentary at
erols.com)
• The Ethics by
Benedict de Spinoza,
trans.
by R. H. M. Elwes (HTML with
commentary
at erols.com)
• On the Improvement of the
Understanding
by Benedict de Spinoza,
trans.
by R. H. M. Elwes
• HTML at Santa Fe Institute
• HTML with commentary at erols.com
• Gutenberg text
• Czech Philosophy in the XXth Century,
ed. by
Lubomir Novy, Ji Gabriel, and
Jaroslav
Hroch (HTML at crvp.org)
• Philosophy in Pakistan, ed. by Naeem
Ahmad
(HTML at crvp.org)
• U.G. Krishnamurti: A Life by Mahesh
Bhatt
(HTML at well.com)
• The Filipino Mind by
Leonardo N.
Mercado
(HTML at crvp.org)
• Chinese Cultural Traditions and
Modernization, ed. by Wang Miaoyang,
Yu
Xuanmeng, and George F. McLean
(HTML
at crvp.org)
• Economic Ethics and Chinese Culture,
ed. by
Yu Xuanmeng, Lu Xiaohe, Liu
Fangtong,
Zhang Rulun, and Georges
Enderle
(HTML at crvp.org)
• Philosophy and Modernization in China,
ed. by
Liu Fangtong, Huang Songjie,
and
George F. McLean (HTML at
crvp.org)
• Confucianism, Buddhism, Daoism,
Christianity,
and Chinese Culture by
Tang
Yi-Jie (HTML at crvp.org)
• The Foundations of Social Life:
Ugandan
Philosophical Studies I by A.
T.
Dalfovo, P. Kaboha, J. K. Kigongo,
S. A.
Mwanahewa, and Zubairi 'b.
Nasseem
(HTML at crvp.org)
• Identity and Change: Nigerian
Philosophical
Studies, I, ed. by
Theophilus
Okere (HTML at crvp.org)
• Person and Community: Ghanaian
Philosophical
Studies, I, ed. by Kwasi
Wiredu
and Kwame Gyekye (HTML at
crvp.org)
• The First Principles of Knowledge by
John
Rickaby (HTML at Notre Dame)
• A New Logic (Chicago:
Open Court
Publishing
Company, 1912) by Charles
Arthur
Mercier (illustrated HTML at
GeoCities)
•
Logic
Primer by Colin Allen and
Michael
Hand (frame-dependent HTML
at
TAMU)
• Elements of Logic by
Henry Philip
Tappan
(page images at MOA)
• The Logic of Chance: An Essay on the
Foundations
and Province of the Theory
of
Probability, With Especial Reference
to
its Logical Bearings and its
Application
to Moral and Social Science
(second
edition; London: Macmillan and
Co.,
1876) by John Venn (page images
in
Germany)
• The Tree of Philosophy (third edition)
by
Stephen Palmquist (HTML in Hong Kong)
• The Problems of Philosophy by Bertrand
Russell
(HTML at voyageronline.net)
• Scientific Fact and Metaphysical Reality
by Robert
Brandon Arnold (Golden
Gale
archive format)
• The Revealing Word: A Dictionary of
Metaphysical
Terms by Charles
Fillmore
(HTML at websyte.com)
• The Nature of Metaphysical Knowledge,
ed. by
George F. McLean and Hugo
Meynell
(HTML at crvp.org)
• Epistemology: Theory of Knowledge
(delisted:
author's web site appears to be
gone)
by Archie J. Bahm
• National Identity as an Issue of
Knowledge
and Morality, ed. by N. V.
Chavchavadze,
Ghia Nodia, and Paul
Peachey
(HTML at crvp.org) 28
• The Intuitions of the Mind Inductively
Investigated
by James McCosh (page
images
at MOA)
• The Bases of Values in a Time of
Change:
Chinese and Western, ed. by
Kirti
Bunchua, Liu Fangtong, Yu
Xuanmeng,
and Yu Xujin (HTML at
crvp.org)
• The Social Context and Values:
Perspectives
of the Americas, ed. by
George
F. McLean and Olinto Pegoraro
(HTML
at crvp.org)
• The Evolving Mind by
Ben Goertzel
(HTML
at goertzel.org)
• Do It! Let's Get Off Our Buts (revised
edition)
by Peter McWilliams (HTML at
mcwilliams.com)
• Life 101: Everything We Wish We Had
Learned
About Life in School -- But
Didn't
by Peter McWilliams (HTML at
mcwilliams.com)
• Essays in Life and Eternity by Swami
Krishnananda
(HTML at Divine Life
Society)
•
The
Philosophy of Life: A Critical
Exposition
of the Fundamental
Principles
in Eastern and Western
Philosophy
in the Light of the Doctrines
of
Swami Sivananda by Swami
Krishnananda
(HTML at Divine Life
Society)
•
By
the Late John Brockman by John
Brockman
(HTML at edge.org)
• Man Into Superman by
Robert C. W.
Ettinger
(illustrated HTML at
cryonics.org)
• Man and Nature: The Chinese Tradition
and
the Future, ed. by Tang Yi-Jie, Li
Zhen,
and George Mclean (HTML at
crvp.org)
• Person and Society,
ed. by George F.
McLean
and Hugo Meynell (HTML at
crvp.org)
• The Philosophy of Person: Solidarity
and
Cultural Creativity: Polish
Philosophical
Studies, I, ed. by Józef
Tischner,
J. M. Yciski, and George F.
McLean
(HTML at crvp.org)
• I Learn by
Gora (HTML at aracnet.com)
• On the Eternity of the World by Saint
Thomas
Aquinas, trans. by Robert T.
Miller
(HTML at Fordham)
• Rational Cosmology by
Laurens P.
Hickok
(page images at MOA)
• The Problem of Human Destiny: or, The
End
of Providence in the World and
Man
by Orville Dewey (page images at
MOA)
•
On
Causation, With a Chapter on Belief
(London:
Longman's Green and Co.,
1916)
by Charles Arthur Mercier
(HTML
at GeoCities)
• Person and Nature,
ed. by George F.
McLean
and Hugo Meynell (HTML at
crvp.org)
No comments:
Post a Comment