8/01/2010

Catatan tentang epistimologi

Bagian A. Pengantar
Filsafat membincangkan masalah kebenaran. Yang dimaksud dengan pengetahuan yang benar dan hasrat untuk menuju kebenaran menyangkut bermacam-macam konteks kebudayaan. Menuju pengetahuan yang benar untuk filsafat timur haruslah yang membawa keselamatan. Pandangan Timur ini senada dengan perkataan Yesus, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32). Filsafat Timur lebih bersifat soteriologis (=keselamatan). Pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang menyelamatkan. Filsafat Timur merupakan upaya untuk mencapai keselamatan dengan melepaskan diri dari ikatan dunia ini. Sedangkan dalam filsafat Barat, pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan. Meskipun demikian pertanyaan lanjutan juga muncul: mungkinkah persesuaian itu selalu diketahui? Apa yang menjamin persesuaian itu? Persesuaian dengan kenyataan manakah yang dimaksud?
Dasar bagi pengetahuan yang benar menurut Plato terletak pada dunia ide. Tidak mungkin ada pengetahuan yang benar dengan sifat-sifat universal dan mutlak yang berasal dari kenyataan inderawi. Menurut Plato, kenyataan yang diketahui oleh indera bersifat “semu”. Kenyataan yang menjamin kebenaran ialah “dunia atas” (dunia ide). Aristoteles menolak pandangan Plato. Ia mengatakan bahwa dasar pengetahuan yang benar terletak pada kenyataan yang diketahui melalui indera. Pandangan Plato melahirkan aliran yang dikenal sebagai “idealisme”: dunia ide adalah dasar pengetahuan yang benar. Pandangan Aristoteles meletakkan dasar bagi aliran realisme. Dasar pengetahuan yang benar terletak pada kenyataan yang diketahui melalui indera.
Pandangan Plato dikenal dengan sebutan “dualisme” yang pelbagai variannya diteruskan oleh Agustinus, Ibnu Sina, Descartes, dan Kant (sebagai puncaknya). Sedangkan menurut Aristoteles kenyataan itu hanya satu, yaitu kenyataan yang diketahui melalui indera. Pengetahuan bersifat benar kalau terbuka bagi verifikasi empiris (observasi dan eksperimen). Ini yang kemudian kita kenal dengan pandangan materialisme, empirisme, positivisme, neopositivisme. Pada masa sekarang keyakinan ini disebut saintisme. Dalam pandangan saintisme, tidak ada kenyataan lain selain dari kenyataan yang dapat dibenarkan oleh metode sains. Kenyataan, dalam pandangan mereka, bersifat one-dimensional, yaitu: empiris. Itulah ilustrasi singkat pergolakan pemikiran dalam dunia filsafat.

Bagian B. Sejarah Epistemologi “Barat”
Sejarah perkembangan epistemologi “Barat” dimulai sejak zaman awal (zaman abad Yunani Kuno) sampai abad Kontemporer dewasa ini. Analisis historis sejarah epistemologi Barat ini secara lebih luas dan terperinci karena dua pertimbangan pokok. Pertama, karena de facto epistemologi dan kebudayaan Barat lahir dan mangalami perkembangan yang jelas dan sistematis. Kedua, karena perkembangan di Barat tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat di bagian dunia lainnya. Pergolakan-pergolakan kultural di dalam perkembangan pengetahuan di barat lebih bersifat agresif daripada yang di Timur. Para analisis cenderung mengamati gerak pergolakan ini dari berbagai perspektif kesejarahannya. Ada yang bersifat konstruktif, ada pula yang bersifat dekonstruktif, akhirnya menunjukkan adanya problem tanggungjawab kultural dalam pengembangan epistemologi.
Thomas S. Khun (1993) menggambarkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang dimulai di Barat (periode Nicolaus Copernicus sampai periode Isac Newton dan Albert Einsten ) yang bersifat revolusioner, karena bukan berdasarkan kontinuitas–akumulatif melainkan diskontinuitas–revolusione
r. Paradigma lama digantikan dengan paradigma baru yang tak terdamaikan lagi. Pergantian ini mencakup keseluruhan atau sebagian dari paradigma lama dengan paradigma baru. Peralihan tersebut tidak semata-mata karena alasan logis–rasional, tetapi mirip dengan pertobatan dalam agama.
Pembabakan sejarah epistemologi Barat dapat dilihat bahwa para pilsuf cenderung mengambil cara–cara pengambilan dengan tekanan yang berbeda–beda. Charles Patterson meletakkan titik awal epistemologi Barat pada periode Yunani Kuno yaitu pada masa Thales. Kemudian membagi pembabakan sejarah itu dalam dua golongan besar yaitu masa dari Thales sampai kematian Geodarno Bruno (600 SM - 1600 SM) pergolakan ini lebih bersifat metafisik kosmalogis. Periode kedua adalah masa abad pertengahan ke abad modern sampai ke abad kontemporer (abad ke-17 – abad ke-20).
Periode sejarah ini lebih diwarnai oleh adanya tuntutan otonomi rasio manusia yang mewarnai percaturan dan pergolakan–pergolakan kultural di dalam perkembangan pengetahuan. Pada periode ini terjadi pula perpecahan–perpecahan dalam khasanah pengetahuan yang bersifar revolusioner. Kondisi ini kemudian berkembang ke arah kesadaran akan kesatuan dalam kemajemukan yang menjadi ciri zaman Kontemporer. Zaman kontemporer ini diwarnai dengan munculnya berbagai aliran epistemologi yang bersifat holistik.
Thomas S.Khun dan Robert M. Augross serta George N. Stanciu meletakkan titik awal analisinya pada sejarah perkembangan pengetahuan sejak abad ke-17 yang menandai munculnya revolusi pengetahuan modern. Mereka membagi peta sejarah perkembangan pengetahuan dalam dua periode, yaitu Kisah Lama Sains (The Old Story of Science) yang berparadigma materialistik, dan Kisah Baru Sains (The New Story of Science) yang berparadigma baru. Walaupun demikian Kisah Baru Sains ini belum selesai. Masih terbuka kemungkinan baru yang akan mewarnai problem kultural dalam percaturan pengetahuan abad ke-20 ini .
Tetapi Pranarka (1987) dan Harry Hamersma (1990) membagi tahapan sejarah epistemologi Barat itu dalam empat periode, yaitu Periode Zaman Abad Eropa Kuno, Periode Zaman Abad Pertengahan, Periode Zaman Abad Modern, dan Periode Zaman Abad ke-20 atau Abad Kontemporer. Ada dua pola pendekatan dalam membahas sejarah perkembangan epistemologi barat tersebut. Pola pertama lebih bersifat linear, dengan memperhatikan kesinambungan aspek–aspek kesejarahan yang terus berkembang. Pola kedua lebih bersifat problematis (tematis), dengan memfokuskan perhatian pada problem–problem yang sangat menonjol. Kedua pola pendekatan ini sangat penting dalam rangka menganalisis pergolakan kultural dalam pengembangan epistemologis Barat tersebut. 


