9/19/2010

Tugas Extradisi

Pendahuluan
Belakangan ini sering kita dengar istilah ekstradisi. Tidak lain dan tak bukan kata tersebut mengacu pada perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan Singapura. Dalam sejarahnya, perjanjian ini sudah dirintis sejak tahun 1972. Pemerintah Indonesia sangat memerlukan realisasi dari perjanjian ini. Sebab disinyalir banyak koruptor dari Indonesia yang bermukim dengan tentram dan sejahtera di negeri Singa itu. Tapi mengapa penandatanganan perjanjian ini baru terwujud pada tanggal 27 April 2007 lalu? Hal ini dikarenakan hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura yang pasang surut. Pernah pada tahun 2003, Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura. Pada saat itu hubungan mulai mendingin. Tapi dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hubungan itu mulai normal kembali. Perjanjian ekstradisi bisa ditandatangani walaupun dengan kompensasi yang tidak kecil. Selain perjanjian ekstradisi, kedua negara juga menandatangani Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang dinamakan Defence Cooperation Agreement (DCA) yang kemudian menjadi pro kontra publik di Indonesia.
Isi
Sebelum kita membahas dampak positif dan negatif dari perjanjian ekstradisi ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui definisi dari ekstradisi itu sendiri. Menurut pasal 1 UU 1/1979, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut.
Dari definisi di atas, kita bisa mengetahui bahwa tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk meminta buronan dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Hal ini sangat penting karena Singapura adalah negara yang letaknya sangat dekat dengan Indonesia. Sehingga merupakan tempat yang sangat cocok untuk pelarian orang-orang bermasalah termasuk koruptor dari Indonesia. Tapi apa yang terjadi? Perjanjian ekstradisi baru ditandatangani pada tahun 2007 ini padahal sudah digagas sejak tahun 1972.
Jika dilihat dari maksud perjanjian tersebut, memang kedengaran sangat baik bagi Indonesia. Singapura kini tidak lagi menjadi surga bagi para koruptor. Tapi perjanjian ini bisa menjadi sia-sia karena baru dilakukan sekarang. Karena yang kita tahu, setiap perjanjian bilateral harus mendapat ratifikasi dari lembaga legislatif. Sedangkan hal tersebut membutuhkan proses yang cukup lama. Belum lagi pro dan kontra publik dalam isi perjanjian yang dinilai tidak transparan. Sehingga, para koruptor bisa bersiap angkat kaki dari Singapura untuk mengamankan aset-aset mereka. Tapi paling tidak, koruptor-koruptor berikutnya tidak bisa menjadikan Singapura sebagai tempat yang aman lagi.
Sebenarnya, apa yang membuat publik kontra terhadap perjanjian yang sangat bagus itu? Jawabannya ada pada perjanjian lain yang mengiringinya. Defence Cooperation Agreement (DCA), dinilai telah sangat merugikan pihak Indonesia. Dalam perjanjian itu, tiap negara boleh memanfaatkan fasilitas dan wilayah bersama untuk latihan militer. Keuntungan yang diperoleh Indonesia yaitu bisa meminjam peralatan perang Singapura yang sudah 30 tahun lebih canggih dari Indonesia. Sehingga tentara Indonesia bisa mendapatkan teknologi yang canggih. Tapi yang merugikan, untuk wilayah pasti yang digunakan adalah kawasan Indonesia. Sebab mana mungkin menggunakan wilayah Singapura yang hanya seperseratus dari Indonesia itu? Hal ini berarti tentara Singapura dengan bebas memakai suatu lokasi di Indonesia untuk latihan militer. Bahkan mereka boleh mengajak pihak ketiga walaupun atas seizin Indonesia. Ini berarti kedaulatan Indonesia sudah terganggu karena ada militer negara lain di wilayah Indonesia sendiri. Sistem pertahanan Indonesia bisa diketahui sehingga tidak ada lagi wilayah yang tertutup untuk kekuatan asing.
Lalu kerugian lainnya adalah pengizinan kembali ekspor pasir dan granit ke Singapura. Reklamasi perluasan wilayah Singapura sudah pasti akan mengambil wilayah laut dari Indonesia, bukannya ke arah Malaysia. Karena mereka menganggap Indonesia adalah negara yang lemah, tidak tegas, dan berwibawa. Kelemahan diplomasi Indonesia di mata internasional sudah terbukti saat kehilangan plau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia. Kemudian yang benar-benar nyata di mata Singapura yaitu bersedianya Indonesia menandatangani perjanjian pertahanan tersebut yang jelas merugikan pihak Indonesia.
Penutup
Perjanjian ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Singapura memang menguntungkan bagi pemberantasan korupsi. Aparat hukum yang berwenang di Indonesia bisa leluasa menciduk koruptor-koruptor warga negara Indonesia yang menetap di Singapura. Tapi terdapat pula efek negatif dari ikut ditandatanganinya perjanjian kerjasama pertahanan antara dua negara. Kedaulatan Indonesia terancam karenanya. Hal yang kita butuhkan saat ini adalah sosok pemimpin yang tegas, berwibawa, dan bisa cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. iSehingga negara kita yang besar ini tidak terus diremehkan bahkan oleh negara pulau seperti Singapura.


Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura


Setelah tiga puluh tahun lebih dibahas dengan sangat alot, akhirnya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura ditandatangani pada Jumat ini, 27 April 2007 di Istana Tampak Siring, Bali. Atas perjanjian itu, Transparency International (TI) Indonesia mendukung kesepakatan yang telah dicapai kedua pemerintah itu untuk mengembalikan ke negaranya masing-masing pelaku tindak pidana, khususnya koruptor, yang kabur ke negara tersebut.

Dengan perjanjian tersebut, minimal ada komitmen dari pemerintah Singapura untuk memberi kesempatan kepada penegak hukum kita dalam memproses sejumlah pengusaha nasional yang menjarah uang negara dan menyimpan harta haramnya di negara itu. Sebelumnya banyaknya tersangka dan terpidana korupsi yang melarikan diri ke Singapura telah mempersulit proses hukum karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Perjanjian ini juga bisa memaksimalkan kesepakatan Mutual Legal Assistance (MLA) sebelumnya.

Masalahnya, sampai ditandatanganinya perjanjian ekstradiksi tersebut, pemerintah tidak secara terbuka mengumumkan kepada publik tentang pasal-pasal yang diatur dalam perjanjian itu. Nota perjanjian tersebut hanya diserahkan kepada DPR. Menlu Hassan Wirajuda hanya menyebutkan perjanjian itu meliputi 42 tindak pidana, dimana kedua negara akan bekerja sama memulangkan pelaku tindak pidana ke negaranya. Plt. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hedarman Supandji hanya memastikan jenis kejahatan tindak pidana sesuai perjanjian ini yakni korupsi, narkotik, perdagangan wanita, terorisme dll.

Tidak adanya sosialisasi terhadap isi perjanjian ekstradisi tersebut menunjukan ketiadaan transparansi dan partisipasi dalam perumusan perjanjian itu. Memang dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak diatur secara tegas mekanisme itu. Tugas DPR hanya membahas isi perjanjian dan meratifikasinya sebelum berlaku efektif. Dan, jika pasal-pasal itu ternyata merugikan, bisa saja perjanjian itu dibatalkan. Kalau sejak awal pemerintah transparan dan membuka ruang partisipasi tentu akan lebih baik sehingga DPR dan masyarakat kita bisa memberikan masukannnya. Karena perjanjian itu tak hanya menyangkut nasib pejabat negara tapi juga semua warga negara Indonesia

Keseriusan Singapura untuk melaksanakan perjanjian ekstradisi juga patut dipertanyakan mengingat negara itu hingga kini sangat berkepentingan untuk melindungi para koruptor asal Indonesia, karena investasi mereka cukup besar. Belum lama ini Kejagung merilis 12 koruptor yang lari ke Singapura. Versi ICW menyebut 17 orang. Tapi jumlahnya bisa lebih besar karena saat ini ada 40 koruptor yang buron. Menurut Yunus Hussein, Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan), Kedutaan RI di Singapore sudah memastikan di negara itu ada sekitar 200 WNI yang berhutang kepada negara sejak 1998.

