10/04/2012

HERMENEUTIKA




Dalam tradisi Islam, hermeneutik sering disamakan dengan tafsir. Sebab secara etimologi hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu Hermeneueia yang berarti menafsirkan. Istilah ini mengacu pada tokoh mitologi Yunani kuno bernama hermes yang bertugas menerjemahkan bahasa-bahasa Tuhan dari gunung Olympus ke dalam bahasa manusia agar dapat dipahami. Dari sini, hermeneutik menjadi identik dengan metode penafsiran/ interpretasi. Karena itu, dalam mendefinisikan hermeneutik E. Sumaryono menyebut hermeneutik sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”.
Dalam perkembangannya, hermeneutik dikenal sebagai sebuah metodologi interpretasi yang unggul. Sehingga, bukan saja dalam tradisi agama, dalam disiplin ilmu filsafat, seni, dan disiplin keilmuan yang lain hermeneutik menjadi cukup populer. Hermeneutik tidak saja dijadikan sebagai pisau bedah untuk menafsirkan teks-teks suci agama, namun juga karya-karya ilmiah maupun beberapa karya sastra lain yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Hermeneutik mulai dikenal dalam dunia Islam sejak para sarjana Islam yang belajar di Barat dan kemudian memperkenalkan ilmu yang diperoleh dalam lingkungannya. Lebih lanjut, diskursus hermeneutik akhirnya menjadi cukup akrab dengan al-Qur’an. Sebab metode interpretasi ini diduga kuat setali tiga uang dengan tafsir, khususnya tafsir bir-Ra’yi atau ta’wil yang sudah lama digeluti oleh beberapa ulama dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada dasarnya ruang lingkup hermeneutik mencakup tiga elemen yaitu teks, pengarang atau penafsir dan audiens (pembaca) yang disebut Triadic Structure. Triadic structure ini, masing-masing memiliki horizon ruang dan waktu yang berbeda. Teks lahir pada dimensi ruang dan waktu tertentu; penafsir membumikan teks dalam sejarah yang berbeda; sementara pembaca silih berganti lintas ruang dan waktu. Tugas hermeneutik pada intinya adalah mendialogkan dengan seimbang triadic structure tersebut.
Dialog yang seimbang berusaha menyajikan teks -yang hidup dalam sejarah tertentu- dalam horizon waktu kekinian. Sebab menurut Wilhelm Dilthey, hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. Artinya makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa” saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah, maka interpretasipun bagai benda cair, tak pernah ada suatu hukum untuk interpretasi. Seperti halnya al-Qur’an harus tetap dapat menjadi solusi dan alternatif bagi persoalan kemanusiaan yang bersifat lintas ruang dan waktu. Sehingga ungkapan Islam Sholih fi kulli zaman wa makan dapat terwujud. Sebagai sebuah metode, hermeneutik memiliki sifat dasar kritis, liar dan radikal.
Sehingga bila diterapkan begitu saja, hermeneutik akan membahayakan wilayah normativitas agama khususnya Islam. Sebab, beragam problem akan muncul dalam teks-teks keagamaan jika hermeneutik menyentuh wilayah ini. Aspiratifkah pewarisan gagasan melalui sebuah teks? Samakah kehendak yang diinginkan tuhan (Allah SWT) dengan al-Qur’an? dapatkah hadits merangkum dengan benar gagasan Muhammad saw? Problem-problem tersebut kendati wajar dalam tradisi hermeneutik tetapi telah menyentuh wilayah-wilayah yang paling sensitif dalam Islam. Sikap kritis hermeneutik menjadi semakin kental dengan sentuhan pemikiran three masters of prejudices, yaitu Sigmund Freud, Karl Marx dan Friederic Nietzcshe. Ketiganya mengembangkan sikap prasangka (kecurigaan) terhadap postulat-postulat sekalipun. Sigmund Freud, menunjukkan sikap kehati-hatiannya pada bahasa, sebab alam bawah sadar manusia dan nafsu libido seseorang, akan mempengaruhi bahasa.
Karl Marx, pencetus pahan) sosialisme ini dalam menghadapi teks senantiasa mengedepankan praduga terhadap pengarang khususnya status sosial politik dan ekonominya yang dapat mempengaruhi teks. Menurutnya, dekonstruksi terhadap sebuah teks adalah sebuah solusi untuk memperoleh makna obyektif. Sementara Nietzcshe, berasumsi bahwa setiap orang pasti memiliki keinginan untuk menguasai orang lain, dan hasrat ini diekspresikan melalui bahasa. Dan three masters of prejudices ini, hermeneutik ditarik pada suatu ruang yang penuh dengan kecurigaan pada teks agar dapat menekan subyektifitas teks dan bahkan agar ditemukan gambaran obyektif teks.
Dari persoalan ini muncul suatu dilema. Disatu sisi, hermeneutik sebagai sebuah metode yang kurang bersahabat dan menghawatirkan, khususnya pada wilayah wilayah sensitif Islam. Disisi lain, hermeneutik diakui sebagai metodologi yang cukup menjanjikan guna mengkaji teks-teks keagamaan Islam. Oleh sebab itu, beberapa ulama telah mencoba menerapkan hermeneutik dalam koridor Islam, untuk menyebut beberapa diantaranya yaitu: Hassan Hanafi
Beliau adalah seorang tokoh Islam yang cukup gelisah dengan dinamika perubahan zaman. Kegelisahan ini disebabkan karena zaman yang berkembang begitu cepat
namun tidak diimbangi dengan apresiasi terbadap teks-teks keagamaan untuk menghadapi zaman yang semakin kompleks. Dalam menghadapi persoalan tersebut, tokoh pencetus kiri Islam ini mengajukan tiga langkah, yaitu kritik historis, kritik tendensi, dan kritik praksis.
Kritik historis berupaya membersihkan obyek dari anggapan-anggapan sebelumnya yang membingungkan. Kritik ini menjadi langkah awal yang paling penting, sebab bagaimana mungkin makna yang benar dapat diperoleh bila obyeknya tidak bersih dari sejarah. Sedangkan kritik tendensi menganalisa hakekat obyek. Kenapa teks turun dan diturunkan menjadi sejarah yang sangat berharga untuk memperoleh makna ideal suatu teks. Dalam langkah yang kedua ini, tahap yang paling penting adalah generalisasi makna. Ide pokok harus dicari dari sebuah teks agar dapat diterapkan pada realitas saat ini. Sementara kritik praksis menjadi alat untuk membumikan hasil generalisasi yang telah dilakukan dalam kritik tendensi. Dengan kata lain, berangkat dari refleksi ke aksi. ltu sebabnya, hermeneutika Hassan Hanafi disebut juga hermeneutika transformatif.

Fazlur Rahman
Tokoh Islam yang menyebut dirinya neo-modernis ini, menganggap bahwa selama ini interpretasi terhadap teks keagamaan bersifat harfiah dan terikat dengan tradisi. Sedang kelemahan besar umat Islam saat ini adalah susah merespon dinamika zaman. Oleh sebab itu, Rahman mengajukan suatu strategi yang disebut double movement. Double movement berpijak dari realitas masa kini. Problem-problem yang terjadi pada realitas masa kini berusaha mencari rujukan solusi terhadap al-Qur’an. Maka langkah yang selanjutnya adalah dengan melacak kondisi sosio-historis ayat tersebut. Dalam hal ini generalisasi pada hal-hal khusus perlu dilakukan untuk menemukan ideal moral. Ideal moral ini menjadi rujukan yang paling signifikan dalam kemampuannya menghadapi dinamika perubahan zaman. Langkah yang terakhir adalah menerapkan ideal moral tersebut dalam realitas kehidupan masa kini. Misi hermeneutik yang dibawa oleh Rahman adalah melacak world view al-Qur’an dalam rangka membumikan al-Qur’an. Sebab selama ini umat Islam merasa asing dengan al-Qur’an yang menggunakan bahasa-bahasa khusus dan terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan membumikan al-Qur’an yang dilakukan Rahman disebabkan oleh keyakinannya bahwa al-Qur’an adalah dokumen teks bagi penuntun kehidupan manusia. Namun teks datang dengan bahasa yang terikat, sebab teks tersebut merupakan hasil transaksi wahyu dengan realitas. Menghadapi persoalan inilah Rahman melacak ide-ide umum al-Qur’an melalui strategi double movement.

Mohammed Arkoun
Jacques Derrida, Paul Ricoeur, Michel Foucoult adalah beberapa tokoh rujukan Arkoun selain tokoh-tokoh yang lain dalam upaya memahami bahasa agama. Dan Derrida, Arkoun mengadopsi pemikiran dekonstruksi terhadap logosentisme yang terjadi pada umat Islam saat ini. Menurutnya, umat Islam Islam banyak yang terkungkung pada cara baca dengan cara tertentu. Cara baca ini sangat membahayakan, karena selalu disertai dengan gaya berfikir yang terbakukan dan saling klaim kebenaran. Maka, dekonstruksi terhadap nalar ini harus dilakukan. Sebab dekonstruksi adalah bersifat menata ulang dan suatu keniscayaan rekonstruksi. Sedangkan dan Ricoeur, Arkoun belajar tentang mitos. Ketika tafsir dihasilkan dari pembacaan yang bernalar logosentris, maka terjadilah truth claim pada tafsir tertentu. Dan anggapan paling benar ini muncullah mitos. Mitos menyimpan sebuah angan angan sosial dalam melanggengkan pemikiran yang terdapat pada nalar logosentris.
Sebab itu angan-angan sosial sangat penting untuk dicek dalam rangka memahami bahasa mitos. Menurutnya, al-Qur’an memakai bahasa yang bersifat mistis. Bahasa mistis membuka peluang untuk pembacaan dengan makna baru. Demitologisasi bukanlah menghancurkan mitos tersebut kemudian mengganti dengan mitos yang lain. Melainkan mitologisasi adalah usaha untuk mendapatkan makna baru yang terdapat dalam mitos tersebut dengan gaya pembacaan yang baru pula.
Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang menerapkan metode hermeneutik dalam tradisi Islam. Tapi setidaknya, ketiga tokoh diatas dapat mewakili tokoh-tokoh yang lain. Sebab secara umum mereka berusaha sedapat mungkin untuk mendialogkan al-Qur’an dan wacana-wacana keagamaan dengan realitas masa kini yang menjadi ciri khas hermeneutik. Pemikiran tokoh-tokoh tersebut adalah suatu upaya sistematis dalam menjinakkan hermeneutik untuk kemudian diterapkan dalam tradisi Islam. Kendati demikian, tokoh-tokoh tersebut bukan berarti tidak menuai badai akibat pemikirannya. Sebab sampai saat ini, sangkalan dari berbagai pihak datang silih berganti untuk membantah pemikirannya yang dianggap menyesatkan. Namun terlepas dari pro dan kontra yang menimpa tokoh-tokoh Islam tersebut, hermeneutik yang mempunyai wajah garang telah berhasil dikemas dalam cermin dan bingkai yang indah, yaitu Islam.
Penulis adalah mahasiswa semester lima tafsir hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penggiat bidang intelektual IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) komisariat Fakultas Ushuluddin.

No comments: