9/22/2010

SEORANG PROFESI HUKUM MELANGGAR ETIKA PROFESI HUKUM


PENDAHULUAN



Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR, etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Menurut Drs. H. Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
Hubungan etika dengan profesi hukum,bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahliaan sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama.
Seorang jaksa misalnya merupakan profesi yang bergerak di bidang hukum yang seharusnya dan sepatutnya memberikan sikap profesional dalam bidang hukum terhadap masyarakat. Sebagai bagian dari pengegak hukum, mereka harus menunjukkan etika yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat, bagaimana hukum itu harus ditegakkan. Bukan malah berbuat pelanggaran hukum yang dapat menjadi hal yang unik di masyarakat, seperti misalnya salah satu jaksa di negeri kita.

Sekarang ini, banyak jaksa yang masih jauh dari harapan yang didambakan masyarakat. Bagaimana membangun kepercayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum? Para jaksa sebagai penegak hukum harus konsisten menegakan hukum dengan menerapkan hukum dengan baik. Sebagai penegak hukum harus memberi contoh menegakkan hukum yang baik, bukan sebaliknya, memberi contoh menegakkan hukum tapi melanggar hukum. Ini sangat fatal. Hal itu juga menyebabkan masyarakat bertanya terhadap penegakkan hukum. Dalam kesempatan ini adalah saya memcoba memberi suatu analisis atas Jaksa kita, JAKSA URIP TRI GUNAWAN
Seorang yang dikategorikan sebagai jaksa terbaik sehingga dipercaya menjadi Ketua Tim Penyelidikan Kasus BLBI-BDNI, Urip Tri Gunawan, tertangkap tangan menerima uang yang diduga suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 02 Maret 2008. Tak tanggung-tanggung, ia menerima suap sebanyak US$ 660.000 atau sekitar Rp 6,1 milyar dari Artalyta Suryani, teman baik Sjamsul Nursalim, pengusaha yang terkait kasus BLBI.
Jaksa itu, oleh KPK, telah dijadikan tersangka penerima suap, kendati ia membantah dan mengakuinya;”sebagai transaksi jual-beli permata, tidak ada kaitannya dengan tugas, sebab kunjungan itu terjadi pada hari minggu dan kasus BLBI telah selesai.”, Namun KPK berkeyakinan telah punya bukti kuat bahwa hal itu adalah suap.





















POKOK BAHASAN



Pembahasan masalah yang penulis analisis adalah penyalahgunaan kode etik jaksa dalam menjalankan fungsi jabatannya serta alur dari penyalahgunaan tersebut.

Semoga pembahasan materi ini dapat lebih membuka wawasan kita tentang etika profesi  di Indonesia. Amien.




































URAIAN PEMBAHASAN




Penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, telah membuka borok besar di tubuh Kejaksaan Agung, khususnya Korps Adhyaksa. Ditangkapnya jaksa ketua penyidikan kasus BLBI untuk BDNI Urip Tri Gunawan memunculkan desakan agar KPK mengambil alih penanganan kasus BLBI. KPK dinilai relatif lebih independen dan mendapat kepercayaan publik.Masyarkat Indonesia yang menaruh kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum di negeri ini ternyata hanya diatas kertas saja,lembaga tersebut nyata dalam prakteknya melakukan pelanggaran hukum.
Terungkapnya perbuatan nakal Jaksa Urip Tri Gunawan jangan disia-siakan begitu saja. Kasus ini harus kita manfaatkan sebagai penilain atau pandangan kita tehadap etika dan moral aparat penegak hukum kita. Kita harus melihat apakah perilaku aparat kita sesuai dengan etika penegak hukum yang kita harapkan?
Penegakan hukum, khususnya untuk kasus BLBI merupakan ujian bagi para penegak hukum, karena kasus BLBI mempunyai dimensi yang luas. Namun demikian, penegakan hukum harus mendasarkan pada supremasi hukum yang terukur dalam arti penegakan hukum tetap memperhatikan pada sistem, jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tidak bisa menangani kasus yang muncul sebelum adanya KPK. Kasus BLBI muncul sebelum adanya KPK. KPK baru terbentuk pada akhir 2003, sedangkan kasus BLBI muncul sekitar tahun 1997.
Kasus tertangkapnya jaksa penyelidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan atas dugaan penerimaan uang senilai 660 ribu dolar AS, diharapkan menjadi “shock teraphy” (terapi kejut) bagi para jaksa sehingga mereka takut menerima suap.
Atasan Urip (Hendarman Supanji) menjamin apa yang dilakukan Kejaksaan Agung tidak akan berbenturan dengan proses penyidikan KPK. Proses penelitian yang dilakukan institusinya berada dalam koridor etika, sementara penyidikan KPK lebih terkait konteks pidana. Kasus yang melibatkan Jaksa Urip dan Artalyta Suryani (pengusaha yang dekat dengan Sjamsul Nursalim) tidak terkait dengan kasus BLBI. Hendarman beberapa kali menegaskan, bahwa pelanggaran etika yang dilakukan Urip tidak ada kaitannya dengan keputusan penghentian penyelidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Justru hasil keputusan itulah yang menurut Hendarman telah dimanfaatkan Urip untuk mencari keuntungan.
Kasus suap jaksa enam milyar ini,sontak menjadi berita utama berbagai media di Indonesia, baik media cetak, elektronik dan online. Semua koran harian nasional dan daerah, juga majalah berita, menempatkan berita suap jaksa ini menjadi berita utama hampir selama dua pekan. Publik pun tersentak, kaget dan tercengang! Walaupun selama ini kasus suap seperti itu sudah menjadi rahasia umum sebagai bagian dari isu mafia peradilan. Lalu, mengapa publik masih kaget?
Jika kita sering menonton film-film mafia, maka tergambarkan bagaimana seorang penjahat berkelas yang memiliki jaringan luas bisa melakukan pengaturan apa saja sesuai keinginannya. Jika penjahat itu menginginkan seorang mati, maka ia hanya akan mengerdipkan mata kepada pembantu-pembantunya. Isyarat itu sudah cukup untuk membuat nyawa musuh melayang tanpa jejak. Jika ada mitra kerjanya, atau dirinya sendiri yang terjerat hukum, ia dengan mudah pula akan mengontak jaringannya yang ada di kejaksaan dan pengadilan untuk mengatur proses hukumnya. Pengaturan strategi tentu saja menyangkut pasal-pasal dakwaan, penghilangan barang bukti, dan sebagainya.
Manakala ada saksi yang memberatkan, maka dengan mudah dilacak tempat tinggalnya dan dengan mudah pula diakhiri nyawanya. Itu dalam skenario rekaan para sutradara. Tetapi, setelah mendengarkan rekaman perbincangan antara Artalita dengan Jamdatun, rasanya skenario dalam film itu tak jauh beda dengan yang terjadi dalam dunia nyata hukum di sini. Prosesnya begitu halus, jarang muncul ke permukaan, dan seolah memang seharusnya begitulah penghentian kasus BLBI yang melibatkan Syamsul Nursalim. Lebih mengherankan lagi, kok ya masih ada yang nekat mau mengatur strategi pembebasan Artalita pasca penangkatan Jaksa urip. Sebuah pertaruhan besar bukan saja menyangkut karier profesional seorang Jaksa Agung Muda, tetapi betapa rendahnya seorang Jaksa dalam mengapresiasi lembaga penegak hukum di mana dia bernaung.
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan sangatlah gamblang, dan bisalah dijadikan informasi kelas satu bagi Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk melakukan tindakan lebih jauh yang bersifat pembenahan internal. Benar kata Teten Masduki, mau bukti apa lagi ! Atau jangan-jangan ada pertimbangan lain bahwa jika benar-benar dilakukan pembenahan, maka semua akan terkena karena susah sekali ternyata ditemukan yang benar-benar bersih. Semogalah tidak demikian. Kita yakin, Hendarman barangkali masih membutuhkan bukti yang lebih akurat sebelum bertindak lebih jauh lagi. Siapa tahu, jika semua bukti sudah akurat barulah tindakan akan dilakukan.

Peristiwa ”penerimaan suap” perkara seperti itu sungguh-sungguh melukai hati masyarakat. Jika selama ini masyarakat terasa kurang percaya dengan lembaga-lembaga penegak hukum, kasus itu menambah parah keadaan. Dan, kita juga sangat yakin walau di Jakarta ada kasus besar seperti itu, di daerah tidak menyurutkan nyali para penegak hukum untuk bermain api. Kapan hal seperti ini akan berakhir ? Yang bisa kita lakukan hanya imbauan tak kenal lelah yakni segeralah hentikan semua praktik perdagangan busuk seperti itu. Kembali ke jalan yang seharusnya seperti ketika janji awal sudah diucapkan dulu (etika yang harus akan dapat ditunjuk kan sebagai perbuatan menegakkan hukum). Betapa negeri ini sangat membutuhkan polisi, jaksa, hakim,dan advokat yang bersih agar hukum senantiasa terjaga untuk mengayomi dan melindungi orang-orang yang membutuhkan keadilan.

































PENUTUP



Bagi kita sebenarnya sudah jelas Profesi demikian tidak lagi didasarkan pada moral, keadilan, budi baik, dan kemanfaatan, bukan berdasar pada profesi menegakkan hukum. Profesi demikian (profesi Urip Tri Gunawan), malah sudah melangar hukum. ”Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halanginya atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian”. (PASAL 221 AYAT 2 KUHP)
Jaksa merupakan profesi yang terhormat (yang merupakan profesi Urip Tri Gunawan), oleh karenanya seorang jaksa yang terhormat semestinya sudah teruji moralitasnya. Hal itu tercermin dalam perilaku dan kehidupannya, kemudian dalam dia bertindak dalam profesinya. Dan yang terpenting dia bisa berbuat terbaik bagi bangsanya.
Jaksa bukan sebagai pelengkap dalam proses penegakan hukum. Dia harus bertanggung jawab sebagai organ yang harus menegakkan hukum dan bagaimana supremasi hukum berjalan dengan baik.
Publik (masyarakat) sudah sangat ingin optimis dan berharap atas janji/sumpah ketka di angkat menjadi jaksa/penegak hukum, akan menegakkan keadilan termasuk memberantas korupsi  Yang pasti sudah merupakan yang harus di dukung oleh kepercayan masyrakat dengan melihat etika yang di tunjukkan aparat penegak hukum di negeri ini.
Jadi, wajar dan pantas Seorang Jaksa Urip Tri gunawan di berhentikan dan di hukum sebagai pelanggar etika penegak hukum, sesuai dengan ketentuan hukum, ”Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya”. (PASAL 13 AYAT 1 HURUF B UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA). kendati pun perbuatannya hanya sekali/bukan terus menerus. Tapi mungkin yang karena yang kita tahu hanya sekali, di lain waktu sebelumnya yang tidak kita ketahui, mungkin juga telah berbuat demikian.Urip Tri Sebagai jaksa di mata masyarakat etikanya tidak lagi sebagai penegak hukum..





DAFTAR PUSTAKA



1.      WWW. GOOGLE.COM.

No comments: