8/01/2010

Catatan Tentang Sastra

Mendefisinikan sastra secara menyeluruh dengan tepat bukan hal yang sipele, karena sastra itu selalu terkait dengan kebudayaan tertentu. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, melainkan sebuah nama yang diberikan, dengan alasan tertentu kepada hasil kebudayaan tertentu (Luxemburg 1984:9). Pendapat-pendapat yang pernah dikemukakan oleh para ahli mengenai sastra juga berbeda-beda karena terikat oleh zaman dan kebudayaan tertentu. Di samping itu disebabkan juga oleh objek penelitiannya yang tidak tentu bahkan tidak keruan (Teeuw 1984:21). Selanjutnya Teeuw menambahkan, Masalahnya: secara intuasi kita semua sedikit banyak tahu gejala apakah yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita coba membatasinya, gejala itu luput dari tangkapan kita” (Teeuw 1984:21 – 22).

Damono (1979:3 – 5) memberikan pentunjuk bahwa sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri. Sastra berurusan dengan manusia, usaha manusia untuk menyesuaikan diri, dan keinginan untuk mengubahnya.

Selanjutnya Damono menambahkan bahwa sastra itu mencerminkan nilai-nilai yang secara sadar diformulasikan dan yang diusahakan untuk dilaksanakan. Oleh karena itu pengarang menyandang tugas: memainkan tokoh-tokohnya dalam situasi rekaan untuk mengungkapkan nilai dan makna. Hal ini membuat “gagasan” yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan “bentuk” dan “teknik” penulisannya: bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu dikontrol oleh gagasan tersebut. Karya yang besar tidaklah diciptakan berdasarkan gagasan sepele atau dangkal.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Taufik Abdullah dalam buku Dari Peristiwa ke Imajinasi-nya Umar Junus (1985:ix), bahwa pada kesadaran yang tinggi apa yang diajukan sastrawan adalah hasil dari dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas, yang berbagai dimensi, sedang pada tingkat kesadaran yang rendah karya sastra itu adalah pantulan dari lingkungan realitas itu. Sastra pada dasarnya adalah usaha untuk memperlihatkan makna kehidupan.

Ssastra bagi manusia mana dan siapa pun adalah aktualisasi kehidupannnya, selaku usaha untuk merealisasikan diri menjadi semakin manusiawi; maka pada dasarnya sastra adalah perkara biasa. Sastra dan seni adalah hal sehari-hari. Seniman, sastrawan adalah warga masyarakat biasa, yang mencari nafkah dan bergerak normal sebagai orang biasa juga, tetapi yang tahu serta menghayati, bahwa selain dimensi-dimensi material dan wadag biasa saja, manusia masih punya dimensi lain yang mengatasi materi dan yang melonjak dari peri-budayawannya; dia pelaku seni, penucap sastra. Realistik imanen di dalam dan tengah dunia wadag, tetapi yang tak lupa mengaktualisasikan dimensi transendennya, urai Mangunwijaya (1986:2—7).

Bersastra pada dasarnya ialah pernyataan penghadiran: menghadirkan sesuatu “ada” yang sudah hadir, namun masih terselubung, dan yang tidak akan keluar dari selubung itu bila tidak dihadirkan dalam suatu bahasa. Bersastra juga merupakan pewartaan eksistensial mengenai realita-realita dari eksistensi manusia: kelahiran, kehiduapan, mengahdapi maut. “Sastra” dan “Bentuk Hidup” adalah dua sinonim dari satu realita. Jadi pada mulanya sastra merupakan suatu fungsi penghadiran dan pewartaan eksistensi; sastra adalah sarana transformatoris (baca:religius). Dengan demikian Mangunwijaya (1982:11) mencatat suatu peryataan hitam putih: “Pada Awal Mula, Segala Sastra adalah Relegius”.

Perkembangan selanjutnya sastra menuntut haknya untuk otonom, tidak perlu ciri eksistensial atau fungsi penghadiran. Lahirlah sastra modern – Mangunwijaya menyebutnya: sastra sekuler. Namun pada kenyataannya sastra yang berciri religius tranfromatoris bukan versus sastra otonom. Keduanya ternyata adalah aspek atau demensi dari satu perwujudan penghadiran atau pewartaan eksistensial. Karya-karya modern masih tetap berpegang pada dimensi-deminsi penghadiran, bahwkan eksistensinya berkadar pekat, yang benar-benar prihatin terhadap ke-“ada”-an dan bahaya ke-“tiada”-an bangsa manusia – tentunya sesuai dengan caranya sendiri. Kembali pada pernyataan awal, sastra tertentu adalah suatu bentuk hidup tertentu, maka suatu bentuk hidup tertentu adalah bentuk sastra tertentu pula. Mangunwijaya akhirnya berkesimpulan: ‘semua satra yang baik selalu relegius’ (Mangunwijaya 1982:15).


Karya sastra merupakan kekonkretan gambaran, maka sebuah ide dalam karya sastra sering dihadirkan dalam gambar-gambar inderaan, atau gambar-gambaran angan-angan; gambaran-gambaran ini disebut citraan. Melalui citraan kita dapat menangkap ide yang semula tidak bisa ditangkap oleh alat-alat keindraan, misalnya tentang kedekatan Tuhan dengan makhlukn-Nya, cinta kasih Tuhan kepada makhluk-Nya, cinta kasih makhluk kepada Tuhannya.

Karya sastra juga padat menggunakan simbol. Simbol adalah semacam pola arti yang tidak langsung menunjukkan sesuatu; kitalah yang menghubungkan simbol-simbol itu dengan apa yang dimaksudkan. Melalui simbol, kita dapat mearik hubungan asosiasi dari simbol itu dengan yang disimbolkan.

Karya sastra merupakan suatu manifestasi kebudayaan, yang dengan sendirinya di hasilkan melalui kompleks kebudayaan tertentu (Junus 1981:160).

Schilmmel menyebutkan, bahwa puisi, sebagai salah satu bentuk karya sastra, memang menyediakan kemungkinan yang hampir tanpa batas untuk menciptkan hubungan-hubungan baru antara citraan dunia fana dan dunia baka.

Citraan, sebagaimana dikatakan oleh Clayes (1975:21) adalah gambaran yang tertangkap di dalam pemikiran tentang hal-hal atau benda-benda yang dapat dirasakan oleh salah satu atau beberapa indera sekaligus. Sedangkan simbol adalah suatu pola arti, sehingga antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan terjadi suatu hubungan asosiasi. Simbol sendiri tidak langsung menunjukkan sesuatu. Kitalah yang menghubungkan simbol-simbol itu dengan apa yang disimbolkan (Luxemburg 1984:1990).

Grebstein berkesimpulan, bagaimana pun karya sastra bukanlah suatu gelaja yang tersendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apapbila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri (Damono 1984:4).



Penulis: Gus Hamka

No comments: