Dalam
tradisi Islam, hermeneutik sering disamakan dengan tafsir. Sebab secara
etimologi hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu Hermeneueia yang berarti
menafsirkan. Istilah ini mengacu pada tokoh mitologi Yunani kuno bernama hermes
yang bertugas menerjemahkan bahasa-bahasa Tuhan dari gunung Olympus
ke dalam bahasa manusia agar dapat dipahami. Dari sini, hermeneutik menjadi
identik dengan metode penafsiran/ interpretasi. Karena itu, dalam mendefinisikan
hermeneutik E. Sumaryono menyebut hermeneutik
sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”.
Dalam
perkembangannya, hermeneutik dikenal sebagai sebuah metodologi interpretasi
yang unggul. Sehingga, bukan saja dalam tradisi agama, dalam disiplin ilmu
filsafat, seni, dan disiplin keilmuan yang lain hermeneutik menjadi cukup
populer. Hermeneutik tidak saja dijadikan sebagai pisau bedah untuk menafsirkan
teks-teks suci agama, namun juga karya-karya ilmiah maupun beberapa karya
sastra lain yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Hermeneutik
mulai dikenal dalam dunia Islam sejak para sarjana Islam yang belajar di Barat
dan kemudian memperkenalkan ilmu yang diperoleh dalam lingkungannya. Lebih
lanjut, diskursus hermeneutik akhirnya menjadi cukup akrab dengan al-Qur’an.
Sebab metode interpretasi ini diduga kuat setali tiga uang dengan tafsir,
khususnya tafsir bir-Ra’yi atau ta’wil yang sudah lama digeluti oleh beberapa
ulama dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada dasarnya ruang lingkup hermeneutik
mencakup tiga elemen yaitu teks, pengarang atau penafsir dan audiens (pembaca)
yang disebut Triadic Structure. Triadic structure ini, masing-masing memiliki
horizon ruang dan waktu yang berbeda. Teks lahir pada dimensi ruang dan waktu
tertentu; penafsir membumikan teks dalam sejarah yang berbeda; sementara
pembaca silih berganti lintas ruang dan waktu. Tugas hermeneutik pada intinya
adalah mendialogkan dengan seimbang triadic structure tersebut.
Dialog
yang seimbang berusaha menyajikan teks -yang hidup dalam sejarah tertentu-
dalam horizon waktu kekinian. Sebab menurut Wilhelm Dilthey, hermeneutik pada
dasarnya bersifat menyejarah. Artinya makna itu sendiri tidak pernah “berhenti
pada satu masa” saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah, maka
interpretasipun bagai benda cair, tak pernah ada suatu hukum untuk
interpretasi. Seperti halnya al-Qur’an harus tetap dapat menjadi solusi dan
alternatif bagi persoalan kemanusiaan yang bersifat lintas ruang dan waktu.
Sehingga ungkapan Islam Sholih fi kulli zaman wa makan dapat terwujud. Sebagai
sebuah metode, hermeneutik memiliki sifat dasar kritis, liar dan radikal.
Sehingga
bila diterapkan begitu saja, hermeneutik akan membahayakan wilayah normativitas
agama khususnya Islam. Sebab, beragam problem akan muncul dalam teks-teks
keagamaan jika hermeneutik menyentuh wilayah ini. Aspiratifkah pewarisan
gagasan melalui sebuah teks? Samakah kehendak yang diinginkan tuhan (Allah SWT)
dengan al-Qur’an? dapatkah hadits merangkum dengan benar gagasan Muhammad saw?
Problem-problem tersebut kendati wajar dalam tradisi hermeneutik tetapi telah
menyentuh wilayah-wilayah yang paling sensitif dalam Islam. Sikap kritis
hermeneutik menjadi semakin kental dengan sentuhan pemikiran three masters of
prejudices, yaitu Sigmund Freud, Karl Marx dan Friederic Nietzcshe. Ketiganya
mengembangkan sikap prasangka (kecurigaan) terhadap postulat-postulat
sekalipun. Sigmund Freud, menunjukkan sikap kehati-hatiannya pada bahasa, sebab
alam bawah sadar manusia dan nafsu libido seseorang, akan mempengaruhi bahasa.
Karl
Marx, pencetus pahan) sosialisme ini dalam menghadapi teks senantiasa
mengedepankan praduga terhadap pengarang khususnya status sosial politik dan
ekonominya yang dapat mempengaruhi teks. Menurutnya, dekonstruksi terhadap
sebuah teks adalah sebuah solusi untuk memperoleh makna obyektif. Sementara
Nietzcshe, berasumsi bahwa setiap orang pasti memiliki keinginan untuk
menguasai orang lain, dan hasrat ini diekspresikan melalui bahasa. Dan three
masters of prejudices ini, hermeneutik ditarik pada suatu ruang yang penuh
dengan kecurigaan pada teks agar dapat menekan subyektifitas teks dan bahkan
agar ditemukan gambaran obyektif teks.
Dari
persoalan ini muncul suatu dilema. Disatu sisi, hermeneutik sebagai sebuah metode
yang kurang bersahabat dan menghawatirkan, khususnya pada wilayah wilayah
sensitif Islam. Disisi lain, hermeneutik diakui sebagai metodologi yang cukup
menjanjikan guna mengkaji teks-teks keagamaan Islam. Oleh sebab itu, beberapa
ulama telah mencoba menerapkan hermeneutik dalam koridor Islam, untuk menyebut
beberapa diantaranya yaitu: Hassan Hanafi
Beliau
adalah seorang tokoh Islam yang cukup gelisah dengan dinamika perubahan zaman.
Kegelisahan ini disebabkan karena zaman yang berkembang begitu cepat
namun
tidak diimbangi dengan apresiasi terbadap teks-teks keagamaan untuk menghadapi
zaman yang semakin kompleks. Dalam menghadapi persoalan tersebut, tokoh
pencetus kiri Islam ini mengajukan tiga langkah, yaitu kritik historis, kritik
tendensi, dan kritik praksis.
Kritik
historis berupaya membersihkan obyek dari anggapan-anggapan sebelumnya yang
membingungkan. Kritik ini menjadi langkah awal yang paling penting, sebab
bagaimana mungkin makna yang benar dapat diperoleh bila obyeknya tidak bersih
dari sejarah. Sedangkan kritik tendensi menganalisa hakekat obyek. Kenapa teks
turun dan diturunkan menjadi sejarah yang sangat berharga untuk memperoleh
makna ideal suatu teks. Dalam langkah yang kedua ini, tahap yang paling penting
adalah generalisasi makna. Ide pokok harus dicari dari sebuah teks agar dapat
diterapkan pada realitas saat ini. Sementara kritik praksis menjadi alat untuk
membumikan hasil generalisasi yang telah dilakukan dalam kritik tendensi.
Dengan kata lain, berangkat dari refleksi ke aksi. ltu sebabnya, hermeneutika
Hassan Hanafi disebut juga hermeneutika transformatif.
Fazlur
Rahman
Tokoh
Islam yang menyebut dirinya neo-modernis ini, menganggap bahwa selama ini
interpretasi terhadap teks keagamaan bersifat harfiah dan terikat dengan
tradisi. Sedang kelemahan besar umat Islam saat ini adalah susah merespon
dinamika zaman. Oleh sebab itu, Rahman mengajukan suatu strategi yang disebut
double movement. Double movement berpijak dari realitas masa kini.
Problem-problem yang terjadi pada realitas masa kini berusaha mencari rujukan
solusi terhadap al-Qur’an. Maka langkah yang selanjutnya adalah dengan melacak
kondisi sosio-historis ayat tersebut. Dalam hal ini generalisasi pada hal-hal
khusus perlu dilakukan untuk menemukan ideal moral. Ideal moral ini menjadi
rujukan yang paling signifikan dalam kemampuannya menghadapi dinamika perubahan
zaman. Langkah yang terakhir adalah menerapkan ideal moral tersebut dalam
realitas kehidupan masa kini. Misi hermeneutik yang dibawa oleh Rahman adalah
melacak world view al-Qur’an dalam rangka membumikan al-Qur’an. Sebab selama
ini umat Islam merasa asing dengan al-Qur’an yang menggunakan bahasa-bahasa
khusus dan terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan membumikan al-Qur’an yang
dilakukan Rahman disebabkan oleh keyakinannya bahwa al-Qur’an adalah dokumen
teks bagi penuntun kehidupan manusia. Namun teks datang dengan bahasa yang
terikat, sebab teks tersebut merupakan hasil transaksi wahyu dengan realitas.
Menghadapi persoalan inilah Rahman melacak ide-ide umum al-Qur’an melalui
strategi double movement.
Mohammed
Arkoun
Jacques
Derrida, Paul Ricoeur, Michel Foucoult adalah beberapa tokoh rujukan Arkoun
selain tokoh-tokoh yang lain dalam upaya memahami bahasa agama. Dan Derrida,
Arkoun mengadopsi pemikiran dekonstruksi terhadap logosentisme yang terjadi
pada umat Islam saat ini. Menurutnya, umat Islam Islam banyak yang terkungkung
pada cara baca dengan cara tertentu. Cara baca ini sangat membahayakan, karena
selalu disertai dengan gaya
berfikir yang terbakukan dan saling klaim kebenaran. Maka, dekonstruksi
terhadap nalar ini harus dilakukan. Sebab dekonstruksi adalah bersifat menata
ulang dan suatu keniscayaan rekonstruksi. Sedangkan dan Ricoeur, Arkoun belajar
tentang mitos. Ketika tafsir dihasilkan dari pembacaan yang bernalar
logosentris, maka terjadilah truth claim pada tafsir tertentu. Dan anggapan
paling benar ini muncullah mitos. Mitos menyimpan sebuah angan angan sosial
dalam melanggengkan pemikiran yang terdapat pada nalar logosentris.
Sebab
itu angan-angan sosial sangat penting untuk dicek dalam rangka memahami bahasa
mitos. Menurutnya, al-Qur’an memakai bahasa yang bersifat mistis. Bahasa mistis
membuka peluang untuk pembacaan dengan makna baru. Demitologisasi bukanlah
menghancurkan mitos tersebut kemudian mengganti dengan mitos yang lain.
Melainkan mitologisasi adalah usaha untuk mendapatkan makna baru yang terdapat
dalam mitos tersebut dengan gaya
pembacaan yang baru pula.
Sebenarnya
masih banyak tokoh lain yang menerapkan metode hermeneutik dalam tradisi Islam.
Tapi setidaknya, ketiga tokoh diatas dapat mewakili tokoh-tokoh yang lain.
Sebab secara umum mereka berusaha sedapat mungkin untuk mendialogkan al-Qur’an
dan wacana-wacana keagamaan dengan realitas masa kini yang menjadi ciri khas
hermeneutik. Pemikiran tokoh-tokoh tersebut adalah suatu upaya sistematis dalam
menjinakkan hermeneutik untuk kemudian diterapkan dalam tradisi Islam. Kendati
demikian, tokoh-tokoh tersebut bukan berarti tidak menuai badai akibat
pemikirannya. Sebab sampai saat ini, sangkalan dari berbagai pihak datang silih
berganti untuk membantah pemikirannya yang dianggap menyesatkan. Namun terlepas
dari pro dan kontra yang menimpa tokoh-tokoh Islam tersebut, hermeneutik yang
mempunyai wajah garang telah berhasil dikemas dalam cermin dan bingkai yang
indah, yaitu Islam.
Penulis
adalah mahasiswa semester lima
tafsir hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penggiat
bidang intelektual IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) komisariat Fakultas
Ushuluddin.
No comments:
Post a Comment