12/07/2010

Logika (6), Model Dialektika Hegelian

Mohon maaf kepada para pembaca blog Belajar Filsafat ini. Saya belum sempat membuat posting yang baru karena kesibukan di kampus. Namun, kali ini saya memaksakan diri untuk menulis kembali buat blog ini. Selamat membaca! ^_^

Bahasan kita kali ini adalah satu model dialektika yang diperkenalkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831). Beliau ini adalah salah satu filsuf Jerman yang paling masyhur dan menjadi banyak rujukan dari pemikiran Idealisme pada masa sekarang ini. Idealisme yang dimaksud adalah salah satu jenis pemikiran yang mengutamakan ide atau gagasan sebagai sumber kebenaran. Biasanya, Idealisme dilawankan dengan Empirisisme atau jenis pemikiran yang mengutamakan pengalaman atas kenyataan sebagai sumber kebenarannya.

Nah, kembali pada model dialektika Hegel, model dialektikanya merupakan salah satu yang tersulit dipahami dalam sejarah filsafat modern. Ini dikarenakan Hegel berbicara dalam tingkatan yang sangat teoretis dan tidak membicarakan hal-hal yang bersifat praktis. Apalagi, filsafat Hegel memiliki dasar pemikiran pada sesuatu yang sangat abstrak, yaitu filsafat "roh". Walaupun demikian, kita tidak perlu panjang lebar membicarakan dasar filsafatnya ini. Sebab, ini belum waktunya kita masuk dalam pembahasan filsafat yang rumit tersebut. (Iya, ni kan belajar filsafatnya harus yang gampang-gampang dulu. ;-) )

Model dialektika Hegel ini adalah yang lazim dikenal sebagai:

tesis - antitesis - sintesis

Tesis secara sederhana dipahami sebagai "suatu pernyataan atau pendapat yang diungkapkan untuk sesuatu keadaan tertentu".
Misalnya: "Tanah ini basah karena hujan".
Antitesis adalah "pernyataan lain yang menyanggah pernyataan atau pendapat tersebut".
Misalnya: "Hari ini tidak hujan".
Sintesis adalah "rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan berlawanan tersebut sehingga muncul rumusan pernyataan atau pendapat yang baru".
Misalnya: "Oleh karena hari ini tidak hujan, tanah ini tidak basah karena hujan."

Model dialektika di atas ini mungkin penyederhanaan atas apa yang dibicarakan Hegel. Tapi, kira-kira seperti inilah pola dialektika secara umum. (Mudah-mudahan apa yang saya bicarakan dengan contoh di atas tidak terlalu jauh dari apa yang memang dimaksudkan sebagai model dialektika Hegel. Kalau salah, tolong dibenerin ya? :-) )

Model dialektika ini sebenarnya sudah banyak kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pikiran yang satu disanggah dengan pikiran yang laennya. Namun, rumusan ilmiah atas itu memang baru dibuat secara "hebat" dan mulai terkenal dalam pemikiran filsafat semenjak diperkenalkan Hegel untuk menopang pandangan filsafatnya.

Akan tetapi, membaca pikiran Hegel itu tidak mudah. Sebab, membaca Hegel, sama dengan membaca pikiran tiga orang filsuf sebelumnya, yaitu: Immanuel Kant (1724 - 1804), Johan Gottlieb Fichte (1762 - 1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775 - 1854). Pada dua orang terakhir ini, Hegel mengambil saripati pikiran yang dikembangkan sebagai model dialektika. Sebagai gambaran sederhana, saya akan ringkaskan sedikit pandangan bagaimana Hegel itu sendiri "berdialektika" dengan Ficthe dan Schelling di bawah ini.

Pendapat Fichte yang terutama terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Menurutnya, Aku ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan permenungan. Ini seibarat pendapat Rene Descartes (1596 - 1650) yang mengatakan bahwa: Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa keren latinnya, yaitu: Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain ini-lah, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Begitupun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.

Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) - Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis).

Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku. (Hik... hik... bingung. Ada penjelasan lain yang lebih sederhana ga? Tolong ...!!! :-( )

Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang lain atau alam (tesis) - Aku individu atau manusia (antitesis) - Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi:

Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis)

Inilah apa yang dimaksudkan sebagai Aku absolut menurut pandangan Hegel. Bingung kan? Silahkan baca selengkapnya dalam tulisan Hegel maupun tulisan tentang Hegel. Hehe... (Bandingkan pula dengan apa yang dijelaskan di awal tentang model dialektika oleh saya. ;-) )

Ini karena saya harus memegang janji saya untuk tidak panjang lebar menjelaskan pandangan filsafat Hegel mengenai roh. Tetapi, apa yang saya sampaikan sudah menjelaskan bahwa model logika yang dikembangkan Hegel memang paling rumit dalam sejarah filsafat. Sampai jumpa dalam postingan berikutnya. ^_^

Referensi:
F. Budi Hardiman, 2007, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, cet. II, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

5 komentar:

loodec mengatakan...
Blog yang sangat menarik, saya sebenanya sangat tertarik dengan filsafat namun karena keterbatasan resource maka tidak begitu bisa mendalami beruntung sekali bisa menemukan blog ini sehingga saya yg orang awam bisa mengetahui apa itu filsafat. Satu hal yang masih menjadi pertanyaan saya adalah ketika saya mencari2 buku tentang filsafat di toko buku ataupun perspustakaan yang saya temui adalah buku tentang pandangan2 filsafat orang2 seperti plato aristoteles dan lain2, lalu bagaimana dengan ahli2 filsafat Indonesia?Apakah mereka tidak mempunyai pandangan mengenai filsafat? Kalaupun ada buku yg ditulis oleh orang indonesia tapi selalu merujuk ke pandangan orang2 tadi. Kenapa kita masih merujuk pandangan2 orang2 dijaman dulu dan Indonesia menjadi pengikut pandangan2 itu. Tidak bisakah kita membuat teori ataupun pandangan2 kita sendiri? Kembali ke filsafat,sesungguhnya susah memang sebagai orang awam. mendengarnya saja orang mungkin sudah ngeri. Kalau saya meletakkan buku yg sampulnya ada kata filsaftnya mungkin teman2 atau keluarga saya sedikit terhenyak. Mungkin karena masyarakat kita menilai filsafat itu terlalu ruwet dan membutuhkan pemikian tingkat tinggi ataukah filsafat dianggap tidak ada elevansinya dengan kehidupan sehari2? padahal kalau disimak Semua ilmu berawal dari filsafat.Atau mungkin karena Ilmu2 yg berasal dari filsafat dan benar2 dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara langsung telah melepaskan diri dari filsafat itu sendiri, yang tersisa hanyalah pemikiran2 tingkat tinggi yg mungkin sulit untuk difahami. Menarik mengenai penyataan anda mengenau satu pernyataan dapat dibantah dengan pernyataan lain, membuat saya yakin bahwa di dunia ini semua benar dan semua salah tergantung siapa yang menilai. Sering kita mendengar debat di tv satu pernyataan dianggap benar dan ketika ada orang yg berpendapat berbeda maka seketika kita mulai berpikir balik. Lalu siapa sebenarnya pemilik kebenaran yang sempurna?Apakah tuhan? Ini adalah salah satu alasan saya kenapa tertarik dengan filsafat banyak pertanyaan yg belum bisa saya jawab dalam hidup ini. Kita hidup menjadi budak kata2,kita bisa tertawa,bersedih,cemburu karena kata2. Mungkin kita harus berfikir bagaimana caranya membuat filsafat lebih mudah dipahami sehingga filsafat tidak lagi menjadi momok yg menakutkan, setidaknya begitulah yg saya amati dalam masyarakat.Ataukah filsafat memang hanya dipelajari oleh mereka yg mengalami gangguan jiwa? Bagaimana filsafat dapat memecahkan permasalahan kehidupan sehari2. Terus terang ketika saya membaca buku2 filsafat sedikit sekali kata2 yg bisa saya pahami. Apakah mereka yg menulis buku itu mengerti akan apa yg mereka tulis? ataukah itu sebuah kesengajaan agar dianggap wah,tidak bisakah mereka menemukan kata2 yg lebih mudah untuk dipahami? Seiring berjalannya waktu filsafat mungkin akan dilupakan karena semakin kurus. Ini terbukti ilmu filsafat jarang dilirik orang untuk dipelajari jauh berbeda dengan ilmu marketing atau yg lainnya.

No comments: