10/04/2012

Tan Malaka : Pemikiran dan Aksi Politik-nya Dalam Masa Pergerakan Nasional di Indonesia



Seperti  “Spinx” yang dingin, dia seorang tokoh revolusioner yang brilian. Seorang tokoh yang telah menjadi dongeng dan penuh teka-teki. Warisan terhebatnya -- tentang konsep materialisme, dialektika, dan logika yang utuh -- merupakan hasil pemikiran dan gagasan besar yang dia cita-citakan bagi bangsa dan negaranya.
----
Pada masa orba (orde baru) putera Minangkabau ini telah direduksir sedemikian rupa akan peran dan aksi perjuangannya. Historiografi saat itu secara sengaja telah ‘menggelapkan’  tokoh revolusioner tersebut. Dia dicap sebagai seorang buronan politik – melalui stigma politiknya dia adalah sebagai komunis. Lewat usaha-usaha seperti menghilangkan fotonya pada  buku-buku sejarah atau melempar keluar karya-karyanya dari perpustakaan, melarang penerbitan ulang karyanya dan menyegel sumber-sumber untuk studi tentang pemikiran-pemikirannya. Nasib Tan Malaka  bisa disamakan dengan nasib para founding father yang lain, misalnya: Soekarno, Hatta, dan Syahrir. [1]
Menuduh Tan Malaka berhaluan Marxisme, mungkin tidaklah seratus persen benar. Tan Malaka sesungguhnya adalah salah satu pemikir dan pejuang besar Indonesia. Sebagai pejuang angkatan 1920-an -- seperti halnya tersebut diatas -- Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, adalah para pemikir yang mendalami ideologi-ideologi besar dunia, sehingga terlalu sempit untuk mengatakan Tan Malaka adalah seorang Marxis. Karya puncak pemikiran Tan Malaka dalam "Madilog", melukiskan bagaimana Tan Malaka menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.[2]
Tak ada yang mungkin membuat Tan Malaka demikian masygul sepanjang hidupnnya. Pemikiran-pemikiran pentingnya lahir pada waktu-waktu ia menemukan bangsanya berada dalam suasana yang rumit dan pelik. Sepak terjang perjuangan politiknya berjalin erat dengan pemikirannya. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa perjuangan politiknya  dikendalikan oleh hasil-hasil olah-pikirnya. Itulah sebabya bahwa Tan Malaka adalah “tuan” atas dirinya sendiri, baik dalam perjuangan politiknya maupun dalam mengembangkan pemikirannya.
Tan Malaka -- lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka -- menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-- Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut bertolak dari Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945,  ditulis oleh Harry A. Poeze ini memuat  riwayaat hidup, perjuangan poltik dan perkembngan pemikiran – dapat disimpulkan – bahwa ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan Malaka. Pertama, Tan Malaka sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses kehidupan yang penuh konflik dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktivis plitikyang berkembang menjadi seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga, intelektual-pemikir  yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.[3]
Demikian juga dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur pengalaman”  kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi  seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa  yang berlaku. Seorang personalitas politik yang mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi  yang sama dan sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.[4]
Menurut Mrazek, struktur pengalaman  Tan Malaka adalah tipe masyarakat minangkabau pada akhir abad yang lalu atau pemulaan abad abad ini (abad ke-20 — pen.) yang mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai cirri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau  mempunyai perspektif, yang sampai sekarang masih  kuat dipegang, bahwa adapt dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensi buat mencapai dan mempertahankan  perpaduan/integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika”  yang selalu mampu menemukan keserasian dalam  suasana kontradiksi. [5]
Disini Tan Malaka adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi  adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau tersebut. Juga proses  penyerapan unsure-unsur luar atau baru  terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat dikatakan bahwa pergi merantau akan memberkan pngalaman dan pengetahuan baru yang didapatkannya dari luar. Dan kemanapun jauh perginya dia merantaupun akan tetap kembali ke asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan tersebut diharapkan dapat memainkan peranan sosial di tengah masyarakat sehingga mereka bisa ikut apa yang baik dari rantau dan membuang  apa yang buruk.
Biografi tentang "Trostky" Indonesia itu memang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif dan datar saja. Berbeda sekali dengan Tan Malaka, bahwa sifat mengembara (perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai kehidupan politiknya. Sejak 1922 dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen, ke Jerman, pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam Komintern ke IV dan diangkat menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di Bangkok mendirikan PARI, 1937 di Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Baru setelah Belanda menyerah kepada Jepang, Tan Malaka kembali ke Tanah Air. Bahkan Tan Malaka  adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional yang  banyak bertandang ke berbagai negara.
---
Tan malaka adalah tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam lingkungan  keluarga-keluarga buruh yang  miskin di sana. Setelah ia kembali ke Indonesia ia menjadi guru di Deli dan disana ia melihat banyak ketidakadilan. Pengalaman-pengalamnnya yang pahit  mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan Semaun dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memmerlukan perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di PKI. Tahun 1924 ia diusir ke luar negeri. Kemudian  ia pergi ke Rusia dan bekerja sebagai agen Komintern untuk Timur Jauh (Asia Timur). Dalam Komintern ia juga tidak cocok dengan garis Stalin karena itu ia mengambil sikap “independent”. Ia menjadi “pacar merah” Indonesia, mengembara dari satu negara ke negara lain sambil bersembunyi karena dicari oleh polisi Belanda-Inggris-Amerika-Kuomintang dan Prancis..[6]
Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun kemudian terdapat friksi di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi pemberontakan Komunis 1926 (maupun 1948), Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi revolusioner di rakyat belum tercapai benar (matang), lagi pula anggota PKI basisnya relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
 Dapat dilihat bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks historisnya lebih dia tekankan. 
Kemudian dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat dan Trostky.[7] Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya MADILOG). Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir sekalipun.[8]
---
Sebagaimana diketahui kemudian, Tan Malaka berpisah dengan orang-orang
komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng. Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927.
Orang yang amat mengharagai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatis terhadap idelogi secara ketat. Orang seperti Tan Malaka akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya. Sungguh pun dia secara politik dan ekonomis menantang kapitalis dan imperialisme Barat. Namun, ia masih bisa melihat segi-segi positif dari
sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia , bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin
menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai
senjata Barat yang orisinil..." [9]
Pada waktu yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani dari segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai dan apriori terhadap kebudayaan kuno yang dianggap Tan Malaka penuh berisi kesesatan, dan tahayul yang menyebabkan mereka bersemangat budak.[10]
Dalam MADILOG, kebudayaan kuno yang dianggapnya menghalangi orang berpikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama berpengaruh di Pulau Jawa, menurut Tan Malaka telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana terlihat dari sisa-sisa feodalisme.
Di sini dia, apakah untuk keperluan pengontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian dari itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan. [11]
Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Soekarn, seperti yang terbit antara tahun 1926 dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil melahirkan ide-ide yang berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi membaca literatur-literatur Barat, Soekarno sebenarnya secara mental melakukan perantauan. Dia melakukan cara berfikir aktif dan dinamis, darimana lahir pula konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti "Marhanenisme".
Secara garis besarnya, cara berfikir Soekarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-ciri dimanis atau dialektisme jelas terlihat sebagaimana Tan Malaka, Soekarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas
hasil-hasil pemikirannya sendiri. [12]
Barangkali, setiap masyarakat dalam pertemuan dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang yang berani berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan syinthesis berupa pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena itu bisa dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul.
---
Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam suasana konflik, yaitu melihat hal atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau dipunyainya. Dia hampir selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut kepadanya untuk melahirkan Synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagaimana antara lain terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya
dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan pikirannya, ia tak pernah menyerah pada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektuilmenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah. [13]
Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat pada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan dratis dalam segala bidang meliputi : politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Canton, dia menerbitkan buku (1925) "Menuju Republik Indonesia" (title aslinya; Naar de Republik Indonesia). Dalam karyanya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan militer. Program-program ini sebenarnya dimaksud Tan Malaka sebagai pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke arah yang
dicita-citakannya.
Akan tetapi, hubungannya dengan tokoh-tokoh PKI, sebagaimana yang telah iungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya rusak sama sekali setelah terjadi pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya "Massa Aksi", di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/teroganisir. Di sini kembali tampak denhan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan revolusioner, tetapi syarat untuk sukesnya revolusi itu baginya tetap
dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persauan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap meupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. [14]
Bilamana kerjasama itu, kata Tan Malaka, sampai terputus, ia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudaan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa.[15]
Tetapi mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa itu lah yang terbaik untuk mengeyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga
mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing).
Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politi, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Setelah PKI praktis dihancurkan oleh pengusaha kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan "Partai Republik Indonesia" atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik perhatian, terutama dalam hubungan Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927 dan ketidaksesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut PAN Islamisme).  Sementara itu, Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan "hegemoni" internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. [16]
Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa warna nasionalime dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salahsatu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentu juga berkaitan erat dengan sistim pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika.
---
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. 
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. 
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. 
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”( mencapai Republik Indonesia).
Dan akhirnya, Bila sejarah adalah sebuah panggung pertunjukan, epilog dari hidup Tan Malaka adalah sebuah tragedy. Ia mati saat bersama gerilya proklamasi di Pethok, Jawa Timur tanpa pernah ditemukan jasadnya. Catatan sejarah memperkirakan 19 Februari 1949 sebagai hari mati Tan Malaka. Tapi untuk sekian lama  kematian itu terbungkus dalam kabut ketidakpastian Legenda sejarah yang misterius dan gemar merantau itu memang tersingkir dalam hidupnya. Tapi, ternyata ia tidak terasing dari masyarakat yang melahirkannya.
Bahan-bahan Rujukan:
Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000
Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.
Hatta, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku, Kolff Jakarta, 1953
Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,  No. 8, Jakarta: LP3ES
Peranan Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000
Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999
Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 2000






Topik :
Tan  Malaka :  Pemikiran dan Aksi Politik-nya dalam Masa Pergerakan Nasional di Indonesia

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
 Sejarah Pergerakan Nasional 1908-1942

Dosen Pengampu: Dra. Sayekti MP.d


Disusun oleh :

Anton B. Prasetyo
C0501006

Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa

UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2003







[1] Kata Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
[2] Peranan Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000. Lihat Juga: Dr. Hamka, Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000, xii-xiv.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.

[4] Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977, hlm: 59.
[5]  Ibid., hlm. 59-60.
[6] Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999, 71-72.
[7]  Lihat: Hatta,  Trotzkiisme adalah dimana rezim Stalin mencap segala mereka yang tidak disukainya dan segala aliran yang menyimpang ke-kanan dan ke-kiri dari “generale linie” yang ditentukannya, dalam Budak Stalin Mencari Trotzky ke Indonesia, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku
Indonesia, Kolff Jakarta, 1953, hlm.137-140. Juga baca: Bab III pada catatan kakii no. 2, dalam Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999, hlm. 52.
[8] Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 187.
 
 
 
 

[9] Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999, hlm.117-131
[10] Ibid. Lihat juga: Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 2000, hlm. 142-147.
[11] Ibid., Hlm.320-333.
[12] Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,  No. 8, Jakarta: LP3ES, hlm. 3-14
[13] Alfian, Pengantar, dalam Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik, Cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1999, hlm.xxi-xxvi
[14] Tan Malaka, Massa Aksi, Op.cit.
[15] Ibid.
[16] Harry A. Poeze, Op.cit., hlm. 93-99. Baca: Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000, hlm. 25-33.


No comments: