Seperti “Spinx” yang dingin, dia seorang tokoh
revolusioner yang brilian. Seorang tokoh yang telah menjadi dongeng dan penuh
teka-teki. Warisan terhebatnya -- tentang konsep materialisme, dialektika, dan
logika yang utuh -- merupakan hasil pemikiran dan gagasan besar yang dia
cita-citakan bagi bangsa dan negaranya.
----
Pada masa orba
(orde baru) putera Minangkabau ini telah direduksir sedemikian rupa akan peran
dan aksi perjuangannya. Historiografi saat itu secara sengaja telah
‘menggelapkan’ tokoh revolusioner
tersebut. Dia dicap sebagai seorang buronan politik – melalui stigma politiknya
dia adalah sebagai komunis. Lewat usaha-usaha seperti menghilangkan fotonya
pada buku-buku sejarah atau melempar
keluar karya-karyanya dari perpustakaan, melarang penerbitan ulang karyanya dan
menyegel sumber-sumber untuk studi tentang pemikiran-pemikirannya. Nasib Tan
Malaka bisa disamakan dengan nasib para founding father yang lain, misalnya:
Soekarno, Hatta, dan Syahrir. [1]
Menuduh Tan
Malaka berhaluan Marxisme, mungkin tidaklah seratus persen benar. Tan Malaka sesungguhnya adalah salah satu pemikir dan
pejuang besar Indonesia .
Sebagai pejuang angkatan 1920-an -- seperti halnya tersebut diatas -- Tan
Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, adalah para pemikir yang
mendalami ideologi-ideologi besar dunia, sehingga terlalu sempit untuk
mengatakan Tan Malaka adalah seorang Marxis. Karya puncak pemikiran Tan Malaka
dalam "Madilog", melukiskan bagaimana Tan Malaka menggeluti berbagai
agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika
dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan
faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.[2]
Tak ada yang
mungkin membuat Tan Malaka demikian masygul sepanjang hidupnnya.
Pemikiran-pemikiran pentingnya lahir pada waktu-waktu ia menemukan bangsanya
berada dalam suasana yang rumit dan pelik. Sepak terjang perjuangan politiknya
berjalin erat dengan pemikirannya. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
perjuangan politiknya dikendalikan oleh
hasil-hasil olah-pikirnya. Itulah sebabya bahwa Tan Malaka adalah “tuan” atas
dirinya sendiri, baik dalam perjuangan politiknya maupun dalam mengembangkan
pemikirannya.
Tan Malaka --
lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka -- menurut keturunannya ia termasuk suku
bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-- Sumatra
Barat—Tan Malaka dilahirkan.
Pejuang yang
militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan
pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar
dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia . Dengan perjuangan yang
gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut
bertolak dari Tan Malaka: Pergulatan
Menuju Republik 1925-1945, ditulis
oleh Harry A. Poeze ini memuat riwayaat
hidup, perjuangan poltik dan perkembngan pemikiran – dapat disimpulkan – bahwa
ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan Malaka. Pertama, Tan Malaka
sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses kehidupan yang penuh konflik
dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktivis plitikyang berkembang menjadi
seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga,
intelektual-pemikir yang melahirkan
pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.[3]
Demikian juga
dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka
melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan
“struktur pengalaman” kira-kira
dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri
seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di
sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan
mengartikan apa-apa yang berlaku.
Seorang personalitas politik yang mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat
melalui konsepsi yang sama dan sesuai
dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam
dirinya.[4]
Menurut Mrazek,
struktur pengalaman Tan Malaka adalah
tipe masyarakat minangkabau pada akhir abad yang lalu atau pemulaan abad abad
ini (abad ke-20 — pen.) yang
mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai cirri khasnya. Melalui
struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau
mempunyai perspektif, yang sampai sekarang masih kuat dipegang, bahwa adapt dan falsafah
Minangkabau memandang konflik sebagai esensi buat mencapai dan mempertahankan perpaduan/integrasi masyarakat. Alam
Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika” yang selalu mampu menemukan keserasian
dalam suasana kontradiksi. [5]
Disini Tan Malaka
adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi atau
idealisasi adat dan falsafah hidup
masyarakat Minangkabau tersebut. Juga proses
penyerapan unsure-unsur luar atau baru
terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat dikatakan bahwa
pergi merantau akan memberkan pngalaman dan pengetahuan baru yang didapatkannya
dari luar. Dan kemanapun jauh perginya dia merantaupun akan tetap kembali ke
asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan tersebut diharapkan dapat
memainkan peranan sosial di tengah masyarakat sehingga mereka bisa ikut apa
yang baik dari rantau dan membuang apa
yang buruk.
Biografi tentang
"Trostky" Indonesia
itu memang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan
Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif dan datar saja. Berbeda sekali dengan
Tan Malaka, bahwa sifat mengembara (perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai
kehidupan politiknya. Sejak 1922 dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi
anggota Parlemen, ke Jerman, pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam
Komintern ke IV dan diangkat menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di
Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik
Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di Bangkok mendirikan PARI, 1937 di
Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Baru setelah Belanda menyerah kepada
Jepang, Tan Malaka kembali ke Tanah Air. Bahkan Tan Malaka adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional
yang banyak bertandang ke berbagai
negara.
---
Tan malaka adalah
tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang
belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam lingkungan keluarga-keluarga buruh yang miskin di sana . Setelah ia kembali ke Indonesia ia
menjadi guru di Deli dan disana ia melihat banyak ketidakadilan.
Pengalaman-pengalamnnya yang pahit
mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan Semaun
dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memmerlukan
perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di
PKI. Tahun 1924 ia diusir ke luar negeri. Kemudian ia pergi ke Rusia dan bekerja sebagai agen
Komintern untuk Timur Jauh (Asia Timur). Dalam Komintern ia juga tidak cocok
dengan garis Stalin karena itu ia mengambil sikap “independent”. Ia menjadi
“pacar merah” Indonesia, mengembara dari satu negara ke negara lain sambil
bersembunyi karena dicari oleh polisi Belanda-Inggris-Amerika-Kuomintang dan
Prancis..[6]
Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun kemudian terdapat friksi di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi pemberontakan Komunis 1926 (maupun 1948), Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi revolusioner di rakyat belum tercapai benar (matang), lagi pula anggota PKI basisnya relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
Dapat dilihat bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks historisnya lebih dia tekankan.
Kemudian dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat dan Trostky.[7] Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya MADILOG). Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir sekalipun.[8]
---
Sebagaimana diketahui kemudian, Tan
Malaka berpisah dengan orang-orang
komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng. Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927.
komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng. Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927.
Orang yang amat mengharagai kebebasan
berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan
organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatis terhadap idelogi secara ketat.
Orang seperti Tan Malaka akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang
dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan
Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya.
Sungguh pun dia secara politik dan ekonomis menantang kapitalis dan
imperialisme Barat. Namun, ia masih bisa melihat segi-segi positif dari
sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia , bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin
menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai
senjata Barat yang orisinil..." [9]
sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia , bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin
menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai
senjata Barat yang orisinil..." [9]
Pada waktu yang sama hasil pemikirannya
juga mengemukakan secara berani dari segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia
yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai dan apriori
terhadap kebudayaan kuno yang dianggap Tan Malaka penuh berisi kesesatan, dan
tahayul yang menyebabkan mereka bersemangat budak.[10]
Dalam MADILOG, kebudayaan kuno yang
dianggapnya menghalangi orang berpikir bebas, kritis dan dinamis ialah
kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia,
dan terutama berpengaruh di Pulau Jawa, menurut Tan Malaka telah melahirkan
mentalitas budak sebagaimana terlihat dari sisa-sisa feodalisme.
Di sini dia, apakah untuk keperluan pengontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian dari itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan. [11]
Di sini dia, apakah untuk keperluan pengontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian dari itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan. [11]
Kalau seandainya Tan Malaka membaca
pemikiran-pemikiran Soekarn, seperti yang terbit antara tahun 1926 dan 1933,
dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh
sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil melahirkan ide-ide
yang berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi
membaca literatur-literatur Barat, Soekarno sebenarnya secara mental melakukan
perantauan. Dia melakukan cara berfikir aktif dan dinamis, darimana lahir pula
konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti "Marhanenisme".
Secara garis besarnya, cara berfikir
Soekarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana
ciri-ciri dimanis atau dialektisme jelas terlihat sebagaimana Tan Malaka,
Soekarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang
berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat
memperjelas
hasil-hasil pemikirannya sendiri. [12]
hasil-hasil pemikirannya sendiri. [12]
Barangkali, setiap masyarakat dalam
pertemuan dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa
membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang yang berani
berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua
kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan syinthesis berupa
pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena itu bisa
dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul.
---
Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan
Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam suasana konflik, yaitu melihat hal
atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau dipunyainya. Dia hampir
selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut kepadanya
untuk melahirkan Synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagaimana antara lain
terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya
dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan pikirannya, ia tak pernah menyerah pada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektuilmenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah. [13]
dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan pikirannya, ia tak pernah menyerah pada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektuilmenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah. [13]
Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan
perjuangan Tan Malaka terpusat pada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan
sekaligus merombaknya secara total dan dratis dalam segala bidang meliputi :
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah
seorang agen Komintern di Canton, dia menerbitkan buku (1925) "Menuju
Republik Indonesia" (title aslinya; Naar de Republik Indonesia). Dalam
karyanya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju
berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti
politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan militer. Program-program ini
sebenarnya dimaksud Tan Malaka sebagai pegangan partainya (PKI) yang
diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke
arah yang
dicita-citakannya.
dicita-citakannya.
Akan tetapi, hubungannya dengan
tokoh-tokoh PKI, sebagaimana yang telah iungkapkan tadi, kemudian memburuk dan
akhirnya rusak sama sekali setelah terjadi pemberontakan 1926/1927.
Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis
melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan
pemberontakan itu melahirkan karyanya "Massa Aksi", di mana ia
menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil
kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/teroganisir. Di sini kembali
tampak denhan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan
revolusioner, tetapi syarat untuk sukesnya revolusi itu baginya tetap
dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persauan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap meupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. [14]
dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persauan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap meupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. [14]
Bilamana kerjasama itu, kata Tan Malaka,
sampai terputus, ia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju
kepada perbudaan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh
satu golongan yang berkuasa.[15]
Tetapi mengapa revolusi? Di samping
pengamatannya yang melihat bahwa itu lah yang terbaik untuk mengeyahkan kaum
kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga
mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing).
Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politi, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing).
Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politi, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Setelah PKI praktis dihancurkan oleh
pengusaha kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat
dan Djamaludin Tamim mendirikan "Partai Republik Indonesia" atau PARI
di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik perhatian, terutama dalam hubungan Tan
Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan
usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI
sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa
pemberontakan 1926/1927 dan ketidaksesuaiannya dengan sikap politik Komintern
(terutama yang menyangkut PAN Islamisme). Sementara itu, Moskow juga
tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan "hegemoni"
internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di
daerah-daerah jajahan. [16]
Di sini, kalau analisa di atas betul,
jelas kelihatan bahwa warna nasionalime dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam
daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salahsatu faktor yang
telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat
untuk memasukan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentu juga berkaitan erat
dengan sistim pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika.
---
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk
dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia
sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka
menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan
artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya
“MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir
ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book
thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir,
dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode
yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari
kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti.
Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan
pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat
materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling
sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang
pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional
dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit,
sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum
dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai
dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara
serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan
masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text
book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak
tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”( mencapai Republik Indonesia).
Dan akhirnya, Bila sejarah adalah sebuah panggung
pertunjukan, epilog dari hidup Tan Malaka adalah sebuah tragedy. Ia mati saat
bersama gerilya proklamasi di Pethok, Jawa Timur tanpa pernah ditemukan
jasadnya. Catatan sejarah memperkirakan 19 Februari 1949 sebagai hari mati Tan
Malaka. Tapi untuk sekian lama kematian
itu terbungkus dalam kabut ketidakpastian Legenda sejarah yang misterius dan
gemar merantau itu memang tersingkir dalam hidupnya. Tapi, ternyata ia tidak
terasing dari masyarakat yang melahirkannya.
Bahan-bahan Rujukan:
Helen Jarvis, Pejuang
Revolusioner atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000
Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang
Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, 1977
Harry
A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju
Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.
Hatta, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai
Buku, Kolff Jakarta, 1953
Onghokham, Sukarno,
Mitos dan Realitas, No. 8,
Jakarta: LP3ES
Peranan Tan
Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000
Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Soe Hok Gie, Dibawah
Lentera Merah, SI Semarang 1917-1920, Cet. ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Soe Hok Gie, Orang-orang
di Persimpangan Kiri Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta: Bentang, 1999
Tan
Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog,
Cet. Ke-2, Jakarta: Komunitas Bambu, 2000.
Tan Malaka, Madilog,
Materialisme, Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator,
1999
Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta:
Bentang, 2000
Topik :
Tan Malaka
: Pemikiran dan Aksi Politik-nya dalam
Masa Pergerakan Nasional di Indonesia
Makalah ini disusun guna untuk
memenuhi tugas pada mata kuliah
Sejarah Pergerakan Nasional 1908-1942
Dosen Pengampu: Dra.
Sayekti MP.d
Disusun oleh :
Anton B. Prasetyo
C0501006
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2003
[1]
Kata Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam
dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta :
Komunitas Bambu, 2000.
[2] Peranan
Tan Malaka Perlu diluruskan, Kompas, Senin 13 Maret 2000. Lihat Juga:
Dr. Hamka, Pengantar, dalam Tan Malaka, Islam
dalam Tinjauan Madilog, Cet. Ke-2, Jakarta :
Komunitas Bambu, 2000, xii-xiv.
[3]
Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan
Menuju Republik, terjemahan, Cet. Ke-1, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1999.
[4]
Alfian, Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian, Prisma, No. 8, Jakarta : LP3ES, 1977,
hlm: 59.
[5] Ibid.,
hlm. 59-60.
[6] Soe Hok
Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri
Jalan, cet.ke-1, Yogyakarta : Bentang,
1999, 71-72.
[7] Lihat: Hatta,
Trotzkiisme adalah dimana rezim
Stalin mencap segala mereka yang tidak disukainya dan segala aliran yang
menyimpang ke-kanan dan ke-kiri dari “generale linie” yang ditentukannya,
dalam Budak Stalin Mencari Trotzky ke
Indonesia, Kumpulan Karangan 1, Penerbit dan Balai Buku
[8] Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadap Perjuangan "Sang Kiri Nasionalis", Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 187.
[9]
Tan Malaka, Madilog, Materialisme,
Dialektika, dan Logika, Cet. ke-1, Jakarta: Pusat Indikator, 1999,
hlm.117-131
[10] Ibid. Lihat juga: Tan Malaka, Massa Aksi, Cet. ke-1, Yogyakarta:
Bentang, 2000, hlm. 142-147.
[11] Ibid., Hlm.320-333.
[12]
Onghokham, Sukarno, Mitos dan Realitas,
No. 8, Jakarta: LP3ES, hlm. 3-14
[13] Alfian,
Pengantar, dalam Tan Malaka Pergulatan
Menuju Republik, Cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1999, hlm.xxi-xxvi
[14] Tan
Malaka, Massa Aksi, Op.cit.
[15] Ibid.
[16]
Harry A. Poeze, Op.cit., hlm. 93-99.
Baca: Helen Jarvis, Pejuang Revolusioner
atau Murtad, terjemahan, cet. ke-1, Jakarta: Cermin, 2000, hlm. 25-33.
No comments:
Post a Comment