Bagian C. Zaman sebelum abad modern
a. Periode Zaman Abad Yunani Kuno
Periode ini dimulai dari Zaman Pra-Socrates sampai Zaman Aristoteles. Zaman ini menunjukkan adanya Zaman Keemasan tradisi pemikiran Yunani yang sangat Kosmologis.
1) Zaman Pra-Socrates
Pada Zaman ini ada lima aliran, yaitu aliran Ionia (Asia Minor), aliran Pythagorian (Pythagoras), aliran Elea ( Monois ), aliran Phisiologis ( Naturalis ) dan Para sophis (Skeptisme). Tokoh-tokoh Ionia adalah Thales, Anaximander, Anaximenes, serta Herakleitos. Thales menggugat bobot kebenaran dari mitologi sebagai awal perkembangan pemikiran zaman itu. Salah satu catatan penting mengenai percaturan sejarah pemikiran abad ini adalah Herakleitos. Ia begitu gigih menekankan tentang penggunaan indra (sense) dalam rangka menentukan bobot kebenaran pengetahuan. Herakleitos inilah yang kemudian hari banyak berhubungan dengan relativisme, skeptisme, dan anarki. Adapun tokoh Phytagorian adalah Pythagoras. Dia adalah ahli filsafat dan ilmu ukur. Di lain pihak, tokoh–tokoh aliran Elea adalah Xenophanes, Parmenides, dan Zeno. Xenophanes menentang konsep tentang tuhan atau dewa yang antropomorfis. Ia mengatakan bahwa yang Ilahi tiada awalnya. Ia adalah kekal. Sedangkan tokoh aliran Phisiologis (naturalis) adalah Empedokles, Anaxagoras, dan Demokritas. Empedokles memberikan uraian yang sifatnya sensasional, Anaxagoras berbicara tentang Nous yaitu budi sebagai ruang (space), dan Demokritas terkenal dengan ajarannya mengenai atomos.

2) Zaman Socrates – Plato - Aristoteles
Pada Zaman ini tokohnya adalah Socrates dan Plato Aristoteles. Socrates telah berusaha meletakkan landasan tanggungjawab kultural dalam rangka pengembangan pengetahuan yang diabaikan oleh kaum Sophis. Plato dapat dikatakan sebagai pencetus epistemologi karena Plato-lah yang mencoba mengolah masalah–masalah dasar mengenai pengetahuan walaupun telah dimulai sejak zaman para Sophis.

3) Zaman sesudah Aristoteles
Zaman ini lazim disebut sebagai periode keruntuhan. Peranan filsafat Yunani dengan sifatnya yang spekulatif digantikan oleh Romawi yang lebih bersifat pragmatik. Peristiwa penting pada zaman ini yaitu masuknya pengaruh Yudaisme dan agama Kristen ke Eropa.
b) Periode Zaman Abad Pertengahan Eropa
Zaman ini dapat diamati dalam empat tahap. Pertama, zaman Patristik (abad I –IV M), kedua, Zaman Skolastik (Abad IV –XII M), ketiga, Zaman Aquinas (Abad XIII), keempat, Zaman sesudah Aquinas (sampai Abad XVI). Berkembangnya agama Kristen di Eropa mempunyai dampak terhadap pertumbuhan Epistemologi, yaitu menguatnya Semitisme di atas Helenisme. Inilah yang memicu timbulnya Abad Modern.


1) Zaman Patristik
Zaman ini merupakan pergumulan kultural antara Helenisme dan Semitisme yang disebabkan oleh ajaran gereja, yang menumbuhkan sebuah jenis pengetahuan yang disebut teologi.
2) Zaman Skolastik
Pada Zaman ini tokoh Agustinus merasa ditantang untuk dapat menjelaskan posisi gereja kepada masyarakat dan kebudayaan Yunani-Romawi. Dia memandang kebeneran sebagai hal yang pokok dalam pandangan epistemologisnya. Dia menantang skeptisme, dan berusaha mengemukakan adanya kepastian dasar. Pemicunya adalah problem politik kemasyarakatan yang mendasar, yaitu hubungan gereja dan negara.
3) Zaman Kejayaan Skolastik (zaman Aquinas)
Pada zaman ini Thomas Aquinas berusaha membangun perpaduan yang bernafaskan realisme antara nalar dan iman, kodrat dan ado kodrat, filsafat dan teologi. Dia lebih mengikuti ajaran Aristoteles.



Bagian D. Zaman Abad Moderen Eropa (Abad XIV—Sekarang)
a. Zaman Abad Moderen Awal (Abad XIV—XVII)
Walaupun masih dipengaruhi oleh suasana zaman abad Pertengahan, situasi zaman abad moderen awal ini sudah mulai mengalami perubahan-perubahan baru. Di bidang Epistemologi terjadi perkembangan baru di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Pergolakan kultural dalam perkembangan Epistemologi zaman ini ditandai dengan adanya pengaruh Renaissance. Zaman Renaissance adalah zaman yang manusia merindukan pemikiran yang bebas seperti pada zaman Yunani kuno. Dalam zaman Renaissance ini manusia sebagai animal rationale karena pemikiran manusia mulai bebas berkembang secara kritis. Manusia ingin mencapai kemajuan atas usahanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi.
Pada zaman Renaissance ini penemuan-penemuan ilmu pengetahuan moderen sudah mulai dirintis. Rasionalisme dan Empirisme merupakan dua aliran yang dominan dalam zaman moderen awal ini. Ilmu pengetahuan yang paling berkembang pesat adalah astronomi dan ilmu alam.
Tokoh-tokoh yang sangat terkenal pada zaman ini antara lain Copernicus dan Rene Descartes. Copernicus mengajukan teori Heliosentrisme (bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari sehingga matahari menjadi pusat) yang sangat kontroversial terhadap pendapat umum saat itu bahwa bumi adalah pusat alam semesta (Geosentrisme). Sementara itu Descartes merupakan tokoh yang pertama-tama meletakkan dasar kebenaran dan kepastian pengetahuan pada kekuatan ratio.
b. Zaman Moderen Tengah (Abad XVII)
Pergolokan kultural dalam sejarah Epistemologi zaman ini diwarnai dengan lahirnya gerakan Pencerahan (enlightenment) pada sekitar abad XVIII. Pencerahan sebagai sebuah gerakan kultural pada zaman ini telah memicu bangkitnya kepercayaan yang makin besar dari mannusia mengenai kemammpuan pikirannya. Melalui gerakan ini, Rasionalisme dan Empirisme berkembang sangat pesat. Manusia menjadi sadar bahwa dengan pikirannya ia akan mampu membangun dunia.
Zaman Pencerahan ini menunjukkan bahwa orang sudah menjadi makin kritis terhadap agama, khususnya terhadap institusi agama. Khusus dalam bidang Epistemologi, sikap dan pandangan gerakan Pencerahan mengenai ilmu pengetahuan lebih diwarnai oleh suasana Skeptivisme dan terutama Relativisme. Kemerdekaan berpikir membawa akibat terjadinya proses relativisasi di dalam sikap manusia terhadap ilmu pengetahuan ataupun terhadap kebenaran dan kepastian.
Zaman ini ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar seperti Immanuel Kant dan George Wilhem Fridrich Hegel. Tema pokok yang sangat menonjol dalam pemikiran Kant adalah ratio murni. Menurut Kant, pengetahuan manusia tidak ditentukan oleh objek, tetapi ditentukan oleh subjek yang menghasilkan pengetahuan itu. Sementara itu, pandangan Epistemologi Hegel adalah bahwa pengetahuan bagian dari evolusi Sang Mahasemesta. Perkembangan pengetahuan adalah evolusi kesadaran yang terjadi di dalam sejarah.
c. Zaman Moderen Akhir (Abad XIX-Sekarang)
Aliran-aliran pemikiran yang mencirikan susana pergolakan kultural zaman moderen akhir antara lain adalah Positivisme, Evolusionisme, Psikologisme, Sosiologisme, Determinisme, Marxisme, dan Metodologisme.

1) Positivisme
Istilah Positivisme pertama-tama digunakan oleh Saint Simon dan kemudian disebarkan oleh Auguste Comte. Aliran pemikiran ini menolak segala pemikiran kefilsafatan dan teologi, tetapi hanya mau menerima ilmu, terutama ilmu alam, sebagai satu-satunya wujud kepastian. Karena kultur Positivisme menjunjung tinggi ilmu-ilmu alam yang eksperimental sebagai satu-satunya pengetahuan, maka teologi, filsafat, dan tradisi tidak diakui bobot keilmuannya. Dengan demikian, sesungguhnya Positivisme dapat dipandang sebagai ekstrem lain terhadap aliran idealisme. Jika idealisme dipandang sebagai kelanjutan dari Rasionalisme, Positivisme dapat dipandang sebagai kelanjutan dari Empirisme.
2) Evolusionisme
Positivisme memicu munculnnya aliran Evolusionisme. Evolusionisme mengajarkan bahwa kehidupan kultural, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun mengenai manusia dan masyarakatnya, bersifat evolutif. Tokoh-tokohnya yang sangat terkenal adalah Darwin, Spencer, dan Huxley.
Para pemikir Evolusionisme berusaha untuk dapat menemukan hukum-hukum perkembangan alam dengan pasti. Evolusionisme yang semulanya hanya mencakup gejala-gejala alam, dalam perjalanannya mulai menjamah kepada masalah-masalah kemanusiaan, masyarakat, dan kebudayaan. Dengan demikian dewasa ini dikenal adannya dua aliran Evolusionisme, yaitu Evolusionisme natural (fokus pada gejala-gejala alam) dan Evolusionisme sosial (fokus pada gejala-gejala kemasyarakatan).

3) Psikologisme
Positivisme selain memicu munculnnya Evolusionisme, juga memacu pertumbuhan psikologi sebagai ilmu moderen. Awalnya psikologi sangat terkait erat dengan filsafat dan teologi, tetapi kemudian menjadi ilmu yang mandiri. Konsep-konsep pemikiran Psikologisme yang terkait erat dengan filsafat dan teologi adalah mengenai dosa, hawa nafsu, dan pengaruh badan terhadap jiwa.
Perkembangannya di kemudian hari psikologi pun menjadi beraneka ragam, misalnya munculnya psikologi behaviorisme, psikologi gestalt, psikologi pembangunan, psikologi agama, psikologi sosial, dan bahkan psikologi perusahaan. Akan tetapi, inti aliran Psikologisme terletak pada keyakinan bahwa psikologi adalah satu-satunya ilmu yang dapat memberikan hukum-hukum secara pasti mengenai manusia, masyarakat, dan kebudayaan.

4) Sosiologisme
Selain Evolusionisme dan Psikologisme, Positivisme juga banyak andil munculnya ilmu pengetahuan bidang sosiologi di bawah pengaruh Comte sebagai Bapak sosiologi moderen. Sosiologi menjadi bidang baru dengan menerapkan secara murni ilmu positif eksperimental. Inti pandangan Sosiologisme adalah keyakinan yang begitu kuat bahwa sosiologi merupakan sumber segala kepastian dan kebenaran.
5) Determinisme
Positivisme terus berkembang dan membentuk Determinisme secara sektoral. Akibatnya, muncul Determinisme yang bersifat psikologis, ekonomis, teologis, sosiologis, dan sebagainya. Akhirnya Epistemologi berkembang secara sempit, terkotak-kotak, dan tertutup. Kondisi tersebut akhirnya menjebak manusia dalam kehidupan yang sempit dan berdimensi tunggal. Kehidupan kultural pun terjerumus ke dalam relativisme dogmatis.
6) Marxisme
Determinisme ekonomi sebagai hasil Positivisme dan gerakan Pencerahan telah membawa pengaruh yang sangat luas dalam Epistemologi. Karl Marx berambisi dalam hal mengubah kehidupan masyarakat berdasarkan hukum-hukum Positivisme. Ia ingin membangun ilmu sosial baru untuk dapat mengubah masyarakat dunia. Sasaran utamanya adalah terbentuknya masyarakat sosial komunis. Inti pandangan Marxisme adalah ilmu pengetahuan tidak terutama untuk mengetahui tetapi untuk mengubah masyarakat.
7) Metodologisme
Pengaruh Positivisme terhadap perkembangan kultur moderen terus menimbulkan problem-problem baru. Salah satu problem yang sangat menonjol dalam bidang Epistemologi adalah problem tentang metode. Terkait dengan problem metode ini adalah problem tentang posisi suatu disiplin untuk dapat diakui keberadaannya sebagai ilmu yang sesungguhnya.
Yang dianggap sebagai ilmu adalah ilmu-ilmu alam saja karena sifatnya yang eksak. Ilmu-ilmu tentang manusia dan masyarakat tidak dapat memiliki kepastian ilmiah. Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat diterima keberadaannya sebagai ilmu karena tidak sepenuhnya dapat menerapkan eksperimentasi ataupun interpretasi yang berdasarkan atas fakta-fakta yang terukur secara eksak. Permasalahan muncul pula di sekitar metode kuantitatif dan kualitatif, metode eksak dan metode noneksak. Metodologisme telah menjadi bagian yang amat penting artinya dalam sejarah perkembangan Epistemologi sampai kini.


Bagian E. Zaman Abad Pascamodern atau Zaman Abad Kontemporer (Abad XX)
Zaman Kotemporer ini dapat digambarkan sebagai zaman yang diwarnai oleh dua suasana kultural yang sangat pokok. Pertama, suasana yang dibawa oleh periode sebelumnya yaitu kelanjutan dari Pencerahan dan positivisme. Kedua, suasana baru yang ditimbulkan oleh gerakan pemikiran Pencerahan dan Positivisme. Problem kultural yang dicanangkan Positivisme lebih bersifat kemanusiaan, mengikuti hukum perkembangan alam dan ilmu pengetahuan (humanis, naturalis, intelektualis). Namun demikian gerakan-gerakan pemikiran baru yang muncul di abad kedua puluh lebih bersifat kemanusiaan, mengikuti perkembangan alam dan antiintelektual. Pandangan diatas, yang menuntun pada arah pengkajian atau pembahasan terhadap pergolakan kultural zaman ini, akan dipetakan dalam dua periode. Pertama, periode sebelum sampai berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945. Kedua, periode sesudah tahun 1945 sampai sekarang.
a. Periode Sebelum Perang Dunia II Sampai Berakhirnya Perang Dunia II
Situasi pemikiran yang menandai pergolakan kultural periode ini merupakan kelanjutan dari perkembangan suasana kultural dan perkembangan alam pemikiran sebelumnya. Gerakan Positivisme bahkan terasa kuat pengaruhnya dalam periode ini. Evolusi ilmu menjadi sangat cepat dan makin bercabang-cabang. Timbulnya spesialisasi semakin memperbesar pengaruh ideologi dan teknologi keilmuan. Pertumbuhan pengetahuan semakin pesat dan sebagai konsekuensinya adalah tumbuhnya konflik-konflik yang saling memperebutkan hegemoni kebenaran kepastian. Suasana pemikiran yang semakin menguatkan pengaruh Positivisme ini akhirnya memaksakan adanya penerapan-penerapan ilmu tertentu terhadap kebudayaan. Psikologisme antara lain mengajarkan bahwa membentuk kebudayaan dan peradaban dipastikan oleh adanya pengaruh ras atau warna kulit suatu bangsa. Demikian pula halnya Determinisme ekonomi menerangkan bahwa kebudayaan ditentukan oleh ekonomi sebagai faktor satu-satunya.
b. Periode Sesudah Perang Dunia II
Suasana perkembangan epistemologi zaman ini pada dasarnya diwarnai oleh kesadaran manusia mengenai adanya tanggung jawab kultural dalam rangka perkembangan epistemologi. Manusia semakin menyadari akan betapa besarnya tanggung jawabnya terhadap dirinya sendiri. Pergolakan pemikiran zaman bahkan menunjukan betapa manusia semakin sadar akan posisi dirinya sebagai pusat dari seluruh perkembangan sejarah. Manusia adalah pusat perkembangan sejarah dengan segala optimisme maupun pesimismenya. Jelasnya, Pranaka menggambarkan situasi kultural periode ini sebagai periode kesadaran untuk menemukan kembali makna manusia. Isu humanisasi dan dehumanisasi menjadi tumbuh ke depan. Suasana seperti ini tampaknya menyebabkan timbulnya aliran yang menyalahkan perkembangan pemikiran sebelumnya. Aliran ini lazimnya disebut aliran antiintelektualisme. Menurut mereka, pemikiran-pemikiran sebelumnya amat diwarnai oleh intelektualisme. Pemikiran-pemikiran itu secara tidak berbudaya telah memeras manusia demi intelektualisme.
Pemikiran-pemikiran yang muncul sebagai kesadaran akan tanggung jawab kultural dalam pengembangan epistemologi pada Zaman Kontemporer ini, lebih diwarnai oleh asumsi-asumsi psikologi untuk mengungkapkan situasi kemanusiaan manusia. Aliran-aliran pemikiran itu adalah, Fenomenologi, Eksistensialisme, Personalisme, Antropologi Kefilsafatan, Analisis Bahasa, Neo-positivisme, Pragmatisme, Neo-marxisme, serta Filsafat Ilmu.
1) Fenomenologi
Fenomenologi sebagai suatu aliran pemikiran yang khusus dirintis oleh guru Kant dan Hegel yaitu Edmund Husserl (Franz Bretano) sebelum Perang Dunia II. Fenomenologi secara Etimologis hendak membangun suatu refleksi intelektual yang terarah kepada pengetahuan di dalam konteks pengalaman manusia. Melalui pengalaman kontekstual ini maka dapat disusun pengetahuan secara terus menerus berdasarkan fakta yang teramati. Sisi lain dari arti pemikiran fenomenologis ini adalah bahwa pengetahuan dapat ditempatkan di dalam pengetahuan manusia secara dinamis dan menyeluruh. Kondisi itulah yang memungkinkan manusia dapat menemukan pengertian dan makna. Fenomenologi dengan ini mulai mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
2) Eksistensialisme
Eksistensialisme lebih merupakan sebuah gerakan pemikiran daripada sebuah sistem pemikiran. Tokohnya yang terkenal adalah Soren Kierkegaard (1813-1855). Eksistensialisme dapat lebih mudah dipahami sebagai aliran pikiran yang tumbuh sebagai reaksi terhadap aliran-aliran sebelumnya. Eksistensialisme di sisi lain juga dapat dipahami sebagai reaksi kritis terhadap agama dan lembaga-lembaga politik yang sudah tumbuh sebagai sebuah sistem. Agama telah begitu terperangkap dalam sistem insitusi dan birokrasi yang sangat deterministik. Akibatnya, agama tidak sesuai lagi dengan pengalaman dasar dan cita-cita manusia. Eksistensialisme seolah-olah menganggap bahwa sistem pemikiran atau pengetahuan yang demikian tidak mendukung kebahagiaan manusia, bahkan membelenggu manusia. Oleh karena itu, Eksistensialisme lebih merupakan suatu aliran yang antiintelektualisme, antideterminisme, dan antisistem.
Karena sifatnya yang antisistem dan antideteminisme, maka aliran ini menghadapi masalah-masalah mendasar mengenai hidup manusia yaitu: kemerdekaan individu, kebersamaan, antara makna hidup yang dapat bermakna dan hidup yang serba absurd, antara hidup sebagai kemungkina-kemungkinan dan hidup sebagai keharusan untuk mengambil pilihan.
Secara umum, aliran Eksistensialisme terbagi menjadi dua aliran, yang satu menjadi Teis dan yang lain Ateis. Aliran yang satu bersifat religius dalam arti baru, seperti agama nonkonvensional. Suatu bentuk keberagamaan yang menekankan pada moral yang tidak legalistik, melainkan moral yang inspiratif dan eksistensial. Menurut aliran Teis, agama sejati mesti terjadi di dalam dialog dan kebersamaan. Aliran lain seperti Ateisme, lebih bersifat antiagama, antinilai, antimoral, serta antisistem secara total.
3) Personalisme
Personalisme adalah aliran pemikiran yang menekankan tentang makna manusia. Masalah yang ingin dicapai dalam gerakan ini adalah mencari jawaban terhadap problem-problem mendasar antara subjektivisme, di satu pihak, dengan kecenderungan kepada sistematisasi dan kolektivisme di lain pihak. Intinya adalah pengertian mengenai manusi sebagai persona atau sebagai pribadi (menentang aliran konseptualisme). Manusia persona adalah insan yang membawa dalam dirinya kedwitunggalan. Kedwitunggalan antara materi dan rohani, ke-apa-an dan ke-siapa-an, dinamika dan keterbatasan, kemandirian dan kebersamaa. Tokohnya adalah William Stern, Deni, dan Rougments.
4) Gerakan Filsafat Hidup dan Filsafat Perbuatan
Filsafat hidup dan Filsafat Perbuatan yang sifatnya anti-intelektualisme. Aliran filsafat hidup lebih menjuruskan pemikirannya pada aspek makna hidup dan kehidupan manusia. Aliran-aliran ini menekankan pula tentang makna kehendak yang terjelma dalam perbuatan. Aliran filsafat perbuatan menekankan bahwa perbuatan adalah daya penggerak kultural, dan bukan pada akal budi atau intelektual saja. Tokoh utama gerakan ini adalah Henri Bergson (1859-1914). Bergson berusaha menemukan suatu pangkal acuan guna memahami secara menyeluruh proses yang semakin berkembang (evolutif). Dia menegaskan bahwa arah evolusi mengambil tiga jurusan: pertama, adalah pertumbuhan (evolusi) kehidupan. Perkembangan ini diwujudkan pada taraf tumbuh-tumbuhan dan binatang, kedua, adalah pertumbuhan kehidupan instingtif. Perkembangan ini diwujudkan pada taraf pertumbuhan yang menggunakan alat-alat yang terorganisir yang merupakan bagian dari organisme, ketiga, pertumbuhan kehidupan inteligen atau pertumbuhan akal budi. Evolusi tahap ketiga ini terwujud dalam kemungkinan untuk mengadakan dan menggunakan alat-alat yang tidak terorganisir yaitu alat-alat buatan yang tidak termasuk organisme itu sendiri.
5) Antropologi Kefilsafatan
Pada masa ini ditandai dengan pemikiran Buber (1878-1965) yaitu ditandai oleh relasi “aku-engkau” semakin menciut sehingga aku itu semakin mendominasi kehidupan manusia. Misalnya dalam pendidikan psikoterapi dan filsafat sosial diperkuat oleh Bertens 1985. Landasan pokok yang dibangun mengenai kultur kemanusiaan yang bersifat kesatuan dan kemajemukan. Manusia adalah kesatuan dan kemajemukan antara vertikal, horizontal, personalitas, sosialitas, interioritas, eksterioritas serta autentisitas.

6) Analisis Bahasa
Pada awalnya sangat berbeda dengan fenomenologi, eksistensialisme. Aliran ini merupakan lanjutan dari positivisme.
Analisis bahasa lebih merupakan positivisme logis. Pelopornya Ayer dan Ludwig Wittgenstein dari kelompok Wina (Roger Scruton, 1986:328) yang berpendapat bahwa renungan apriori tentang adanya sifa akal manusia dalam bahasa. Menurutnya sifat akal ini memberikan sikap sosial dalam struktur bahasa. Apa yang diberikan dalam bahasa bukanlah data indrawi seperti positivisme tetapi berbagai bentuk kehidupan seperti aliran antropologi. Bahasa merupakan pengungkap sifat dasar manusia. Analisis bahasa akhirnya berpadu dengan filsafat kemanusiaan.
7) Pragamatisme
Perhatian pragamatisme sangat menonjol dalam mengembangkan tema tanggung jawab kultural dalam rangka pengembangan epistemologi. Aliran ini pada hakekatnya tidak mau melibatkan diri dalam konflik dan kontroversi epistemologi yang berkepanjangan. Pragmatisme ingin tetap berpegang pada hidup dan kehidupan manusia sebagai mana adanya. Inti perhatian pragmatisme yang sangat besar adalah kemajuan karena itu memandang beberapa bidang ilmu pengetahuan sebagai bagian-bagian utamaa dari kebudayaan. Pragamatisme menunjukan bahwa pikiran atau pengetahuan yang merupakan kemampuan khas manusia, dapat berkembang sebagai alat untuk mengadakan eksperimen. Eksperimen tersebut dimaksud untuk menguasai dan membentuk alam sekitar agar terpenuhi kebutuhan hidup manusia.
8) Filsafat Ilmu
Salah satu bidang epistemologi yang berdampak besar pada zaman ini adalah problem kultural di abad kontemporer, yakni peranan ilmu. Andy Hakim Nasution (1992:27) dengan merujuk pandangan Mohr (1977), mendefinisikan ilmu sebagai suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas-asas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Ilmu dalam hal ini dilihat sebagai suatu proses dengan hukum-hukumnya yang ketat dan bersifat mekanis.

9) Pengaruh Epistemologi Moderen terhadap Ideologi
Perkembangan ini in sejak 1945-1960, pengaruhnya secara khusus dalam bidang politik, sosial ekonomi, militer, teknologi dan industri. Pengaruh tersebut bermuara pada ketegangan dan konflik yang bercorak ideologis.
10) Kecenderungan Kultural Pada Perkembangan Epistemologi Tahun 1960-1990
Periode in banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran kemasyarakatan yang sifatnya mau mengubah. Ada pandangan yang mau mengubah masyarakat dengan coraknya yang radikal dan tidak jarang bersifat anarkis. Kondisi ini semakin menumbuhkan kecenderungan dimana orang berusaha untuk menemukan pemikiran-pemikiran lama yang lebih dapat dipegang sebagai acuan untuk mengubah masyarakat. Pengaruh Marx dan Freud semakin besar dalam konteks ini maka muncullah dua kekuatan pemikiran yang saling berbeda yaitu New Left yang dikaitkan dengan tokoh Herbert Marcuse (1898-1979) dan Neo-Marxisme yang dimotoro oleh Jurgen Habermas. Gerakan Neo-Marxisme lebih merupakan kritik baik terhadap komunisme maupun terhadap kapitalisme dan berbagai bentuk sosialisme yang sudah terorganisasi. Kondisi ini cenderung mengarah pada pendekatan hubungan interdisipliner.


Bagian F. Sejarah Epistemologi “Timur”
Menurut To Thi Anh tradisi Barat dan Timur merupakan dua aliran yang berbeda. Tradisi Barat menunjukkan dinamisme ke luar: ia lebih bersifat menyerang dan merombak. Nilai-nilai yang ditonjolkannya adalah otonomi manusia, akal budi, kebebasan, aksi, institusi, ilmu pengetahuan, teknik dan kesejahteraan. Ciri sejarah perkembangan epistemologi Barat lebih bersifat kapitalis, teknologis, persaingan, imperialis, serta konflik-konflik yang bersifat ideologis. Tradisi epistemologi Timur sebaliknya bersifat ke dalam (internal). Ia lebih menerima dan menahan. Nilai-nilai yang muncul adalah kebaikan hati, turut merasakan, moderat, sabar, pasrah, damai batin, serta pragmatis. Atau dengan kata lain perkembangan tradisi epistemologi di dunia Timur lebih menekankan pada sifat “kultus harmonis manusia”.
Tampak bahwa ada tiga jenis pengetahuan yang dikembangkan secara harmonis dalam system tradisi pengetahuan di Timur dalam mendekati realitas. Pertama, pengetahuan yang bersifat intuisi atau perasaan langsung. Pusat kepribadian seseorang bukanlah inteleknya tetapi hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensi dan perasaan. Kedua, pengetahuan diungkapkan lewat simbol-simbol konkret untuk mengungkapkan ide universal dan masalah-masalah abstrak. Ketiga, pengetahuan menekankan aspek kebijaksanaan. Menurut mereka pengetahuan intelektual saja tidak akan mampu membuat seseorang menghayati hidupnya dengan baik. Hidup merupakan suatu seni yang sulit, ia membutuhkan latihan dan refleksi sepanjang hidup. Pola epistemologi ini berbeda dengan di Barat yang sifatnya rasional.
Terdapat tiga aliran pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan Timur yakni Konfusianisme, Taosisme, dan Buddhisme yang mengilhami system pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial , serta membentuk kultur hidup orang Timur.
1. Konfusianisme (600-200 SM)
Konsep-konsep utama pemikiran dalam konfusianisme antara lain: Yao (jalan), te (keutamaan atau seni hidup), Yen (peri kemanusiaan), Yi (keadilan), tien (surga) dan Yin-Yang (harmoni, prinsip hidup, yaitu prinsip aktif laki-laki dan prinsip pasif perempuan). Analisis yang mendalam terhadap pemikiran Konfusianisme menunjukan bahwa tradisi pemikiran ini telah menampilkan dirinya sebagai suatu humanisme, tujuannya kesejahteraan manusia dalam hubungan harmonis dengan masyarakatnya, pusatnya adalah manusia dan alamnya.
2. Taoisme (600 – 200 SM)
Taoisme diajarkan oleh Lao-Tse atau guru tua (550 SM). Lao Tse melawan konfusianisme dengan mengajarkan Lao-Tse bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”. Ia adalah substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai (Hammersma 1990:32). Menurut Huston Smith (1991:23) Lao-Tse menunjukan pada jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya agar selaras dengan cara kerja alam semesta ini. Pritjof Capra (1997:25-27) menjelaskan bahwa dalam pandangan Cina semua manifestasi Tao dihasilkan oleh interaksi dinamis dari Yin (aktifitas yang responsive, konsolidatif, dan kooperatif) dan Yang (aktifitas agresif, ekspansif, dan kompetitif). Aksi Yin adalah sadar akan lingkungan (eco-action), sedangkan aksi Yang adalah sadar akan dirinya sendiri (ego-action) selanjutnya menurutnya kedua jenis aktfitas ini sangat berkaitan dengan dua jenis aliran epistemologi yaitu aliran intuisionalisme dan rasionalisme yang dilihat sebagai modus dari fungsi akal manusia yang saling melengkapi. Pemikiran rasional bersifat linier, terfokus, dan analitis. Pemikiran menjadi bagian dari alam intelek yang fungsinya adalah untuk membedakan, mengukur, dan mengelompokkan. Sebaliknya intuitif cenderung bersifat padu, holistik, dan nonlinier.
Dari uraian mengenai Konfusianisme dan Taoisme, Harry Hammersman menunjukkan bahwa terdapat tiga tema yang sepanjang sejarah dipentingkan dalam filsafat Cina.
1) Harmoni antara manusia dan sesama, antara manusia dengan alam, antara manusia dan dunia akhirat (surga)
2) Toleransi yang tampak dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi. Sikap toleransi atau sikap perdamaian inilah memungkinkan suatu kebenaran pengetahuan yang sifatnya utuh, dinamis, dan majemuk.
3) Perikamanusiaan, karena selalu manusialah yang merupakan filsafat Cina. Manusia pada hakikatnya adalah baik dan harus mencari kebahagiannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesamanya.
3. Buddhisme di India (200 SM-300 SM)
Tradisi pemikiran di India yang diwarnai oleh beberapa aliran pemikiran yang lebih bercorak metafisika mengawali munculnya Buddhisme. Periode tersebut disebut zaman Weda yang terdiri dari tiga bagian: zaman weda kuno yang berisi mantra-mantra, zaman Brahmana yang lebih mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berisi peraturan dan kewajiban-kewajiban, Upanishad yang membicarakan soal-soal filsafat tetapi dasar pemikirannya adalah kedisiplinan (latihan etis) untuk memantulkan pengetahuan yang dipelajari supaya dapat mengalami kesatuan dengan Brahmana (kebenaran yang terakhir atau Moksa).
Pada periode antara Zaman Weda dan Zaman Buddhisme, terdapat Zaman yang disebut Jainisme yang memandang bahwa pengetahuan itu tidak bersifat final tetapi selalu berproses. Menurutnya ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan langsung (pratyaksa) dan pengetahuan tidak langsung (paraksa).
Inti pemikiran Sang Buddha mengenai hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, jangkauan pengetahuan, kepastian dan kebenaran pengetahuan, bahkan termasuk kesalahan dan kekeliruan dalam pengetahuan, dapat dilihat dalam garis besar pemikirannya sebagai berikut:
1. Psikokinesis (iddhividha), yang bukan merupakan pengetahuan biasa, melainkan kekuatan yang berwujud dalam tekad.
2. Telinga batin (dibbasota), indra untuk menangkap bunyi-bunyian dari jarak jauh, bahkan lebih jauh dan lebih mendalam dari jangkauan indra pendengaran. Kondisi ini memungkinkan seseorang menangkap secara langsung fenomena korelasi tertentu yang biasanya hanya dapat disimpulkan.
3. Telepati (cetopariyanana), yang membuat seseorang mampu memahami keadaan umum maupun kerja pikiran orang lain.
4. Retrokognisi (pubbenivasanussatinana), kemampuan untuk menangkap sejarah kehidupan masa lalu dirinya. Pengetahuan ini bergantung pada memori (sati) yang diperoleh melalui konsentrasi intensif (Samadhi)
5. Matabatin (dibbacakkhu atau cut upapatanana) yaitu pengetahuan tentang kematian dan kelanjutan makhluk hidup yang berkelana dalam lingkaran kehidupan mengikuti kelakuannya (karma). Kemampuan pengetahuan ini bersama retrokongnisi, membuat seseorang mampu memeriksa fenomena kelahiran kembali
6. Pengetahuan tentang penghancuran rangsangan-rangsangan kotor (asavakkhayanan). Daya pengetahuan ini bersama keempat daya pengetahuan yang terakhir diatas, melengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang empat kebenaran yang mulia (Kaluphana 1986:16).
Secara singkat dari uraian diatas, konfusianisme mengajarkan mencari jalan tengah antara manusia dan masyarakat. Taoisme mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam semesta. Buddhisme mengajarkan jalan tengah antara manusia dengan Yang Mutlak. Melalui epistemologi ini orang Timur dididik dan dilatih menjadi bijaksana, mengetahui proporsi yang tepat dalam merasa, berpikir, bertindak, serta menguasai kesadarannya. Tetapi epistemologi mempunyai sisi lemah yaitu kecenderungan mempertahankan nilai warisan budayanya dengan menutup pintu terhadap kerja akal dan teknologi yang justru menekan dan memperlemah dinamika cultural itu sendiri, yang mana secara epistemologi kebenaran selalu bersifat terbuka dan relasional.
4. Epistemologi Dalam Islam
Sari Nusibeh dalam History of Islamic Philosog memetakan aliran-aliran epistemology dalam Islam kedalam empat varian:
Pertama, pendekatan konservatif. Model pendekatan terhadap epistemology ini mengasumsikan adanya dua domain kebenaran (1) kebenaran melalui teks-teks wahyu dan (2) kebenaran melalui nalar logika terhadap teks tersebut. Kedua, pendekatan dialektis ang diterapkan oleh mutawakalimun. Meski masih terpusat pada teks sebagai kerangka rujukan (frame of reference), nalar deduktif kalam mampu mengajukan persoalan-persoalan sekitar teks yang sudah merambah pada diskusi teologis dan filosofis (yang tidak dilakukan oleh pendekatan pertama). Dialektika kalam dalam mendekati isu-isu epistemologis mendasarkan diri atas – dalam istilah Nusibeh – Logika yang uni berupa (1) hubungan logis (interpretasi distingtif atas hubungan kausal) dan (2) dunia wacana yang unik (terminology-terminologi khusus yang secara umum tidak ditemukan pada disiplin lain. Ketiga, pendekatan filsafat atau falsafah. Pendekatan episemologi ini mendasarkan bangunan pengetahuannya (body of knowledge) atas sejumlah ide-ide filsafat sebagai kerangka rujukan. Oleh karena itu, ilmu merupakan obyek petualangan rasion sehingga aktivitasnya bersifat eksploratif. Keempat, pendekatan mistis. Pendekatan epistemology ini mendasarkan pada pengalaman intuitif yang individual, yang menghasilkan ilmu hudhuri (pengetahuan diri yang presensial) sebagaimana menjadi konsep as-Suhrawardi dan MullaSadra, bukan al Ilm al hushuli al-irtisami, yaitu pengalaman yang diupayakan melalui pengalaman tentang dunia eksternal yang representational melalui nalar diskursif. Asumsinya adalah bahwa pengalaman intutitf akan mampu menyerapkan secara holistic objek pengetahuan yang dengan pendekatan lain hanya bisa ditangkap secara fragmental.
5. Epistemologi dalam Kristen
Filsafat Kristen akan menghasilkan hakikat dan nilai komprehensif; maksudnya mampu menimbang atau menilai dalam berbagai hal menurut kebenaran Firman Alllah (Alkitab). Hakikat filsafat Kristen meliputi keseluruhan; sebab kekristenan adalah universal, mampu menyorot berbagai hal dengan tolak ukur alkitab, sebagai nilai kebenaran. Pembentukan hakikat atau nilai adalah suatu yang esensi, sebab dari sanalah tolak ukur dari kebahagian dan kesejahteraan.
Filsafat umum masih bertanya tentang apa di balik Tuhan. Mereka belum menemukan suatu rahasia yang terselubung tentang keberadaan Tuhan. Filsafat kristenlah yang membawa filsafat umum mengerti tentang kebenaran. Sebab kebenaran yang dimiliki oleh dunia atau pun filsafat, sifatnya adalah relative. Kebenaran duniawi bersifat rasional. Sedangkan kebenaran dari Allah melampaui rasio manusia. “Apa yang tidak kita pikirkan itulah yang Tuhan sediakan”. Ini adalah kebenaran. Tapi bukan kebenaran duniawi.


Bagian G. Pergolakan Pemikiran

1. Permasalahan yang muncul pada awal Filsafat Yunani ialah pertentangan antara pengetahuan rohani dan pengetahuan inderawi. Ternyata dunia yang diketahui melalui akal budi manusia tidak semuanya sejalan dengan sifat-sifat dunia yang diketahui oleh indra. “Ide” yang dibangun oleh akal budi manusia bersifat tetap, universal, dan satu. Ide itu umum dan satu, berlaku untuk segala zaman. Manusia berubah, namun “ide” manusia tidak berubah, bersifat umum, dan satu, Lain halnya dengan pengetahuan inderawi, bersifat individual, kongkret, banyak, dan terus menerus dalam perubahan. Pertentangan antara pengetahuan “ide” (pengetahuan rohani) dan pengetahuan inderawi menjadi persolan hangat dalam filsafat Yunani.
2. Dalam catatan sejarah filsafat Islam Hellenistis (awal Filsafat Arab/Islam yang sangat dipengaruhi oleh Filsafat Yunani [Hellas] dalam hal ini Plato dan Aristoteles), Filsafat Kristiani berkenalan dengan Filsafat Plato dan Aristoteles. Karya-karya Filsuf Yunani diterjemahkan ke bahasa Syria dan bahasa Arab. Akhirnya karangan-karangan berbahasa Arab itu disalurkan dalam bahasa Latin. Filsuf-filsuf Arab (seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rushd) berperan penting dalam memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Barat pada abad pertengahan. Ibnu Rushd lebih cenderung menganut pandangan Aristoteles. Sedangkan Ibnu Sina filsafatnya lebih bersifat Platonisme. Pusat bahasannya adalah hubungan kenyataan dan pengetahuan. Segala pengetahuan terarah kepada Allah sebagai Kebenaran Mutlak dan sumber segala pengetahuan yang benar.
3. Dalam kurun waktu filsafat Kristen (yakni salah satu periode sejarah filsafat Barat yang dimulai Bapa-bapa gereja dan mencapai puncaknya pada abad pertengahan), terjadi persoalan pemikiran antara agama (fides) dan filsafat (ratio). Aliran fideisme sangat menekankan bahwa hanya iman yang membawa manusia kepada kebenaran. Pandangan rasionalisme mengatakan sebaliknya, hanya hal-hal yang dipahami dengan akal budilah yang diterima sebagai kebenaran. Wahyu dihargai tetapi hanya diterima yang dapat dibenarkan secara rasional. Namun pada abad pertengahan, hubungan antara fides dan rasio mencapai keseimbangan terutama dalam filsafat Thomas Aquinas. Thomas membela otonomi rasio; dan akal budi itu dapat mempersiapkan hati manusia untuk beriman.
4. Filsafat modern yang dimulai dengan kehadiran Rene Descartes (1596 – 1650) ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positif. Metode matematika yang bersifat deduktif dan rasional menandai aliran rasionalisme. Para penganut filsafat ini bertolak dari suatu asas baku, lalu dengan metode deduktif mereka membangun suatu sistem filsafat yang logis. Sebagian filsuf zaman modern tertarik oleh anasir empiris, sehingga mereka digolongkan kepada empirisme. Menurut empirisme, tugas utama kaum filsuf ialah membersihkan filsafat dari semua hal yang tidak dapat dijabarkan kepada gejala-gejala. Empirisme ini mendapat kritik dari Kant (Kritisime Kant). Menurut Kant, dalam segala keputusan ilmiah seharusnya ada unsur empiris dan unsur rasio. Hegel menyempurnakannya dengan metode dialektika. Menurutnya kebenaran itu bersifat dialektis, yakni dari tesis ke antitesis, dan dari antitesis ke sintesis.
5. Pada awal abad kedua puluh, filsafat didominasi oleh aliran antimetafisis. Sains diklaim sebagai ilmu sejati karena terbuka untuk dibenarkan dengan observasi dan eksperimen. Pandangan antimetafisis sangat nyata dalam positivisme dan neopositivisme. Filsafat Materialisme Feurbach dan Marx juga antimetafisis dan tidak mengakui kenyataan bersifat dimensional. Akan tetapi pada perkembangan akhir, filsafat zaman sekarang condong untuk kembali ke filsafat realisme dan lebih terbuka pada metafisika. Hal ini mulai tampak pada fenomenologi, eksistensialisme, hermaneutik, dan Neo-Thomisme.
 
Bagian H. Penutup
Pengaruh epistomologi secara khusus sangat terasa di bidang politik, sosial ekonomi, militer, teknologi, industri dan lainnya. Perkembangan ilmu eksak dan ilmu sosial dan kemanusian semua bercorak ideologis. Ilmuwan semakin berani melakukan eksperimentasi keilmuwan dalam rangka memperkuat kekuasaan dan ideologi. Kegiatan keilmuan tidak jarang menimbulkan konflik bercorak ideologis, moralis maupun religius. Perkembangan ilmu pada akhirnya menjadi lebih pragmatis dalam arti bersandar pada kekuatan, kepentingan politik, ekonomi, teknologi, kekuasaan serta militer.
Arah perkembangan epistomologi di masa datang lebih terpusat pada tumbuhnya suatu ideologi baru, yaitu suatu ideologi yang diharapkan dapat menjunjung tinggi kultur masa depan manusia. Perhatikan pemikiran filsafat Cina, yang menekankan kultur harmonis manusia dengan diri, sesama, dan alam. Inti pemikiran filsafat Cina ini telah menekankan adanya “cinta universal” dan kemakmuran untuk semua manusia. Demikian pula halnya, dengan filsafat India yang menekankan adanya kesatuan fundamental antara manusia dengan mikrokosmos dan makrokosmos.
Secara epistomologis, pengetahuan adalah kemampuan khas manusia yang harus terus dikembangkan dalam jalur tanggung jawab kulturalnya. Pengetahuan harus ditempatkan sebagai strategi bagi perjuangan dalam rangka kemanusiaan. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan bagaimana mengembangkan epistomologi di masa datang, Pertama, bagaimana membuat manusia (ilmuwan) supaya dapat mengenal sifat-sifat dasar pengetahuan itu, Kedua, bagaimana mereka dapat memahami perkembangan pengetahuan itu, dan Ketiga, bagaimana mereka dapat menguasai (membudayakan) pengetahuan bagi hidup dan kehidupan manusia secara bersama. Semua ini tentunya memerlukan adanya landasan tanggung jawab kultural, sehingga perkembangan epistomologi akan semakin kuat berakar pada jalur kulturalnya.
Menurut pandangan Islam, ilmu dan teknologi hanya bisa terwujud dari akhlak yang mulia yang terjalin dalam segenap susunan masyarakat. Allah s w t berfirman (QS. Al-Imran 190-191) ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal yaitu orang-orang yang mengingat Allah ketika ia berdiri, duduk, berbaring, dan bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Tuhan , tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka jauhkanlah kami dari azab neraka.”
Dalam ayat di atas ada tiga aspek yang diungkapkan yakni, kemanusiaan, ketuhanan, dan keilmuan. Islam memandang bahwa kegiatan berpikir manusia yang berupa produk ilmu dan teknologi harus bersifat universal dan integral. Lingkup pikirannya tidak saja langit dan bumi, tetapi juga segenap peristiwa dan proses yang ada di dalamnya. Jadi, jelaslah bahwa Islam mengkaji ilmu itu bersifat radikal dari pengungkapan misteri alam. Dan, proses berpikir itu harus disertai dengan pengenalan pencipta-Nya.
Ilmu berkaitan erat dengan kebudayaan. Pengembangan kebudayaaan tentu juga terkait erat dengan pengembangan ilmu. Salah satu bagian atau subsiatem dari pengembangan kebudayaan adalah pengembangan ilmu. Perkembangan budaya manusia merupakan masalah budaya yang menimbulkan akibat positif dan negatif bagi umat manusia. Akibat positif dan negatif inilah yang turut menentukan kebahagiaan dan kehancuran umat manusia.
Adapun akibat positif perkembangan budaya manusia berupa kebaikan yang membahagiaakan manusia. Penemuan di bidang ilmu dan teknologi yang dapat meningkatkan taraf hidup manusia, merupakan contoh kebaikan sebagai hasil perkembangan budaya munusia. Sedangkan akibat negatif dari perkembangan budaya manusia adalah keburukan yang membuat manusia menderita atau sengsara.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan pesat di bidang ilmu dan teknologi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki. Hal ini yang manyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama. Agama memberi kompas dan tujuan. Agama memberi makna, semacam arti yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Agama dan ilmu saling melengkapi. Kalau ilmu bersifaf nisbi dan pragmatis, agama adalah mutlak dan abadi. Karena itu ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.

1 comment:

Wira Rajawalicell said...

PENULIS CATATAN EPISTIMOLOGI ADALAH SEORANG KYAI KAMPUNG PANUTAN YANG PEMIKIRANNYA 1 ARUS DENGAN GUSDUR, DIHARAPKAN BELIAU BISA MENERUSKAN PERJUANGAN GUSDUR, RAHMATAN LIL ALAMIN,,,,,