Memang ada perbedaan angka mengenai jumlah investasi pengusaha ”hitam” yang menetap di negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang bagus yakni mencapai 9,4 ini. Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew menegaskan bahwa sektor finansial negaranya tidak dibangun dengan uang dari Indonesia. Menurutnya, Singapura menghandle dana sekitar $720 milliar yang berasal dari sejumlah penguasa dari berbagai negara seperti India, Timur Tengah, Cina dan Eropa. Dan, uang dari Indonesia hanya sekitar 2 atau 3 persen.

Sebaliknya Merill Lynch dan Cap Gemini dalam Asia Pacific Wealth Report tahun 2006 menyebutkan dari 55.000 “super kaya” (asset lebih dari $1 juta) di negara itu, 18.000 orang dari pengusaha Indonesia yang menetap di Singapura. Total uang mereka sekitar US$ 87 miliar (kira-kira Rp 850 triliun). Sebagai perbandingan di Indonesia, hanya ada sekitar 17.000 “super kaya”. Semestinya total uang orang Indonesia yang dikelola oleh institusi finansial Singapura berjumlah sekitar 12% berdasarkan versi laporan ini. Atau sekitar Rp 150 triliun lebih besar dari anggaran negara kita yang jumlahnya Rp 650 triliun.

Selain itu muncul spekulasi atas ditandatanganinya perjanjian ekstradisi tersebut. Salah satunya terkait dengan ekspor pasir. Seperti diketahui sejak 2003 yang dipertegas awal Januari tahun ini, ekspor pasir Indonesia ke Singapura dihentikan. Negara itu sempat menuding Indonesia memanfaatkan isu pasir untuk menekan supaya perjanjian ekstradisi disepakati. Sangat mungkin Singapura melunak setelah ada ”lampu hijau” bisa kembali mengambil pasir dari negara kita. Bisa juga dikaitkan dengan perpanjangan kembali kerjasama militer antara Indonesia-Singapura yang telah disepakati bersamaan dengan perjanjian ekstradisi itu.

Terlepas dari spekulasi tersebut, Transparency International (TI) Indonesia mendukung ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara RI dan Singapura. Bagi kami, perjanjian ini bisa menjadi pijakan hukum untuk menyelamatkan aset negara yang cukup besar yang saat ini dilarikan dan diparkir di Singapura, serta menyeret para pelakunya ke pengadilan Indonesia. Karena itu, harus ada kepastian dari parlemen Singapura dan DPR RI untuk segera meratifikasinya. Kami berharap perjanjian tersebut berlaku surut (retroaktif) selama 15 tahun sehingga bisa menjangkau pelaku korupsi dana BLBI pada masa Orde Baru.

Pemerintah Indonesia juga harus membangun kapasitasnya untuk melawan dan mencegah korupsi, serta memperkuat penegakan hukum. Dalam hal ini kesiapan mental dan professionalitas aparat penegak hukum, terutama untuk mencekal para koruptor ke luar negeri. Selama ini diduga para koruptor itu bisa kabur karena bekerja sama dengan aparat hukum yang gampang disuap, dari mulai sipir penjara, aparat kejaksaan, kepolisian, hakim, petugas imigrasi dll. Karena itu, perlu memperkuat mekanisme pengawasan terhadap para tersangka, terdakwa dan terpidana. Termasuk juga para saksi yang potensial dijadikan tersangka.

Selain itu, harus ada penjelasan lebih detail tentang pengembalian aset dan hasil jarahan koruptor di Singapura. Sebab tidak tertutup kemungkinan harta tersebut telah berpindah tangan dan tidak lagi berada di sana. Karena itu perlu kembali menyamakan pandangan dalam masalah hukum ini. Jangan sampai kasus perjanjian serupa dengan Australia terulang, dimana gagal menyeret penjarah dana BLBI senilai Rp 1,95 triliun, Hendra Rahardja (BHS Bank) kembali ke Indonesia. Dan, pemerintah Singapura perlu segera mencekal koruptor Indonesia yang hendak meninggalkan negara itu mengingat mereka mungkin sedang bersiap diri meninggalkan negeri itu untuk menyelamatkan jarahannya.

Perjanjian ini juga harus diikuti dengan dibukanya akses informasi untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan aset para koruptor itu di Singapura, serta diijinkannya melakukan investigasi untuk mengungkap bukti-bukti kejahatan mereka. Hal itu sangat penting mengingat Singapura sudah menjadi pusat penyimpanan “hot money” bagi para pelaku kejahatan ekonomi. Tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari China dan Rusia. Apalagi ada prinsip “kerahasiaan bank” yang dijamin dalam industri keuangan di sana, seperti di Swiss.



Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura
May 2nd, 2007
Buletin AL-ISLAM Edisi 353

Lebih Menguntungkan Singapura

Setelah menunggu selama hampir tiga puluh tahun, Pemerintah Indonesia dan
Singapura akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi. Penandatanganan naskah
dokumen perjanjian ini dilakukan oleh Menlu RI, Nur Hassan Wirajuda, dan Menlu
Singapura, George Yeouh, di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali, Jumat (27/4).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan PM Singapura, Lee Hsien Loong,
hadir menyaksikan penandatanganan itu. Selain ekstradisi, juga ditandatangani
perjanjian kerjasama pertahanan (defence cooperation agreement, DCA) dan
kerangka pengaturan tentang daerah latihan militer bersama (military training
area, MTA). Dua perjanjian terakhir ditandatangani oleh Menteri Pertahanan dan
Panglima Angkatan Bersenjata kedua negara.


Pemerintah Indonesia berkesimpulan bahwa perjanjian-perjanjian yang telah
ditandatangi tersebut menguntungkan. Hal ini disandarkan pada isi perjanjian
yang mencakup 31 tindak kejahatan dan pidana dalam perjanjian ekstradisi. Di
antaranya tindak pidana ekonomi, penyuapan, dan tindak pidana korupsi lainnya;
seperti pemalsuan uang, kejahatan perbankan, pelanggaran hukum perusahaan dan
hukum kepailitan. Perjanjian itu berlaku surut 15 tahun setelah disahkan.
Dengan pijakan di atas, Pemerintah Indonesia berharap banyak bisa mengambil
aset Indonesia yang dibawa kabur oleh konglomerat hitam ke Singapura dengan
total lebih dari 1.300 triliun rupiah. Selain itu, Pemerintah juga berharap
agar bisa menyeret para pengemplang tersebut ke meja hijau untuk diadili secara
hukum dan atau menghukum yang sudah diadili secara in absentia.Namun, benarkah
perjanjian-perjanjian tersebut lebih menguntungkan Pemerintah Indonesia?
Mampukah Pemerintah Indonesia menyeret konglomerat hitam, menghukumnya serta
mengambil kembali aset rakyat? Apakah pemerintah Singapura yang justru
diuntungkan? Adakah tekanan dari Pemerintah Singapura terkait dengan perjanjian
ekstradisi ini?

Beda Persepsi Akan Lain Hasilnya

Dengan perjanjian ekstradisi tersebut Pemerintah Indonesia akan segera mengejar
dan menangkap para koruptor yang membawa kabur aset negara ke Singapura. Upaya
Pemerintah Indonesia untuk menangkap para koruptor kelihatannya tidak bisa
berjalan dengan mudah. Sebab, Pemerintah Indonesia dan Singapura berbeda dalam
mendefinisikan tentang apa itu korupsi. Padahal di sinilah letak
permasalahannya. Pemerintah Singapura mendefinisikan korupsi sebagai suap,
sementara Indonesia mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum yang
merugikan keuangan negara dan memperkaya seseorang atau institusi.

Wakil Jaksa Agung, Muchtar Arifin, tatkala ditanya wartawan terkait dengan
perbedaan pandangan ini, mengatakan dengan nada diplomatis bahwa hal itu ada
dalam pembahasan selama ini. “Kita tunggu setelah penandatanganan perjanjian,”
imbuhnya. (Republika.co.id, 27/4/2007).

Kendala lain adalah tidak adanya jaminan dari pemerintah Singapura akan tetap
menahan para tersangka korupsi untuk tetap bertahan dan berada di Singapura
hingga mereka tertangkap. Dengan tidak adanya jaminan ini tentu pemerintah
Indonesia akan kembali kesulitan menangkap mereka. Apalagi saat ini
diduga—sebelum penandatanganan perjanjian ekstradisi—para konglomerat hitam
telah kabur keluar dari Singapura. Pemerintah Singapura juga tak bisa mencegah
pelarian aset atau pelaku korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya asal Indonesia
keluar Singapura. Kalau masih ada yang menetap di Singapura, proses ekstradisi
mereka juga sangat bergantung pada sistem yang ada di Singapura. Perbedaan ini
tentu akan menjadi kendala tersendiri. Bisa jadi apa yang diharapkan oleh
Pemerintah Indonesia tidak pernah terlaksana karena perbedaan persepsi ini.

Kendala lain, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tidak akan
menjamin pengembalian atau pemulihan (recovery) aset Indonesia jika Singapura
belum menandatangani Konvensi PBB tahun 2003 tentang Antikorupsi. Hal ini
ditegaskan oleh Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang
Widoyoko. “Ektradisi tidak cukup jika tidak disertai ratifikasi konvensi PBB,”
katanya. Dalam konvensi PBB tersebut, khususnya yang mengatur tentang pemulihan
aset, dinyatakan bahwa suatu negara yang telah berkomitmen dengan
menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pengembalian
aset. Dalam hal ini, kata Danang, Singapura bisa saja berkelit untuk tidak
mengembalikan aset Indonesia yang berada di negara tersebut karena Singapura
belum menandatangani Konvensi PBB.

Lebih Menguntungkan Singapura

Jika diteliti, dengan perjanjian ini, sebenarnya yang lebih diuntungkan adalah
pemerintah Singapura daripada Indonesia. Pertama: di sisi pertahanan. Melalui
paket perjanjian (defence cooperation agreement, DCA dan military training
area, MTA) Singapura mendapatkan keuntungan berupa fasilitas latihan militer
yang menjadi solusi atas minimnya lahan Singapura yang bahkan tak mampu
menampung pesawat tempur mereka. Kita tahu, Singapura adalah negara kecil
dengan kemampuan tempur yang besar. Ketersediaan lahan untuk parkir seluruh
armada dan perlengakapan tempurnya serta lahan untuk latihan militer adalah hal
yang mutlak diperlukan. Jika Pemerintah Indonesia menyediakan lahan untuk itu
semua, berarti Indonesia dengan sengaja ikut menyokong kekuatan militer
Singapura.

Kondisi ini tentu tidak boleh terjadi. Sebab, kita tahu bahwa Singapura adalah
sekutu dekat AS. Jika militer Singapura kuat, akan kuat pula negara itu sebagai
kepanjangan tangan AS. Dengan kata lain, semakin kuatnya Singapura akan semakin
memperkuat hegemoni AS di sekitar Indonesia. Tidakkah kita ingat bagaimana
pemerintah Singapura senantiasa ’mengobok-obok’ Indonesia dengan isu-isu
terorisme yang menyesatkan? Selain itu, Singapura mendapat keuntungan dalam
penanganan aksi terorisme. Dengan perjanjian ini pemerintah Singapura mendapat
akses lebih luas lagi; bisa mengintervensi lebih jauh penanganan terorisme ala
AS. Di sisi lain, pemerintah Singapura dapat meminta latihan bersama dengan
pihak ketiga dalam penggunaan wilayah latihan itu. Kita tahu, Singapura adalah
sekutu AS dan sudah sejak lama melibatkan militer AS dalam latihan-latihan
tempurnya. Dengan fasilitas ini, tentu pihak ketiga (AS) akan mendapat jalan
dengan mudah masuk ke Indonesia tanpa ada perlawanan, karena telah dilindungi
secara hukum oleh perjanjian tersebut. Walau harus terlebih dulu mendapat
persetujuan dari Indonesia, masalahnya adalah, apakah pemerintah Indonesia bisa
menolak keinginan AS? Bukankah selama ini pemerintah Indonesia sudah tunduk
kepada AS?

Kedua: di sisi ekonomi. Dengan perjanjian yang ada, dikesankan Singapura akan
mengalami kerugian ekonomi yang luar biasa. Dikatakan, dana para koruptor yang
tercatat berjumlah 1.300 triliun—belum yang tidak tercatat—dan diparkirkan di
lembaga keuangan Singapura akan hilang dan ’mengejutkan’ perekonomian
Singapura. Pandangan ini dibantah oleh Menteri Penasehat Singapura, Lee Kuan
Yew. Keuangan Singapura tidak terbangun dari uang yang berasal dari Indonesia,
dan mereka tidak perlu menyimpan uangnya di sini, meskipun beberapa dari mereka
melakukan itu, tegas Lee. Ia mengatakan dana yang terkumpul dalam industri
perbankan Singapura berasal dari beberapa negara, termasuk Cina, India, Eropa
dan Timur Tengah. “Dana yang berasal dari Indonesia tak melebihi 2-3 persen
dari keseluruhan uang industri perbankan,” katanya. (Republika.co.id.,
25/4/2007).

Alasan utama Singapura menandatangani paket perjanjian ini adalah ingin
mengeruk kekayaan dan potensi ekonomi Indonesia khususnya di Pulau Batam,
Bintan, dan Karimun. Sebab, tepat sebelum penandatanganan ekstradiksi, DCA, dan
MTA, Singapura telah terlebih dulu menandatangani perjanjian kawasan berikat
(special economic zone) Batam, Bintan, dan Karimun. Perjanjian itu akan
memberikan ruang bagi Singapura membangun daerah industri di wilayah Indonesia,
sementara Indonesia hanya mendapatkan pajak dan mengurangnya pengangguran.
Inilah sebenarnya tujuan utama Singapura.

Wahai Kaum Muslim:

Janganlah kita terperdaya oleh tipuan musuh-musuh Allah. Mereka dengan sekuat
tenaga dan licik terus-menerus melakuan makar terhadap umat Islam agar umat ini
semakin terperosok dan semakin tak berdaya. Mereka akan terus berkonspirasi
dengan terus membuat perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya dijadikan
legalitas untuk semakin menekan dan memperdaya kita. Sadarkah kita? Sungguh,
Allah SWT telah mengingatkan kita semua akan hal ini. Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ
اللهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ
وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu membelanjakan harta mereka untuk
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Mereka akan membelanjakan harta itu,
kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. (QS al-Anfal
[8]: 36).

Ya Allah, saksikanlah. Kami telah menyampaikan peringatan ini. Wallâhu a‘lam bi
ash-shawâb. []

Komentar Al-Islam:

Kendati Popularitas Menurun, Peneliti Australia Yakin SBY-JK Kembali Menang
pada Pemilu 2009 (Republika.co.id., 1/5/2007).

Siapapun pemenang Pemilu, selama tidak mengatur negeri ini dengan syariah
Islam, pasti akan gagal dan jauh dari rahmat Allah.

No comments: